06.

1.1K 63 21
                                    

Apapun Selain

Rian yang masih membeku, dengan Elok yang masih melihat perginya tubuh Bela ke dalam rumah. Semua seakan menusuk sampai tembus ke punggung. Begitu yang dirasakan Rian. Dan juga Bela.

Tanpa bisa menyusul Bela ke dalam, atau menarik pergelangan tangan perempuan itu agar dia bisa menjelaskan apa tujuannya ke rumah itu. Bahkan mulutnya kelu tidak bisa membalas kalimat panjang hasil olahan pikiran Bela yang kalut dan penuh kesedihan.

"Rian, maafkan Bela, ya? Dia sedang bersedih jadi ucapannya ngelantur kemana-mana. Jangan diambil hati. Dia suka begitu kalau hatinya lagi buruk," ujar Elok.

Riam melirik Elok. Dengan senyum tipis, Rian lalu pamit untuk pulang. Tak sanggup menambah kebencian Bela terhadapnya.

Sementara Bela yang sudah masuk ke kamarnya langsung runtuh terduduk di ubin kamar yang dingin. Belum lama ini dia sudah kehilangan papanya. Sekarang dengan pikiran yang kalut, dia mengusir sosok yang dia amati hidupnya beberapa bulan ini.

"Aku benci seperti ini. Rapuh!" bentaknya pada dirinya sendiri. Dengan tampang yang sama, pakaian yang masih sama, posisi yang sama, dia meruntuki dirinya yang rapuh. Tapi bagaimana tidak, dia sudah kehilangan semuanya. Apa arti hidup kalau begini?

"Astaga Bela!" Elok yang masuk kamar Bela kaget melihat Bela yang tiba-tiba sudah terduduk di lantai. Dengan cekatan Elok menghampiri Bela. "Kamu kenapa hm?"

Diam.

"Bela, kamu kenapa duduk di sini? Ayo naik ke tempat tidur," ujar Elok sambil memapah Bela sampai ke tempat tidur. Didudukkan Bela. Namun si pemilih badan tidak merespon apa-apa. Diam lagi.

Elok duduk di samping tempat tidur. Menatapnya dalam, mencoba menelisik apa yang ada di pikirannya. Meskipun itu kemungkinan kecil. Bela bagi Elok adalah jurang yang dalam, tidak bisa dicapai meskipun sudah terjun ke sana, kedalamannya tidak bisa diukur, seperti apa yang dipikirkannya, tidak bisa tertebak sedikit pun. Dengan respon yang hampir tidak ada, malah semakin mempersulit Elok untuk melakukan tindakan lebih lanjut untuk Bela.

Tak lama, Elok pamit untuk pulang. Tapi tangannya diraih dengan lembut oleh Bela sebelum ia berdiri. Elok menoleh, ada senyum yang tersirat di bibir Bela, Elok melihatnya.

"Aku mau kamu kasih tahu Rian, suruh dia ke sini besok, ya? Aku mau minta maaf sama dia. Tadi aku bicara ngawur," ujar Bela akhirnya.

Elok mengangguk keras. "Nanti aku telefon dia. Kamu tidur aja, istirahat." Tersenyum menanggapi Bela.

Selepas itu, Elok keluar kamar Bela dan pulang.
-

Hitam seperti awan yang sedang bergerumul menutupi birunya langit. Kali ini hujan lagi. Dingin pun menyeruak melewati kain baju yang dipakai Bela. Suara hujan membuatnya bimbang, apakah Rian ke rumahnya atau tidak. Dia melihat ke luar jendela. Berembun karena dingin hujan.

Pintu rumahnya belum terketuk walau sekali. Bela masih menunggu Rian datang. Dia melamun. Hari yang hujan seperti ini, dia tahu bahwa Rian akan membencinya. Tapi dia masih berharap bahwa Rian akan tetap datang walau dengan kondisi basah untuknya.

"Rian kemana?" Bela berlirih.

"Aku di sini."

Suara berat merayap ke telinga Bela. Dia menoleh ke asal suara itu. Sudah berdiri Rian di depan pintu kamarnya yang terbuka. Menampakkan Bela yang duduk bersandar pada pangkal tempat tidurnya sambil memeluk bantal panjang.

Rian sudah sampai, sejak tadi. Tapi Bela tidak sadar. Rian bahkan mengetuk pintu rumahnya berkali-kali tapi tidak ada jawaban dari Bela, yang katanya menunggu ketukan pintu. Rian menyelonong masuk begitu tahu pintu rumah Bela tidak terkunci. Dan sampai lah di depan pintu kamar Bela yang terbuka lebar.

"Jangan sering ngelamun, ah! Nanti kalau ada yang masuk kayak aku begini, kamu nggak sadar sama sekali," ujar Rian sambil melangkah masuk  menghampiri Bela.

Bela hanya tersenyum tipis menyambut Rian. Laki-laki itu mendudukkan dirinya di sisi tempat tidur Bela.

"Kamu suruh aku ke sini untuk apa? Rindu?" tanya Rian.

Bela terkesiap. Bukan untuk rindu alasan Bela menyuruh Rian ke rumahnya. Tapi mendengarkan penyataan maaf darinya.

Bela menggeleng keras. "Aku cuma mau minta maaf karena kemarin aku bicara ngawur ke kamu. Maaf," ucap Bela kemudian.

Sekarang berganti Rian yang tersenyum. Bela ikut tersenyum. Bela merasakan hatinya sedikit lebih tenang setelah melihat Rian tersenyum.

"Sudah, Bel, kamu jangan sedih terus. Nggak baik juga untuk kesehatanmu. Kamu jadi nggak bisa konsentrasi nanti," balas Rian.

"Iya.."

"Nanti kalau keadaan kamu tambah buruk, aku khawatir."

"Khawatir kenapa?" tanya Bela.

Rian diam sebentar. Bela menunggu jawaban yang akan diberikan Rian.

"Begitulah." Rian tidak mau menjawab dengan benar.

Bela mengeryitkan dahinya tanda bingung. Pikirannya yang awalnya kosong sekarang terisi banyak pertanyaan tentang semua pernyataan Rian. Rindu, khawatir, dan begitulah. Tidak ada yang bisa dipecahkan Bela dalam waktu sesingkat itu.

"Bela," ucap Rian.

Bela menolehkan lagi kepalanya ke arah Rian.

"Apapun selain kamu yang bermain-main dengan hujan, aku menyukaimu. Apapun selain permintaanmu pada hujan untuk membawamu menangis, aku bisa mengabulkan. Jangan menangis di balik hujan atau yang lainnya. Jangan hanya menunggu kekosongan yang kamu timbulkan setelah kejadianku waktu itu."

"Sekarang lihat, ada dua sofa kosong, harusnya kamu dan aku duduki, bukan? Untuk menghapus jarak benciku kepadamu," ujar Rian.

Bisa ditebak bahwa Bela akan bergelut dengan pikirannya sendiri mengenai kalimat panjang yang barusan keluar dati mulut Rian. Kalimat-kalimat puitis yang sulit dicerna Bela yang sedang dalam masa sulit. Teka-teki yang tidak mudah dipecahkan oleh Bela.

Rian sendiri hanya berekspresi datar. Seolah membiarkan Bela menebak apa maksud dari pernyataannya.

"Bingung?" tanya Rian akhirnya.

Bela mengangguk pelan.

"Aku menyukaimu kecuali kamu bermain-main dengan hujan. Alasannya karena aku benci hujan dan aku benci kamu sakit seperti kemarin." Rian menghentikan penjelasannya, menunggu respon Bela.

Bela mengangguk. "Aku paham. Lalu?"

"Aku juga akan mengabulkan semua permintaanmu kecuali kamu meminta kepada hujan, menangis di bawahnya. Alasannya karena aku nggak mau lihat kamu menangis bagaimana pun keadaannya."

Bela mengangguk lagi.

"Jangan menangis makanya. Biar aku nggak repot dan khawatir. Juga jangan menunggu jarak karena kecelakaan waktu itu. Kamu bisa memulai mendekatiku kalau kamu mau, aku nggak sebenci itu sama kamu."

"Lalu sofa?" tanya Bela dengan polosnya.

"Itu perumpamaan saja, Bel," jawab Rian dengan sedikit gemas.

Bela diam. Pernyataan pertama bahwa Rian menyukainya, kecuali ada hujan. Membuat Bela sedikit menahan napasnya.

"Masih bingung?" tanya Rian lagi.

Bela melirik Rian. Tapi langsung tertawa. Tawa yang membawa sejuta arti untuk Rian

Bersambung

Hujan Bawa Aku Menangis [11/11 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang