08.

888 55 6
                                    

Lemah Terjatuh

Bela diam setelah tangisnya pecah.

"Jadi, selama aku nggak ada, Ata bisa temani kamu main-main sama hujan. Sudah nggak ada yang larang kamu main sama hujan. Ata akan jadi hujan kedua yang kupastikan bisa membahagiakan hujan pertama milikku, kamu."

Dengan masih berada di pelukan Rian, Bela masih tidak percaya akan fakta yang dia terima kali ini. Sesekali dia sesenggukan akibat sisa tangisnya tadi. Matanya sudah bengkak dan menghitam. Napasnya belum bisa teratur. Bela memeluk Rian erat sekali, seakan tidak mau melepaskan laki-laki itu, atau membiarkan laki-laki itu pergi.

Bela tahu satu hal. Meskipun dia memeluk laki-laki itu seerat apapun, dia tetap kehilangan. Karena yang dia peluk hanya raga Rian, tidak dengan pikirannya, hatinya, kenangannya. Bela tahu memeluk Rian adalah hal yang sia-sia, menanggap semua akan tetap sama padahl dia tahu mungkin sedetik kemudian penyakit Rian akan kambuh sehingga tidak mengingatnya lagi. Yang Bela terima dari Rian adalah suatu saat otak Rian seakan kosong, tidak berisi satu kenangan pun, dan Rian akan menjadi orang linglung.

Betapa terpukulnya Bela, sampai tadi dia hampir tak sadarkan diri sebelum Rian meneriakkan namanya kencang-kencang. Bela terus menangis mengetahui semuanya. Bela terus mengatakan tidak pada Rian sekeras-kerasnya.

"Meskipun kamu mengatakan tidak, nyatanya aku akan tetap begini, Bel. Otakku mati setelah ini, mungkin aku akan dimatikan juga."

Bela masih memeluk Rian erat.

"Jangan pulang, aku masih mau sama kamu," pinta Bela.

"Iya. Aku bakal sama kamu terus. Ata temenin kita nggak apa-apa, kan? Dia nanti bakal jaga kamu juga," ujar Rian.

Ata tersenyum melihat Rian dan Bela yang masih saling memeluk. Di mata Ata, mereka adalah dua orang yang tidak ingin berpisah. Bela yang tidak mau melepas Rian karena tidak mau kehilangan laki-laki yang disayang. Sedangkan Rian tidak mau melepas Bela karena selagi otaknya masih berfungsi dengan baik kali ini, dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan bersama Bela. Ata paham dengan Rian dan Bela kali ini. Rian yang memintanya untuk tetap menjaga mereka sedikit merasa tidak enak karena takut menganggu. Tapi untuk menjaga keadaan Rian, dia terpaksa ada di antara mereka.

Ata masih mengamati Rian dan Bela yang kini memilih duduk berdampingan di rerumputan. Mereka tengah asyik bercanda entah membicarakan apa, tapi Ata jadi ikut tersenyum saat mereka tertawa.

-

Rian terjatuh di kamar mandi. Kabarnya dari Ata, dia tiba-tiba tidak bisa berjalan. Kakinya tidak dia gerakan sehingga langsung terjatuh. Ditambah lantai kamar mandi yang licin, Rian jadi terjatuh dengan mudah. Ata yang saat itu ada di dekat kamar mandi, mendengar suara seperti benda terjatuh di dalam kamar mandi. Dia langsung berlari dan menggedor-gedor pintu kamar mandi. Meneriaki Rian yang ada di dalam.

Saat itu, pintu kamar mandi terkunci dari dalam, membuat Ata terpaksa mendobrak pintu itu sampai terbuka. Tergeletak Rian tepat di belakang pintu dengan wajah sedikit pucat. Ada darah mengalir dari tengkuknya karena terbentur pinggiran lantai bak mandi. Buru-buru Ata mengangkat Rian dan keluar dari kamar mandi. Dibawanya Rian menuju rumah sakit karena dirasa sedikit parah karena tengkuknya telah mengucurkan darah yang cukup banyak.

Ata sempat menghubungi Tante Karin yang saat itu sedang ada di butiknya. Dia juga menghubungi Bela dengan ucapan yang pelan, karena dia tidak mau mengejutkan Bela. Mengingat baru kemarin Bela mendapat fakta bahwa Rian sedang mengalami penurunan fungsi otak. Dia juga tidak mau Bela terus menerus bersedih.

Begitu sampai di rumah sakit, Ata langsung membawa Rian ke ruang ICU, untuk kesekian kalinya.

Tante Karin terlihat berlari dari arah parkiran sambil menempatkan ponselnya di telinganya seperti menelepon seseorang. Wajahnya tidak secerah biasanya. Rian adalah penyebabnya. Keponakan tersayang dan paling dia banggakan tidak seperti dulu.

Tante Karin yang melihat ada Ata di depan ruang ICU, berlari menuju ke arahnya.

"Bagaimana Rian, Ata?" tanya Tante Karin.

"Masih diperiksa dokter, Tante. Tadi dia terjatuh di kamar mandi. Tengkuknya berdarah, aku khawatir kalau dia kenapa-kenapa jadi aku bawa ke rumah sakit."

"Maaf, Tante, buat khawatir," lanjut Ata.

"Kita tunggu dokter saja ya," akhir Tante Karin. Matanya terlihat was-was sambil melihat pintu ruang ICU yang bening. Di dalamnya bisa terlihay banyak pasien yang sedang dirawat termasuk Rian. Tubuh laki-laki itu terlihat lemah di atas ranjang dengan posisi miring, dan tengkuknya diobati oleh perawat dan dokter.

"Bela ke sini, Ata?" tanya Tante Karin.

"Sudah aku hubungi, Tante."

Tante Karin tersenyum tipis. "Dia pasti terpukul. Tante tahu bagaimana Rian ke Bela, juga Bela ke Rian. Mereka itu lucu. Sampai sekarang mereka masih belum mengungkapkan padahal sama-sama tahu kalau mereka ada rasa dan ada ketertarikan. Rian dulu memang benci sekali sama Bela karena kecelakaan itu, tapi dia berubah menjadi lebih peduli pada Bela setelah banyak kejadian yang mereka lalui."

ICU yang di dalamnya ada Rian sedang diperiksa oleh dokter yang didampingi perawat, nampak hening dari kaca luar. Berbeda dengan keadaan luar ICU yang cukup kalang kabut. Tidak hanya Tante Karin dan Ata yang sedang menunggu dokter keluar dari ruang ICU demi mengetahui keadaan kerabatnya. Beberapa orang seperti sepasang di samping Ata duduk, terlihat cemas dengan tangan mereka yang saling menggenggam. Keduanya bermuka cemas menunggu siapa saja keluar dari ruangan penuh rahasia itu. Lalu ada juga seorang ibu paruh baya yang menangis sambil dipeluk anak perempuan. Airmatanya berlinang, matanya terus memandang ke arah pintu ICU.

Rian nyatanya bukan satu-satunya pasien yang keadaannya kritis di dalam ruang ICU. Meskipun kondisinya semakin memburuk selepas pengakuan penyakitnya kepada Bela, Rian menjadi sedikit lebih memikirkan bagaimana hidupnya ke depan. Dan hasilnya adalah fungsi otak Rian semakin memburuk karena dipaksa untuk bekerja ekstra memikirkan sesuatu. Dokter yang selama ini merawat Rian mengatakan bahwa ada penurunan fungsi sel saraf di lobur frontal dan temporal otak Rian, menjadikannya sulit berkomunikasi, sulit berpikir atau berkonsentrasi. Rian juga kerap kali kesulitan dalam mengatur gerakan, seperti kejadian di kamar mandi yang membawanya ke ruang ICU.

Rian kesulitan mengatur gerakan: berjalan menjadikannya jatuh dengan mudah. Hal-hal seperti ini selalu Ata dan Tante Karin khawatirkan, apalagi ketika Rian melakukan kegiatan seorang diri seperti mandi. Ata dan juga Tante Karin tidak bisa memaksa Rian untuk tidak melakukan kegiatan apapun dan harus digantikan.

Bersambung

Hujan Bawa Aku Menangis [11/11 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang