10.

857 49 6
                                    

Pergi Atau Tinggal

"Semua karena kamu. Tante baru sadar kalau kamu sudah buat Rian jadi begini. Rian punya risiko meninggal yang tinggi sekalipun dia melakukan pengobatan apapun, bahkan operasi. Jadi Tante minta kamu jangan pernah ke Rian lagi, Bela. Jangan menyusahkan dia. Tante kira Rian akan bahagia bersama kamu, tapi ternyata kamu membawa mala petaka pada Rian."

Tusukan seribu jarum tak lebih perih dari ucapan Tante Karin. Hal yang paling membuat Bela jatuh sesakit-sakitnya adalah dikatakan telah membuat orang yang paling disayanginya tersakiti seperti ini. Kondisi Bela tidak begitu baik setelah pengakuan Rian mengenai keadaan otaknua. Ditambah banyak fakta yang Bela dapat dari dokter, Ata dan juga Tante Karin mengenai Rian. Dan sekarang, Tante Karin membuat suatu keputusan untuk menyuruhnya tidak menemui Rian lagi untuk alasan Rian.

Sakit yang diderita Bela tidak sesakit yang Rian alami. Mengalami penurunan fungsi otak karena suatu kecelakaan dan harus terbebani dengan orang-orang disekitarnya yang harus dibahagiakan, termasuk Bela. Menanggung risiko meninggal kapan saja begitu otaknya sama sekali tidak berfungsi. Padahal ketika pertama kali Rian masuk rumah sakit setelah kecelakaan, dokter tidak memberikan informasi apapun mengenai otaknya, apakah ada gangguan atau tidak. Ujungnya adalah yang Rian alami sekarang, dimana sampai detik ini dia belum juga bangun.

"Tante, apa maksudnya? Bela nggak ada maksud untuk membuat Rian seperti ini," ucap Bela dengan suara bergetar.

"Sudah. Tante memang menyukai kamu, tapi Tante juga sadar kalau kamulah yang sebenarnya membuat Rian seperti ini. Sekarang adalah kesempatan kamu untuk ketemu Rian. Setelah operasi nanti, Tante nggak akan mengijinkan kamu untuk ketemu Rian," ujar Tante Karin.

"Tante.."

"Rian akan dioperasi hari ini. Kalau kamu sudah selesai menemui Rian, segera keluar."

Tante Karin keluar dari ruang ICU dan menemui Ata.

"Ri, kami dengar aku?" tanya Bela pada Rian.

"Terserah kamu mau dengar atau nggak, tapi rasanya kamu akan dengar apa yang aku bicarakan nanti. Aku tahu kita memang nggak pernah berjodoh. Banyak buktinya, Ri. Apa yang kamu suka adalah yang aku nggak suka, dan sebaliknya. Kukira kecelakaan itu, main-main dnegan hujan waktu itu, waktu-waktu bersama kita selama ini adalah sebuah takdir sepasang jodoh yang memang digariskan Tuhan. Nyatanya nggak."

Airmatanya mulai menetes.

"Seorang Nabela yang selalu membuat sial siapa saja, bukan jodoh dari Rian, bukan begitu? Sekarang kamu sudah dibatasi untuk aku temui, jadi jaga diri kamu baik-baik. Jangan sampai masuk rumah sakit lagi, dan jangan tinggalkan aku, Ri. Aku sayang sama kamu, semoga operasimu lancar."

"Aku pulang dulu," ucap Bela lalu mencium punggung tangan Rian.

-

"Aku nggak tahu cara hidup setelah ini, Ta. Aku pergi dari dia, sekarang dia pergi dariku."

Isak tangis Bela begitu terasa pilu jika didengarkan. Hatinya hancur berkeping-keping dan akan sulit dikembalikan utuh. Pemilik hati itu sudah merasakan kepedihan yang tidak ada tandingannya setelah kepergian papanya. Orang yang sudah disayanginya tanpa alasan, yang selalu dipikirkannya tanpa memikirkan risikonya, pergi.

Rian Angkaransyah.

Nama yang sudah menancap dalam hati yang paling dalam.

Nyatanya sosok laki-laki itu tidak bisa tinggal lebih lama, dan sepertinya keputusannya adalah pergi untuk mencari sebuah kebahagiaan yang kekal tanpa harus merasakan sakit di tubuhnya, tanpa membuat orang lain khawatir padanya. Nyatanya sosok itu membuktikan bahwa dia sudah seperti akan pergi dengan kondisi yang sama sekali tidak diharapkan orang-orang terkasihnya. Dan, nyatanya sosok itu membuat airmata hari ini tak sanggup tinggal di kelopak mata, jatuh deras tak berhenti, juga sejuta rasa kekhawatiran yang menjalar ke seluruh tubuh

Apalagi yang dirasakan selain sakit, perih, kehilangan. Apalagi yang harus dituju jika titik tumpu sudah pergi. Bagaimana lagi Bela harus hidup setelah semuanya sukses pergi meninggalkannya. Sendiri, sunyi tak ada yang menemaninya selain udara sebagai sumber paru-paru yang mulai sesak karena tangisnya.

"Ketika aku membenci hujan, ada yang sangat mencintainya. Yaitu seseorang yang sekarang sedang berdiri menangis di samping tubuh lemah tak berdayaku. Mengatakan hal-hal menyedihkan, mengucap selamat tinggal dan aku harus mengiyakan dalam mata tertutupku. Aku bisa mendengarnya, hanya tak bisa membalas semua ucapannya."

"Ata, Rian nggak secepat ini pergi, kan?" tanya Baela sekali lagi.

Laki-laki bernama lengkap Matahari Putra Mahesa itu memeluk Bela erat. Dia membiarkannya menangis sekencang-kencangnya di dalam pelukannya. Tubuh tinggi proporsionalnya begitu mumpuni memeluk seluruh tubuh Bela. Sementara Bela membiarkan tubuhnya menempel seluruhnya pada Ata, tanpa memikirkan apapun.

"Menangislah. Tapi kali ini nggak ada hujan, jadi kamu nggak bisa menyembunyikannya," ucap Ata.

"Selama ini, aku selalu menangis bersama hujan," ucapnya sambil terisak. "Hujan selalu membawaku menangis, tapi aku menyukainya. Tapi sekarang ketika hatiku benar-benar hancur, hujan nggak menyapaku," lanjutnya.

"Rian akan kembali," ucap Ata lalu mengeratkan pelukannya lagi.

Masa kritis Rian setelah operasi membuat semua orang bergetar khawatir bukan main. Dan hampir enam jam pasca operasi, Rian belum juga bisa melewati masa kritisnya. Beberapa kali dokter dan perawat keluar masuk untuk memeriksa perkembangan Rian, namun hasilnya masih sama, tidak ada tanda untuk siuman. Dan selama itu Tante Karin tidak bisa diam duduk sambil menunggui Rian siuman. Dia mondar-mandir di depan ranjang Rian sambil melipat tangannya di dada, sedang matanya menatap lurus ke arah Rian.

Keadaan Rian yang seperti ini membuatnya terlihat semakin menuju kebahagiaan yang kekal dan pergi meninggalkan semuanya. Pikiran semua orang semakin kacau. Prasangka-prasangka buruk semakin menjadi-jadi. Debaran jantung tidak terkontrol setiap dokter keluar usai memeriksa keadaan Rian. Begitu yang tepatnya dirasakan Tante Karin, Ata dan Bela tentunya.

Bicara tentang Bela, meski sudah diusir dan tidak diperbolehkan untuk menemui Rian, namun nyatanya rasa kekhawatirannya tidak bisa ditutupi. Tante Karin yang melihat Bela dengan pandangan tidak suka, ditenangkan oleh Ata.

Tidak ada yang bisa dilakukan Bela selain pasrah meskipun terus dikatakan tidak punya malu atas segala perlakuannya pada Rian oleh Tante Karin. Tidak ada yang bisa dilakukan Bela selain duduk menatap sepatu putih datarnya sambil menunggu kabar yang baik dari dokter setelah Rian menjalani operasi saraf. Dan hanya diam sambil berharap kebaikan dan keselamatan selalu ada untuk Rian, orang tersayangnya.

"Pasien atas nama Rian Angkaransyah siuman, Bu," ucap salah satu perawat setelah memeriksa keadaan Rian untuk kesebelas kalinya.

Tante Karin menjingkat dan langsung menerobos masuk ruangan dimana Rian dirawat.

Bersambung

Hujan Bawa Aku Menangis [11/11 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang