04.

1.3K 89 16
                                    

Hujan, Menangis di Bawahnya

Rian melangkah ragu menuju ranjang ruang rawat milik Bela. Di ranjang itu masing terbaring Bela dengan selang infus yang terpasang di tangan kirinya. Setelah menelan air liurnya untuk membasahi kerongkongannya yang kering, dia bersuara.

"Bela," lirihnya.

Bela masih memejamkan matanya. Mungkin masih tidur, pikir Rian.

"Bela," panggil Rian lebih keras.

"Hmm." Mata Bela terbuka perlahan. Dikerjap-kerjapkam matanya itu, melihat siapa yang memanggilnya. "Rian?"

"Gimana keadaan kamu? Sudah enakan?"

Bela mengangguk.

Rian bisa melihat bagaimana pucatnya Bela. Juga bagaimana terlukanya dia. Sebenarnya ada apa dengan Bela. Dia tiba-tiba bersemangat melihat hujan turun, menembus hujan tanpa ragu, tapi tiba-tiba juga dia tumbang dengan hidung berdarah setelah hujan itu reda. Berjuta rasa aneh ada di hati Rian. Berjuta prasangka buruk juga ada di pikiran Rian.

Bela diam. Rian juga diam.

Mereka hanya saling menatap mencoba menelisik apa yang ada di pikiran mereka. Tapi Rian segera sadar dari lamunannya menatap mata Bela. Dia memalingkan ke arah yang lain. Menghindari mata Bela yang terlihat menyedihkan baginya.

"Jangan main hujan lagi setelah ini. Aku nggak mau gendong kamu lagi. Berat," ujar Rian.

Bela tersenyum. "Maaf. Tadi terlalu semangat aja main hujannya, sampai pingsan."

"Semangat atau nggak, setelah ini nggak usah main hujan." Rian duduk di kursi yang disediakan di sebelah ranjang.

"Tapi terima kasih, Rian. Maaf repotkan kamu," ucap Bela.

Rian mengangguk-angguk.

"Jadi, kamu cuma pingsan karena kecapekan atau lagi sakit sampai pingsan gitu?" tanya Rian.

Demi apapun, Rian sudah penasaran dengan jawaban atas pertanyaan itu.

"Dua-duanya," jawab Bela. Dahi Rian mengkerut.

Bela tersenyum.

"Aku suka hujan. Tapi sayang, kamu nggak suka hujan. Aku suka hujan sejak kecil tapi papaku nggak pernah izinkan aku main hujan karena aku punya penyakit. Nggak berbahaya sih. Tapi kalau aku kecapekan kayak tadi, apalagi sampai kedinginan, aku bisa pingsan dan mimisan," jelas Bela.

"Pernah waktu itu aku sedang capek sama papa. Aku lari ke bukit cuma untuk meluapkan semuanya. Tapi sampai di puncak bukit aku pingsan. Aku ditemukan orang di sekitar bukit dua hari setelah itu."

"Kenapa aku suka hujan, karena tadi. Hujan bisa menutupi aku dari kesedihanku. Hujan adalah saat yang tepat untuk aku menangisi semuanya. Masalahku, kelemahanku, penyakitku," jelas Bela lagi.

Rian hanya diam.

"Tadi aku sempat berharap pada hujan. Hujan, bawa aku menangis bersamamu dan dia," ucap Bela dengan senyum yang mengembang.

"Maksudnya?" Rian bingung.

"Aku nggak tahu apa yang ada di balik kebencianmu sama aku. Aku juga nggak tahu apa yang ada di balik ketakutanku sama kamu. Semoga baik dan indah."

Riam tidak mengerti sama sekali perkataan Bela. Dia hanya bisa diam. Dia hanya menatap perempuan itu yang masih terbaring di ranjang itu. Menatapnya dalam, mencoba menggali arti dari perkataannya tadi, tapi tidak ada hasil.

"Tante Karin mau ke sini. Katanya dia mau jaga kamu, jadi aku pulang setelah itu."

Bela mengangguk.

Tanpa meneruskan rasa penasarannya, Rian hanya duduk diam menatap Bela yang masih dengan posisi yang tidak berubah. Di matanya, Bela terlihat menyedihkan, tapi dia tidak bisa menyembunyikan rasa dendam akibat tabrakan kapan hari. Bukan dendam, hanya kesal yang berkepanjangan. Tapi sejak saat itu rasa kesalnya berubah jadi terus memikirkan perempuan itu. Menjadi ingin meluapkan kekesalannya, tapi terkesan rindu padanya.

Bosan dengan hanya duduk, Rian berdiri menuju ranjang Bela.

"Aku bosan. Kamu nggak ingin makan apa gitu?" celetuk Rian.

"Nggak. Tapi kamu bisa beli makanan di kantin rumah sakit," jawab Bela.

"Habis aku yang sakit, gantian kamu yang sakit," ujar Rian, dia kembali duduk tanpa menanggapi usul Bela untuk membeli makanan di kantin rumah sakit.

Keduanya memilih diam tanpa menyela untuk bertanya hal lain. Janggal memang. Tapi mereka seolah tidak menampakkan apa-apa di antara mereka. Padahal masih banyak rahasia di antara mereka.

Banyak hal yang Bela pikirkan di bawah hujan yang memeluk sang bumi. Masalah papanya yang belum juga selesai. Juga masalah tabrakan yang melibatkan Rian. Bela merasa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah.

Di bawah hujan dia menangis. Menangisi apa yang sudah Tuhan berikan padanya. Dia sedih, saat Tuhan menciptakan makhluk ciptaan yang sangat dia agung-agungkan, dia cintai begitu dalam lebih dari papa dan dirinya sendiri. Tapi dia juga bersyukur, sudah mempertemukan ciptaan yang menurutnya sempurna itu, bisa ada di hadapannya untuk waktu yang cukup lama.

Bela menangisi sosok Rian yang tidak pernah tahu bagaimana dia. Bela melihat sosok Rian dengan tatapan penuh binar saat laki-laki itu tertawa lebar, meskipun bukan kepadanya dan bersamanya. Rian Angkaransyah adalah jawabannya. Tapi nyatanya, meskipun setelah insiden kecelakaan itu, Rian hanya menganggapnya sebagai Bela yang punya aib begitu buruk di matanya, atau Bela yang tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Namun lain dengan Bela.

Tangisnya di bawah hujan tidak memperlihatkan kesedihannya. Tangisnya itu tidak akan dilihat oleh siapapun bahkan Rian yang berada di dekatnya.

Hanya itu yang dia lakukan. Tapi terkadang hujan sedikit jahat padanya. Saat kesedihan melandanya, dunia terasa lebih buram lalu gelap. Setelah itu, sosok Rian menemukan tubuh Bela yang tergeletak di taman yang basah. Tubuh menggigil namun tersenyum, dia usai menyelesaikan beban hatinya terhadap papa dan Rian.

Kembali ke ruang tempat Bela dirawat. Rian masih dengan posisi yang sama. Sekilas Rian melirik Bela yang melamun melihat ke arah depan tanpa berkedip. Apa yang dia pikirkan? Batin Rian berbicara.

"Rian, kalau aku hujan-hujan lagi, apa kamu juga akan membawaku ke rumah sakit dan menemaniku seperti ini, lagi?" celetuk Bela. Rian menoleh. Menampakkan ekspresi yang tidak bisa terbaca, antara bingung, kaget atau terpana dengan pertanyaan Bela.

Rian berpikir. Butuh beberapa detik untuk dia menjawab, "intinya jangan hujan-hujan lagi."

Bela tersenyum mendengarnya. Tapi Bela ingin melakukan hal ini lagi, atau menambah dosisnya menjadi hujan-hujan bersama Rian. "Pasti asyik," gunamnya.

"Apa, Bel?"

"Nggak!" Bela menggeleng keras saat gunamannya sampai di telinga Rian.

Pasti asyik kalau ketika hujan aku bersamamu, di bawah hujan bersamamu, atau mencintaimu bersama hujan, juga menangis bersama hujan.

Bersambung

Hujan Bawa Aku Menangis [11/11 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang