11.

1.5K 60 19
                                    

Meninggalkan

Setelah enam jam dalam masa kritis, akhirnya Rian terbangun dan bisa melihat dunia lagi. Beberapa kedipan sangat berharga untuk semua orang. Senyum tipis yang tertutupi alat bantuan pernapasan adalah hal yang selalu diharapkan. Pergerakan ujung tangannya adalah sebuah tanda bahwa sarafnya berfungsi dengan baik. Dan bangunnya Rian sangat melegakan Bela.

Kepala botak tak berambut. Wajahnya sayu dengan selang yang menyambung ke saluran pernapasannya. Tubuhnya pucat seperti tidak ada darah yang mengalir di aliran darah tepinya. Pandangannya lurus ke depan dengan mata yang tidak sepenuhnya terbuka. Dan selang infus yang terpasang di punggung tangan kirinya. Keadaan seperti ini membuat semua orang mengelus dada sambil terisak. Rian sadar, namun keadaannya tidak menjamin bahwa dia akan baik-baik saja.

Sementara dari luar ruangan, Bela duduk memojok dengan menggenggam kedua tangannya erat. Dia tertunduk. Pikirannya melayang-layang memikirkan Rian yang masih ada di dalam. Napasnya sedikit memberat menahan air matanya.

Dari arah lain, Ata berlari menuju Bela. "Rian sadar?" tanya Ata. Bela mendongakkan kepalanya lalu mengangguk.

Bela menunduk lagi lalu terisak.

"Jangan menangis. Hujan sedang pergi hari ini diganti dengan matahari. Artinya kamu harus tersenyum karena Rianmu sudah sadar," ujar Ata menenangkan. Dia berdiri di samping Bela, menepuk pelan punggung perempuan itu.

"Kenapa jadi seperti ini? Kenapa aku selalu membawa semua orang yang aku sayangi menjadi sial seperti ini?" tanya Bela, masih terisak, bertambah keras.

"Sudah kubilang jangan menangis, Nabela." Ata merengkuh Bela dalam pelukannya, hangat. Dia membiarkan perempuan yang berhati sedih itu dalam pelukannya, menumpahkan kesedihannya.

Pintu berdecit seperti dibuka seseorang. Ata dan Bela menoleh ke pintu ruangan Rian di rawat. Siapa yang tengah keluar, dan berita apa yang akan mereka dapat. Mata keduanya mengamati, menunggu siapa yang keluar. Ternyata Tante Karin dengan sebuah amplop besar di tangannya.

"Ada apa, Tante?" tanya Ata.

"Tidak ada apa-apa. Tante hanya ingin menemui dokter untuk mengetahui perkembangan Rian," jawab Tante Karin.

"Ata dan Bela boleh masuk untuk menemui Rian, Tan?" tanya Ata lagi.

Tante Karin menggeleng kuat. Matanya melirik Bela yang masih duduk lemas. "Dia masih dalam kondisi yang kurang baik. Jangan temui dia dulu," ujar Tante Karin.

Bela menerima itu. Dia hanya bisa berjaga di luar bersama Ata tanpa bisa melihat dengan nyata keadaan Rian yang baru siuman. Napasnya berat.

-

Hujan mulai membasahi latar rumah Rian. Bukan lagi gerimis, lebat. Hujan yang mengiringi sebuah duka mendalam dan keadaan terpuruk banyak kerabat serta kawan-kawan. Beberapa orang berbaju hitam dengan selendang yang dijadikan penutup rambut para perempuan. Beberapa yang lain masih mengenakan baju SMA yang tidak lain adalah kawan sekolahnya. Isakan mereka terdengar samar-samar ditutupi derasnya hujan hari ini.

Tante Karin terjatuh dari posisi berdirinya usai melihat tubuh kaku Rian di dalam peti, untuk kesekian kalinya. Tangisnya menggeru hampir menyamai hujan. Wajahnya memerah, bibirnya sudah pucat, dan matanya sudah bengkak. Kepergian keponakannya sudah menjadi kehilangan terberatnya, bagai mimpi buruk yang terburuk. Hampir satu minggu setelah Rian siuman pasca operasi, keadaan Rian tidak bisa dibilang baik. Rian hanya diam tanpa melakukan pergerakan berarti setelah itu meskipun sempat menggunam beberapa kali dengan pengucapan yang tidak begitu jelas.

Selama satu minggu itu, Tante Karin selalu mengharapkan hal baik agar keponakannya bisa pulih. Namun semua di luar dugaannya dan juga dokter yang merawat Rian. Sehari sebelum dia meninggal, Rian sempat menggunamkan beberapa nama lalu pingsan. Jantungnya melemah. Setelah dilakukan beberapa pemeriksaan, ternyata otak Rian sudah mati.

Tante Karin begitu terpukul. Juga Ata yang menjaga sahabatnya dari luar. Rian kritis selama dua jam dan akhirnya jantungnya tidak berdetak lagi. Sontak teriakan yang menyebut nama Rian terdengar nyaring. Tante Karin langsung tidak sadarkan diri.

Masih dalam keadaan duka, Ata belum sempat menghubungi Bela saat itu. Baru selang dua jam setelah Rian dinyatakan meninggal, Bela dikabari oleh Ata mengenai berita tersebut.

Semua akan paham bagaimana syoknya Bela mendengar berita itu ketika dia sedang berada di rumah. Saat itu, dia sedang beristirahat dengan ditemani Elok. Bela menangis, sejadi-jadinya, ditemani hujan yang langsung mengguyur deras seolah tahu bagaimana perasaan dukanya ayas kepergian Rian.

Bela tidak langsung bertolak ke rumah Rian, melainkan diam dengan sejuta bayangan Rian saat pertama kali mereka bertemu di sekolah, kejadian tabrakan yang membuat Rian masuk rumah sakit hingga berakhir meninggal karena kegagalan fungsi otak. Bayangan saat bermain hujan dan berakhir Bela harus masuk rumah sakit dengan diantar Rian. Bayangan suara dingin Rian hingga sudah meleleh. Semua itu membuat Bela sangat terpukul. Dia diam tanpa kata, namun air matanya menetes dengan sendirinya.

Elok melihat keadaan Bela yang tragis. Dia sudah kehilangan orang tersayangnya berkali-kali. Dia menangis sudah berkali-kali. Elok memluk temannya itu, dan menenangkannya.

"Rian orang baik," ucapnya.

Bela diam.

"Kamu nggak perlu menangis lagi," ucapnya lagi.

"Kali ini hujan membawaku menangis sambil mengantarkan Rian pergi," Bela buka suara.

-

Bela dan Elok berjalan di atas tanah merah yang masih basah karena hujan yang baru berhenti beberapa menit lalu. Mereka menuju makam yang masih basah dengan taburan bunga mawar yang penuh di atasnya. Nisan yang terpasang bertuliskan nama yang tidak asing bagi Bela dan Elok. Baru tadi siang tubuh yang sudah tidak bernyawa itu dikebumikan, dan baru sejam yang lalu kerabatnya pulang dari makam.

Wajah pucat pasi dan bibir pecah-pecah yang rapat tidak mengucap satu katapun, adalah milik Bela. Dia menatap nanar nisan bertuliskan nama Riang Angkaransyah. Dia berdiri dengan dirangkul Elok di sebelahnya. Wajahnya datar melamun dengan mata terarah pada nisan itu. Tidak ada air mata. Tidak ada salam. Hanya hening.

"Bunganya kamu taburkan ke makam Rian, Bel, lalu kita pulang ya?" ujar Elok.

Bela mengangguk.

Diambilnya bunga mawar satu kantong besar. Ditaburkan bunga itu genggam demi genggam di atas makam. Sama sekali tidak ada ucapan yang keluar dari mulut Bela. Namun perempuan berhati rapuh itu, membatinkan beberapa doa untuk Rian, sang pemilik hatinya. Dan sampai bunga itu habis, Bela masih membisu.

"Sudah? Ayo kita pulang," ajak Elok.

"Semoga bahagia di sana, Ri," ucap Bela pelan yang berhasil memecah keheningan.

Elok merangkul Bela, menuntunnya untuk pergi dari makam Rian yang makin dipenuhi bunga mawar yang harum. Dan, akhir kata Rian harus berpisah dengan Bela, dan semua harus mengikhlaskannya, terutama Bela.

TAMAT

Hujan Bawa Aku Menangis [11/11 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang