05.

1.2K 73 16
                                    

Meraih Butir Hujan dengan Berpilu

Air di langit berkumpul menjadi awan yang cukup hitam. Hari ini bertepatan seminggu sejak kejadian Rian yang ditabrak dengan tidak sengaja oleh Bela. Itu merupakan kabar gembira sedikit untuk Bela. Sayangnya dia juga harus bersedih.

Pagi hari pukul tujuh lewat sepuluh, Bela yang baru beranjak keluar dari kamarnya diributkan oleh suara gaduh dari bawah. Bela turun. Dia ingin memastikan sesuatu di bawah sana. Mungkin papanya atau orang lain yang menyusup ke rumahnya. Sementara kakinya berjalan menuruni tangga, tangan Bela sedikit gemetar saat dia juga mendengar kegaduhan yang semakin meninggi frekuensinya.

Ruang tamu yang awalnya rapi menjadi seperti gudang dengan barang yang berserakan di mana-mana. Seolah sebelumnya barang-barang itu baru saja dilempar oleh seseorang secara sengaja. Dan di pojok ruang tamu ada papa Bela yang berdiri dengan badan gemetar dan baju lusuh berwarna putih tulang. Tubuh gemetar itu menatap Bela dengan tatapan yang aneh. Takut dan bingung, menatap Bela.

"Papa," lirih Bela.

Bela menghampiri papanya yang sudah lusuh. Dengan takut-takut dia tetap melangkahkan kakinya ke papanya. Tangannya yang tertutupi sarung tangan tebal itu meraih wajah papanya yang tertunduk. Di balik itu, papa Bela sesenggukan.

Ada tangis di baliknya. Belum sampai tangan Bela meraih wajah papanya, tangis itu pecah menimbulkan nyeri yang amat sakit untuk Bela. Papanya menangis di depan matanya setelah mengacak-acak ruang tamu sedemikian rupa. Papanya seperti orang yang benar-benar hancur.

"Papa..." lirih Bela lagi. Dia tidak kuat menahan sakit di dadanya. Dia ikut menangis dan memeluk tubuh papanya.

Rengkuhan itu terlihat begitu memilukan. Dengan badan yang masih terasa bergetar di tubuh Bela, papanya ikut memeluk Bela sebagai putrinya. Keadaan itu lama sekali sampai mereka benar-benar lega setelah melepas tangis dalam pelukan seorang ayah dan anak.

Papa Bela melepas pelukan itu sambil berkata, "Papa sakit. Maaf kalau nanti papa akan tinggalin Bela sendirian. Maaf kalau selama ini papa suka buat Bela malu, repot, sedih sampai menangis seperti tadi. Papa minta maaf kalau tidak bisa jadi papa yang baik dan berguna untuk Bela. Ini mungkin jadi hari terakhir papa bisa memeluk Bela erat seperti tadi."

Air mata yang sempat kering di pelupuk mata Bela, sekarang menggenang lagi. Pandangannya menjadi buram karena tertutup oleh mair mata yang siap jatuh lagi melewati pipinya.

"Ini masih pagi. Kenapa papa suka bercanda? Papa sehat-sehat aja. Papa nggak sakit apa-apa, kenapa papa bisa bilang kalau ini hari terakhir." Bela tersenyum miris.

"Hari terakhir apa? Kita akan sama-sama sampai kapan pun!" ucap Bela.

Papa Bela memeluk tubuhnya erat, lagi. Tangisnya tumpah. Dia menangis sejadi-jadinya. Dia juga berteriak tidak terima akan apa yang dia terima hari ini. Bahwa dia mendengar papanya sakit dan berkata bahwa ini pelukan terakhir untuknya.

"Terakhir, Bela."

Ketika itu, tubuh papa Bela lemas hingga terhuyung ke badan Bela. Dengan tanggap, Bela mencegah tubuh papanya agar tidak terjatuh. Bela panik melihat tubuh papanya tiba-tiba lemas.

"Papa!"

Direntangkan tubuh papanya. Bela bisa melihat mata papanya yang menutup rapat. Tidak ada suara yang keluar dari mulut papanya. Tidak ada gerakan yang terjadi. Lantas dia menggoyang-goyangkan tubuh itu dengan keras. Dia mencoba membangunkan papanya sekuat yang dia bisa. Dia berteriak sekeras mungkin agar papanya bisa mendengar suaranya. "Papa!" Dia memekik memanggil papanya yang tidak menghiraukan suaranya.

Hampir satu menit seperti itu. Hingga Bela menyerah. Dengan hati yang was-was, dia memeriksa nadi papanya.

Bersama tangis yang pecah untuk kesekian kalinya, pagi ini begitu buruk baginya, yang akan diingatnya sampai kapan pun.

-

Hari berkabung tengah dirasakan Bela. Ditemani Elok yang merupakan tetangganya, Bela duduk di kursi kayu depan rumahnya. Lamunan yang tidak ada akhirnya masih dilakukan oleh perempuan itu. Baju serba hitam yang mengikat tubuhnya menandakan ada kepiluan yang mendalam.

Elok yang meski berkali-kali mengajaknya bicara, tidak dihiraukan sama sekali. Elok pun tidak tahu apa yang ada dipikiran Bela sekarang. Padahal ini adalah hari ke tujuh setelah mendiang papanya diambil Tuhan. Bahkan Bela yang sebagai putri kandungnya, tidak tahu-menahu tentang penyakit yang diderita papanya.

Masih dengan lamunan, wajah pilu dan pucatnya terlihat menyedihkan sekali. Meski tanpa air mata yang menetes melewati pipinya, di dalam hatinya ada luka yang tidak bisa disembuhkan dengan obat apapun.

Matanya sudah menghitam dan bengkak. Bibirnya memutih pucat. Kulitnya juga memucat karena terlalu lama diterpa angin malam. Ya, setiap malam Bela hampir tidak pernah tidur, hanya melamun di teras sampai pagi menjelang baru masuk ke kamarnya.

Elok masih di sana, melihat nanar sosok Bela. Elok yang tidak tahan dengan Bela yang demikian, berdiri menghampiri Bela. Tangannya mencengkeram bahu Bela erat.

"Bela! Ayolah, sadar sedikit! Ini bukan akhir dari hidupmu!" bentaknya di depan wajah Bela.

"Kalau kamu nggak sadar juga, terserah! Aku nggak akan mau ke sini untuk kamu!"

Sementara Bela hanya diam sambil melihat Elok yang menatapnya tajam sambil masih mencengkeram bahunya. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.

"Bela!" bentak Elok lebih keras. Dengan kesal, dia mendorong paksa tubuh Bela sampai terbentur sandaran kursi kayu yang diduduki. Tapi lawan mainnya hanya mengikuti alur dorongan itu tanpa melawan.

"Bela." Suara lain menyebutkan namanya.

Elok menoleh. Dia sedikit terkejut melihat ada Rian yang sudah berdiri di depan teras rumah Bela.

"Bela, ada Rian." Elok membisikkan itu ke telinga Bela.

Bela masih tidak berkutik. Hanya gerakan kecil yaitu lirikan mata Bela yang menuju sosok laki-laki berpakaian hitam rapi yang masih berdiri tegak di depannya. Menatap tanpa ada ekspresi lain. Menatap tanpa ada ucapan yang keluar. Tak lama dia berdiri, menghampiri Rian.

"Orang yang kamu bilang gila kapan hari, orang yang kamu bilang suka mabuk dan main perempuan sampai kamu bingung bagaimana dia mengajari anaknya, orang yang kamu bilang mau jadi apa anaknya kalau kelakuannya demikian, sekarang sudah dijemput Tuhan. Ternyata dia mengidap penyakit yang bahkan anaknya sendiri nggak tahu. Sekarang aibku bertambah di depanmu, Rian."

Seonggok tubuh tegak yang dihampiri Bela, seketika beku. Kalimat demi kalimat pilu telah diucapkan perempuan yang sekarang penuh luka lara.

Aku meraih butir hujan yang ada dalam diriku. Tangisku. Piluku. Bahkan aku membenci kamu dengan begitu mudah setelah orang lain yang aku sayang pergi ke langit tanpa pamit.

Bersambung

Hujan Bawa Aku Menangis [11/11 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang