Diam-diam Rindu
Cahaya matahari dari jendela membuat Bela menggeliat di balik selimut tebal yang berhasil menutupi seluruh badannya. Kepalanya muncul sepenuhnya. Suara alarm juga terdengar cukup keras di telinganya. Tidak mau mendengar suara itu, tangan kirinya meraih alarm yang ada di atas nakas sebelah tempat tidurnya. Matanya masih terbuka separuh. Rambutnya yang pendek terlihat acak-acakan.
Setelah mematikan alarm, dia kembali membenarkan selimutnya, berniat melanjutkan tidurnya. Malam kemarin Bela tidak bisa tidur. Sampai jam dua pagi matanya masih terbuka dengan pikiran yang terpatok pada Rian. Malam kemarin Bela sudah melakukan banyak cara untuk membuatnya tertidur. Membolak-balikkan tubuhnya mencari posisi yang nyaman, gagal. Menghidupkan AC dengan angka paling besar agar hangat, gagal. Menutup matanya dengan penutup mata dan mematikan lampu kamarnya, gagal. Bahkan mendengarkan lagu sendu dengan volum kecil, gagal.
Dan paginya, dia harus tetap ada di tempat tidur untuk membayar kantuknya tadi malam.
Belum lima menit setelah dia mematikan alarm, dering ponselnya terdengar. Seseorang meneleponnya pagi-pagi. Dengan malas, Bela meraih ponselnya di atas nakas. Dia menyipitkan matanya, melihat nama kontak yang meneleponnya. Rian Angkaransyah.
Bagai disambar petir, tubuhnya langsung menjingkat bangun tanpa aba-aba. Matanya langsung terbuka lebar-lebar diikuti tangannya yang membungkam mulutnya sendiri. Hormon adrenalin di dalam tubuhnya meningkatkan menjadikan jantungnya bekerja lebih cepat, napasnya tidak teratur, dan gemuruh detak jantung yang ditimbulkan membuat tangannya berubah menjadi sedingin es. Ini tanda cinta atau ketakutan yang berlebihan?
Jarinya bergetar. Tidak sanggup menggeser ikon hijau di layar ponselnya.
Rian Angkaransyah. Panggilan tidak terjawab
Sampai dering itu berhenti, Bela masih membungkam mulutnya.
Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar.
Rian Angkaransyah : Jawab teleponku. Penting!
Ketika Rian meneleponnya lagi, dia kembali takut. Apa yang ingin dikatakan Rian padanya. Dengan was-was, Bela mengangkat telepon itu.
"Halo?"
"Kenapa nggak diangkat-angkat!" Terdengar dari seberang suara Rian dengan nada bicara yang cukup tinggi. Membuat Bela sontak menahan napasnya karena takut.
"Aku baru bangun," jawab Bela.
"Gila ya. Kamu bangun jam segini tanpa sadar dosa kamu ke aku. Enak-enakin aja sampai nanti siang!"
". . ."
"Sekarang kamu ke rumah sakit. Urus kepulanganku. Tante Karin masih ada kerjaan, jadi berangkat pagi-pagi tadi."
Bela menutup teleponnya. Dia tahu jelas apa yang harus dilakukannya. Pergi ke rumah sakit bertemu dengan Rian. Ralat, mengurus kepulangan Rian dari rumah sakit.
Bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi. Dia memilih tidak mencuci rambutnya agar mandinya lebih cepat. Tidak sampai sepuluh menit dia sudah keluar dari kamar mandi dengan baju handuk yang menutupi tubuhnya. Dia lalu beralih menuju lemari pakaian yang ada di sebelah kamar mandinya. Lemari pakaian yang didesain seperti kamar ganti yang cukup untuk dia masuki.
Kaos berkerah dengan motif bunga-bunga yang dipadukan dengan rok span di bawah lutut menjadi gayanya kali ini. Setelah itu dia keluar dari lemari pakaian, dia menyabet tas jinjingnya beserta ponsel dan kunci mobil.
Bela menuju rumah sakit. Bersama dengan kepanikan akan bertemu dengan Rian, dia tetap melajukan mobilnya. Pikirannya menebak-nebak bagaimana sikap Rian terhadapnya nanti. Pikirannya menyusun rencana untuk bersikap wajar dan tidak setakut sekarang.
Rian bagaikan harimau yang ingin memangsanya hidup-hidup. Selalu mengingatkannya pada kesalahan yang kemarin dilakukannya. Menabrak laki-laki itu sampai masuk rumah sakit. Membuat laki-laki itu semakin membencinya.
Setibanya di rumah sakit, Bela menuju ruang rawat Rian. Di sana Rian sudah berpakaian rapi dengan kaos panjang dan celana jeans biru tua. Laki-laki itu terlihat sudah siap untuk pulang, dan terlihat lebih sehat dibanding kemarin lusa saat Bela datang menjenguknya. Melihat itu, Bela menghampiri Rian dengan takut-takut. Lagi-lagi bayangan rentetan kecelakaan muncul di depan matanya.
"Sudah siap?" tanya Bela.
"Tante Karin ada kerjaan. Aku nggak mau pulang sendirian kayak orang bodoh. Jadi aku suruh kamu ke sini."
"Iya," balas Bela.
"Sekarang kamu tata barang-barangku dan masukkan ke tas besar. Makanan kamu simpan yang bener di tas plastik itu," jelas Rian. Dia menunjukkan secara detail apa yang harus dikerjakan oleh Bela.
Tidak ada bentak-bentak atau wajah yang kesal. Rian menampakkan raut wajah yang biasa saja seolah tidak pernah terjadi apa-apa antara dia dan Bela. Rian juga tidak menghardik Bela seperti waktu itu sampai meluapkan segala emosinya dengan menyangkut-pautkan aib Bela yang dia ketahui.
"Rian, kamu udah nggak marah sama aku?" tanya Bela.
Rian menoleh. "Masih."
Bela diam.
"Aku masih marah sama kamu. Aku juga tetap benci sama kamu. Nggak tahu sampai kapan," lanjut Rian.
Tidak ada balasan apapun dari mulut Bela. Tangannya sibuk memasukkan barang-barang Rian seperti baju, celana, charger, buku panduan fisika murni, majalah, juga buku catatannya. Dia sudah bisa menebak jika dia membalas perkataan Rian barusan. Rian pasti akan merubah moodnya menjadi lebih buruk dari ini.
"Tante Karin ada kerjaan apa?" tanya Bela.
"Butiknya lagi ada tawaran buat iklan fashion," jawab Rian.
Laki-laki itu lalu mendekati Bela yang sedang menata buah dan kotak sereal di dalam tas plastik, sesuai perintahnya. "Sebenarnya aku nggak benci-benci amat sama kamu. Malah diam-diam aku mikir kenapa kamu nggak datang jenguk aku kemarin. Tolol, 'kan?"
Kalimat itu membuat tubuh Bela kaku. Ada yang aneh. Rasa yang tiba-tiba merayap hingga merinding.
Bela menoleh. Melihat mata Rian yang sedang menatapnya. Ada bayangan dirinya di dalam mata itu. Ada seberkas cahaya kerinduan yang samar-samar bisa dirasakannya. Tapi dia tidak bisa yakin akan itu. Sosok Rian baginya adalah aneh dan susah ditebak. Dan sekarang dia tidak bisa melihat jauh ke dalam dengan pasti.
"Aku nggak ngerti," ucap Bela.
Rian menghembuskan napas berat. Diam tidak menjawab. Menambah kebingungan dalam pikiran Bela.
"Aku nggak ngerti kenapa bisa bicara seperti itu. Rindu aja sama muka polos dan menyebalkanmu itu. Ingin aku marahi."
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Bawa Aku Menangis [11/11 END]
Short Story[ a c o m p l e t e s h o r t s t o r y ] Ketika aku membenci hujan dia berkata, "Hujan bawa aku menangis bersamamu dan dia." #916 in SHORT STORY (18 Oktober 2016) #878 in SHORT STORY (27 Oktober 2016) #3 in rainstory 3 mar 2019 #1 in ceritahujan...