01.

4.5K 167 34
                                    

Pertemuan Yang Memilukan

Saat ini tubuh Rian masih terbaring di ranjang rumah sakit yang tidak seberapa empuk seperti tempat tidurnya di rumah. Tubuhnya masih lemah dengan pakaian rumah sakit yang kedodoran berwarna biru muda. Aroma obat dan rumah sakit tetap bisa diciumnya meski begitu. Di sampingnya ada tantenya yang sedang sibuk mengupas apel merah kesukaannya. Dengan melirik tantenya sebentar, Rian menghembuskan napas asal sehingga membuat tantenya menoleh.

"Rian kenapa?" tanya Tante Karin padanya.

"Rian bosan di sini, Tan. Bisa kita pulang aja?" jawabnya.

"Kamu baru sadar kemarin masa sudah minta pulang. Keadaanmu masih rentan, Ri. Sabar sebentar, ya?"

Mendengar itu, dia hanya tersenyum pahit tanpa membalas perkataan apapun kepada tantenya. Baru kemarin dia sadar karena kecelakaan yang dialaminya beberapa hari lalu.

Dia ingat betul hari itu hari Rabu saatnya dia berlatih band di salah satu studio di Jalan Cendrawasih. Dengan tas gitar di tangannya, dia berjalan di sepanjang trotoar. Hari itu memang mendung, tapi tidak menjadikan Rian tidak berangkat latihan. Dengan langkah cepat takut air hujan dari langit membasahi tubuhnya dan gitar kesayangannya.

Sampai di perempatan, dia hendak menyeberang. Selesai menekan tombol hijau untuk pejalan kaki yang ingin menyeberang, dia mulai menambah langkahnya melewati zebra cross. Tapi tiba-tiba bunyi klakson membuatnya kaget bukan main. Tas gitar yang dipegangnya terjatuh. Dan bersamaan dengan itu tubuhnya terasa seperti terbentur sesuatu yang keras hingga melayang entah kemana. Tubuhnya terjatuh di aspal dengan posisi terlentang. Beberapa detik kemudian semuanya gelap.

Di ranjangnya, Rian menggerutu sendiri. Meruntuki siapa saja yang telah melakukan hal bodoh hingga hampir membuat hidupnya selesai di hari itu. Tantenya hanya melirik sambil masih memotongi buah apel menjadi dadu kecil-kecil.

"Rian kenapa lagi?" tanya tantenya.

"Rian sebal, Tan. Aku nggak menyangka kalau yang nabrak aku kemarin itu si Bela. Itu perempuan lagi sakit mungkin hari itu, atau dia stres karena papanya yang setiap hari pulang pergi sama perempuan yang bukan mamanya," gerutunya.

"Kamu nggak boleh salahkan dia gitu. Mungkin dia lagi buru-buru," balas tantenya.

"Buru-buru tapi nabrak orang. Dia 'kan bisa lihat lampunya warna apa. Dia buta warna?" gerutunya lagi sebal.

Belum sempat tantenya menanggapi, suara pintu terdengar seperti dibuka seseorang. Keduanya menoleh ke daun pintu yang terbuka itu. Terlihat seseorang masuk ke ruang rawat Rian dengan satu keranjang yang penuh dengan buah. Mata Rian langsung memutar mengetahui siapa yang datang. Lalu menyuruh tantenya mengusir orang itu.

"Bela?" sapa Tante Karin.

"Siang, Tante. Aku mau jenguk Rian, boleh?" sapa Bela setelah itu.

"Nggak. Mendingan kamu pulang dan tidur di rumah. Nggak perlu repot-repot jenguk aku," sahut Rian dari ranjangnya.

"Tapi, Ri, aku merasa bersalah banget sama kamu." Wajahnya tertunduk merasa bersalah.

"Kalau gitu, Tante Karin bisa keluar sebentar? Aku mau membiarkan dia bicara sama aku," ucap Rian yang ditanggapi anggukan Tante Karin.

Di ruang rawat bertuliskan Anggrek 106 itu, hanya tinggal Rian yang ada di ranjangnya, Bela berdiri di dekat pintu. Dia tidak berani mendekat ke Rian. Dia terlalu takut menghadapi laki-laki itu. Karena dia sedang terburu-buru, dia tidak sengaja menabrak Rian yang sedang menyeberang hingga masuk di rumah sakit. Dia bisa melihat keadaan Rian yang baru satu hari sadar dari pingsannya. Kain kasa yang membalut kepala laki-laki itu membuat tubuhnya nyeri tidak karuan.

"Jadi kamu mau tetap berdiri di sana? Katanya kamu mau jenguk aku?" celetuk Rian setelah sekian menit hanya diam saling menatap dengan Bela.

Bela maju perlahan mendekati ranjang Rian.

"Maaf, Ri. Aku benar-benar nggak sengaja nabrak kamu," ucap Bela.

Rian mendengus. "Kenapa kamu tabrak aku? Kamu lagi stres karena papa kamu yang nggak benar itu? Atau kamu dendam sama aku karena aku jadi ketua ekstra musik di sekolah? Atau kamu ingin aku mati biar kamu nggak ada beban setiap kali kamu pergi ke sekolah karena takut aku membocorkan rahasiamu?"

Kalimat demi kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Rian, membuat sensasi nyeri sakit hati oleh Bela. Dia tidak bisa berkata apa-apa selain diam menerima cercaan Rian yang selalu membuatnya sakit hati.

Rian tidak sengaja tahu rahasianya tentang papanya yang tidak benar. Saat itu Bela yang sedang bertengkar dengan papanya di depan rumah, menyangkut masalah papanya yang pulang pergi hampir setiap hari dengan perempuan yang berbeda, yang bukan mamanya, dikejutkan dengan kedatangan Rian yang sudah mendengarkan hampir setengah pertengkaran mereka. Rian berdiri kaku di sana. Bela pun terkejut melihat laki-laki itu setelah mendapati papanya pergi mengendarai mobil. Dan sejak saat itu, Bela merasa bahwa Rian adalah bom untuk menghancurkan dirinya.

"Jawab!" bentak Rian.

"Aku nggak sengaja, Rian. Aku buru-buru harus menemui papaku yang lagi mabuk. Dia mengacaukan kafe. Aku nggak tahu kalau waktu itu lampunya merah. Aku benar-benar nggak sengaja."

Rian tertawa getir.

"Jadi papamu mabuk? Dasar orang nggak berguna. Dia main perempuan dan mabuk, mau jadi apa anaknya? Jadinya ya begini, nabrak orang sembarangan!" serbu Rian dengan kata-kata kasar.

"Maaf, Ri." Tidak ada kata yang bisa diucapkan oleh Bela selain maaf. Tidak bisa menanggapi atau memprotes ucapan Rian yang kasar.

"Sudah, lah! Aku nggak mau lihat kamu lagi. Toh aku sudah tahu kenapa kamu nabrak aku. Tapi jangan harap kamu bisa dapat maaf dari aku, Bel. Kamu juga nggak perlu khawatir rahasiamu aku bongkar, karena aku nggak akan dekat dan berhubungan lagi sama kamu. Impas!"

Tubuh Bela bergetar. Air matanya sudah akan menetes begitu Rian mengatakan kata terakhir. Tapi dia menahan air mata itu sekuat tenaga agar Rian tidak melihatnya menangis. "Kalau gitu aku pergi. Semua biaya perawatanmu sudah aku bayar."

"Memang harusnya begitu," sahut Rian.

Tubuh Bela berbalik dan berjalan gontai menuju pintu. Dia meninggalkan ruang rawat Rian dengan sejuta penyesalan. Tangisnya tumpah di kursi tunggu di luar ruangan. Dia menangis sesenggukan. Dia hanya bisa menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia hanya diam tanpa bisa bicara banyak kepada Rian. Banyak yang harus dia mohon pada Rian. Tapi laki-laki itu sudah memintanya untuk menjauh, untuk tidak berhubungan lagi dengannya. Dia melihat jelas bagaimana laki-laki itu sangat membencinya.

Tangisnya berhenti. Dia segera meninggalkan rumah sakit sebelum Tante Karin kembali. Dia tidak mau Tante Karin berdebat dengan Rian hanya karena dirinya.

Bersambung

Hujan Bawa Aku Menangis [11/11 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang