09.

841 50 3
                                    

Ironis Ketika Turun Hujan

Ruang ICU masih seperti sebelumnya. Meskipun dari kaca dokter sudah tidak terlihat memeriksa Rian, tetapi memeriksa yang lain, dokter tidak juga menyudahi dan keluar untuk memberikan informasi kepada kerabat pasien mengenai keadaannya. Rasa cemas tetap menghinggapi Ata sebagai penemu Rian yang keadaannya ironis di kamar mandi dengan darah yang mengalir dari belakang tengkuknya. Ata sendiri sering menemui Rian terjatuh bahkan pingsan. Tetapi baru kali ini dia menemui Rian dengan darah.

"Bagaimana keadaan Rian ya, Tante?" tanya Ata pada Tante Karin yang sedang membawa grafik perkembangan otak Rian pasca didiagnosis dokter.

Tante Karin menoleh. "Kamu jangan khawatir. Rian akan baik-baik saja, meskipun kalau dilihat dari grafiknya, penurunan fungsi otak Rian semakin signifikan, Ta," hibur Tante Karin.

"Apa Rian akan meninggal, Tante?" tanya Ata lagi. Kaki kanannya tidak bisa diam, itu adalah reaksi ketika jantungnya berdetak di luar keadaan normal.

"Jangan bicara yang aneh-aneh, Ta."

"Tapi kalau sekarang saja Rian sampai terjatuh dan berdarah-darah, bisa saja setelah ini lebih parah--"

"Lalu kamu untuk apa menjadi penjaga Rian kalau jadinya Rian semakin parah seperti bayanganmu?" potong Bela.

Bela baru saja sampai di tempat tunggu di depan Ruang ICU. Memotong ucapan Ata.

"Bukan begitu maksudku, Bela," kilah Ata.

"Lalu bagaimana? Kalau kamu nggak bisa menjaga Rian setelah ini, biar aku saj," ucap Bela bersikukuh.

"Bela, maksud Ata bukan seperti itu. Kamu tenang dulu ya," tahan Tante Karin yang menghampiri Bela.

"Tante tahu Bela khawatir ke Rian, tante juga, Ata juga. Semua nggak mau terjadi apa-apa sama Rian, apalagi kehilangan Rian--"

"Keluarga Rian Angkaransyah?" Penjelasan Tante Karin terpotong ketika dokter menyerukan pertanyaan itu.

"Dok, bagaimana keadaan keponakan saya?"

"Saat ini saudara Rian masih tidak sadar, tapi jangan khawatir, maksimal malam ini Rian sudah sadar," jelas dokter. "Jika dilihat secara medis, seseorang dinyatakan mati otak ketika tidak ada lagi aktivitas saraf pada otak ataupun batang otaknya. Artinya, tidak ada lagi impuls saraf yang dikirimkan antara sel-sel otak, dan situasi yang dialami saudara Rian ini cukup signifikan memburuknya. Untuk saat ini otak Rian sedang mengalami penurunan aktivitas baik pengiriman impuls, juga penerimaan respon yang menjadikan Rian mengalami kesulitan seperti gerak, komunikasi seperti yang sering dialami Rian. Dan, secara otomatis Rian meninggal."

Sontak Bela terduduk di kursi tunggu. Membuat Ata sigap menangkapnya. "Bela.."

"Tapi untuk sementara ini, Rian tidak apa-apa, kan, Dok? Maksud saya, keadaan Rian semakin memburuk?" tanya Tante Karin.

"Fungsi otak saudara Rian tinggal 60%, jadi perlu waspada."

"Apa nggak ada obat untuk menormalkan fungsi otak Rian?" Ganti Bela yang bertanya.

"Kami sedang mengusahakan untuk meningkatkan fungsi otak Rian," jawab dokter.

Selepas itu Tante Karin diminta untuk mengurus keperluan Rian oleh perawat, meninggalkan Bela dan Ata di depan ruang ICU yang suasananya tidak terlalu baik setelah mendapat kabar dari dokter.

"Mungkin kamu benar, Ta," ucap Bela.

"Rian bukan orang yang lemah, karena dia sudah terbiasa hidup sendiri bersama Tante Karin. Dia kuat, Bel, jadi kamu jangan takut. Jangan pikirkan semua pesan Rian tempo hari yang bilang kalau dia nggak ada bla bla bla. Rian terus sama kamu kok," jelas Ata.

"Aku baru sadar kalau Rian begitu berarti. Sekalipun kita berdua berbeda haluan tentang hujan, aku pernah menabraknya sampai dia begitu benci sama aku, dan akhirnya mencoba perhatian kepada satu sama lain," ujar Bela.

"Dan sekarang aku sadar kalau dia sayang banget sama aku, sampai melibatkan kamu untuk buat aku selalu terjaga meskipun nanti dia sudah nggak ada," lanjutnya.

Ata terdiam. Hanya melihat Bela yang sudah berkaca-kaca ketika mengatakan kalimat panjang penuh arti itu.

Sungguh ironis kisah Bela. Kehilangan adalah hal yang sering datang kepadanya. Kehilangan ibu yang sekarang tidak tahu di mana hingga papanya terpukul bukan main. Kehilangan papanya baru-baru ini karena sakit yang selalu disembunyikan. Dan kali ini akan kehilangan Rian yang sudah penuh mengisi hatinya.

Bela melihat keluar jendela yang tak jauh dari tempatnya duduk. Dengan menyipitkan matanya, dia bisa melihat di luar sedang hujan lebat. Dia berbisik, "Hujan membawaku menangis bersamamu, Ri."

"Bela," Ata memanggil nama Bela sekali lagi untuk menyadarkan perempuan itu dari lamunannya bersama hujan di luar.

Bela menoleh ke arah Ata dan tersenyum tipis.

"Kalau senyummu adalah yang terbaik, tersenyumlah untuk Rian. Jangan bersedih. Dia juga nggak mau kamu terus melamun atau bersedih."

"Iya, aku tahu," balas Bela.

Tante Karin berjalan dari arah lorong yang menghubungkan ruang ICU dengan tempat jaga perawat. Dengan tas jinjing yang ada di genggamannya, dia berjalan terburu-buru ke arah Bela dan Ata bersama perawat, seolah terjadi sesuatu. Bela langsung bangkit menghampiri Tante Karin, diikuti Ata di belakangnya.

"Ada apa, Tante?" Pertanyaan Ata yang lolos lebih dulu.

"Tante masuk sebentar," ucap Tante Karin dan langsung mengikuti perawat yang sudah menunggunya di depan pintu ruang ICU.

"Tante--" tahan Bela, namun tangannya tak sanggup meraih tangan Tante Karin.

"Kenapa sama Rian?" tanyanya pada Ata.

Ata memandang lurus ke kaca ruang ICU, melihat setiap pergerakan Tante Karin pada Rian yang masih ada di dalam dengan kondisi yang kurang meyakinkan untuk baik. Di dalam sana, Tante Karin memandang Rian dengan wajah khawatir sambil tangannya membelai rambut Rian yang entah sejak kapan sudah dibotakkan oleh perawat.

Dengan rambut yang sudah dibotakkan, infus yang terpasang di punggung tangannya, bantuan pernapasan pada hidungnya, membuat keadaannya terlihat semakin memburuk. Ditambah ekpresi Tante Karin yang terbaca dengan jelas, khawatir pada keponakannya yang tersayang.

"Ata aku harus masuk." Bela melewati Ata dengan cepat.

"Bela!" cegah Ata.

Bela sudah memasuki ruang ICU dan beberapa detik kemudian sudah berada di samping Tante Karin. Keduanya terlihat saling bertanya dan menjawab sesuai penglihatan Ata dari luar. Namun, beberapa percakapan seperti diucapkan dengan nada tinggi karena ekpresi keduanya tidak santai.

"Ada apa di dalam?" tanya Ata sendiri.

-

"Semua karena kamu. Tante baru sadar kalau kamu sudah buat Rian jadi begini. Rian punya risiko meninggal yang tinggi sekalipun dia melakukan pengobatan apapun, bahkan operasi. Jadi Tante minta kamu jangan pernah ke Rian lagi, Bela. Jangan menyusahkan dia. Tante kira Rian akan bahagia bersama kamu, tapi ternyata kamu membawa mala petaka pada Rian."

Tusukan seribu jarum tak lebih perih dari ucapan Tante Karin.

Bersambung

Hujan Bawa Aku Menangis [11/11 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang