Sudah 3 bulan berlalu sejak kecelakaan itu, tapi pria yang kini terbaring koma dihadapannya enggan membuka mata. Ariska menghela napas. Tadi suster sudah menagih biaya rumah sakit. Ariska bingung harus mencari uang kemana lagi. Uang tabungannya sudah terkuras habis untuk biaya oprasi dan biaya inap selam 3 bulan ini. Gajinya sebagai seorang guru SD di sekolah Internasional tak akan cukup untuk menanggung biaya pria tersebut lebih lama lagi.Ariska mengalihkan pandangannya keluar jendela. Ia sudah menggambil keputusan -walaupun ditentang oleh dokter- Ariska akan merawat pria ini sendiri di kontrakan mungilnya.
***
Ariska memasuki rumah kontrakan mungilnya, kontrakan yang terdiri dari 2 kamar tidur dengan ruang tamu dan dapur yang menyatu tanpa sekat terlihat sangat rapi. Tadinya Ariska menyewa rumah ini dengan salah satu temannya, namun beberapa bulan belakangan teman serumahnya itu memutuskan untuk tinggal di Apartemen mewah milik kekasihnya dibandingkan rumah kontrakan yang sempit dan sumpek.
Ariska berjalan menuju ruang makan. Ia meneguk habis segelas air tanpa sisa, sepertinya cuaca panas akhir-akhir ini mempengaruhi moodnya. Ia menyeka keringat yang menetes di dahinya.
Ariska berjalan menuju kamarnya. Di ranjang mungilnya. Pria itu masih berbaring tak sadarkan diri. Selang infus masih bertenger di tangannya. Perban di kepalanyapun masih belum dibuka. Hanya luka-luka kecil di sekujur tubuhnya yang mulai membaik. Ariska mendekat, duduk disisi tempat tidur. "Aku mohon cepatlah bangun" gumamnya seringan belaian bulu.
Ini sudah 3 minggu berlalu sejak Ariska memutuskan membawa pria itu untuk di rawat di rumah. Walaupun ditentang oleh dokter Ariska tidak punya pilihan lain. Biaya rumah sakit semakin membengkak tiap harinya.
Tidak setiap haripun Ariska melewatkan berita yang menayangkan orang hilang di TV, berharap akan memberi petunjuk padanya mengenai Pria tersebut. Ariska juga berlanganan koran demi mencari berita mengenai pria tersebut -hal yang paling Ariska benci karena menurutnya berlanganan koran hanya menghamburkan uang- tapi semua hasilnya nihil.
Ariska putus asa. Gosip sudah mulai menyebar mengenai dirinya yang tinggal serumah dengan pria. Ia tidak ingin di usir dari lingungannya sekarang. Lingkungan ini terlalu nyaman dan harga sewanya juga relatif lebih murah dibandingkan tempat lain.
Setumpuk pikiran menghantui Ariska. Ia pergi jauh-jauh dari kampung halamanya hanya karena ia ingin menghilangkan jejak kenangan itu, tapi -- seberapa jauhpun ia melangkah kenangan itu masih menghantuinya. Membelitnya layaknya sebuah rantai, belum lagi permasalahan hidup yang ia alami selama jadi anak rantau benar-benar menguras fisik dan batinnya.
Ariska merebahkan dirinya. Tubuhnya sangat lelah begitu juga dengan pikirannya. Ia perlu istirahat sejenak. Ya...hanya sejenak.
Ariska terbangun dari tidur panjangnya setelah merasa pergerakan tangan yang ia genggam. Ia menggenggam tangan pria tersebut sambil tidur. Ariska menegakan tubuhnya. Hari sudah mulai gelap. Cahaya dalam ruangan tidak cukup jelas baginya untuk mengecek keadaan pria tersebut.
Dengan perlahan Ariska melepaskan genggamanya. Tangannya sedikit tertahan, pria itu enggan melepaskan genggaman Ariska. Ariska mengelus tangan pria tersebut berusaha menenangkan. Setelah genggamanya sedikit merengang Ariska menarik tangannya. Ariska beranjak dari posisinya meraba-raba dinding kamarnya untuk menyalakan lampu.
Cahaya lampu menerangi ruangan itu. Ariska menyesuaikan pandangannya dengan keadaan tempat tidurnya. Ariska mendekat ke tempat tidurnya. Pria itu sudah membuka mata, hampir saja Ariska melonjak penuh syukur. "Syukurlah kamu sudah sadar. Apa ada yang sakit" tidak ada respon. Pria itu diam menatap Ariska. "Apa kamu bisa mendengarku?. Apa kamu baik-baik saja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Redamancy Lover
RomanceAriska Bagi Ariska kehidupan bergelimangan harta bukanlah impiannya. Ketika semua gadis memimpikan hidup dengan pangeran berkuda putih yang ia inginkan hanyalah dia dan hidup dalam kesederhanaan. Menjadi istri pria kaya raya bukan impiannya dan tak...