Part 4 : Permohonan tak Berujung

284 14 1
                                    

Ariska memandang pertemuan yang mengharukan dihadapannya. Beberapa tetes air mata ia dapati jatuh di kedua pipinya. Nancy tampak memeluk pria asing itu sangat erat. Air mata tampak menggenang di kedua pipinya yang tak pernah uzur itu. Suaminya tampak berdiri gagah di sampingnya. Walaupun ia tidak menangis tapi Ariska tahu ada rasa keharuan yang sama di kedua bola matanya.

Ariska mengadahkan wajahnya mencoba menahan air mata yang hendak keluar. Entah mengapa setengah bebannya tiba-tiba telah terangkat. Dalam hati ia berharap dengan bertemunya pria asing ini dengan keluarganya ia bisa mendapat perawatan yang baik.

"Terima kasih, Nak" Nancy memandang Ariska masih dengan tatapan haru. Ariska tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih sudah merawat Arka selama ini" Oh jadi namanya Arka. Pikir Ariska. Nancy berjalan mendekat ke Ariska. Ia menggnggam kedua tangan Ariska erat. "Kami tak akan bisa membalas budi baikmu ini"

Ariska tersenyum. "Saya menolong dengan ikhlas. Saya tak pernah memikirkan imbalan atau balas budi sedikitpun" tegas Ariska.

Mendengar penuturan Ariska, Nancy langsung memeluknya erat. Dari punggung Nancy, Ariska melihat pria asing itu -Arka- masih tak bergeming. Sebuah doa dan harapan Ariska panjatkan untuk Arka. 'Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu' ucapa Ariska dalam hati.

***

Sudah 2 hari kehidupan Ariska kembali seperti sebelumnya. Ia tidak perlu buru-buru pulang untuk menyiapkan makan seseorang dan tidak perlu lagi melakukan massage. Entah mengapa ia merindukan rutinitas tersebut tapi ia buru-buru menepis pemikirannya tersebut, ia tak ingin terlibat terlalu dalam.

Ariska beranjak dari duduknya. "Sudah mau sore. Lebih baik aku memasak dulu" ujarnya.

Langkah kaki Ariska terhenti ketika mendengar deru sebuah mobil di depan rumahnya. Ariska beranjak mendekati jendela dan mengintip dari gorden yang terbuka. "Nyonya Nancy?" Ariska mengenyitkan dahinya. "Mau apa datang kemari?"

Ariska membuka pintu rumahnya. Nancy tampak memasuki pagar halamannya. Ia tersenyum kearah Ariska yang berdiri di depan pintu. "Maaf menganggu, Ariska"

Ariska tersenyum "Ayo Tante silahkan masuk" Ariska mempersilahkan Nancy masuk ke rumah mungilnya.

"Maaf jika kedatangan saya tiba-tiba"

"Tidak apa-apa Tante. Kalau boleh tahu ada apa ya? Apa ini berhubungan dengan Andini?"

Nancy menggeleng. Ia memajukan tubuhnya dan menggenggam kedua tangan Ariska erat. Ariska memandang kedua tanganya yang digenggam dengan heran. "Ini tentang Arka"

Nancy menangis. Ariska bingung. "Ada apa dengan Arka?"

"Dia berubah. Dia bukan lagi Arka yang dulu saya kenal. Anak saya telah berubah" Ariska mengenyit semakin dalam.

"Maksudnya?"

"Beberapa hari ini Arka menolak untuk makan. Sudah berbagai cara kami coba untuk membujuknya tapi ia menolak, malah ia mengamuk dan melemparkan semua barang yang ada di dekatnya jika kami mencoba mendekatinya." Nancy memandang Ariska intens. Entah mengapa pandangan yang diberikan Nancy saat ini menimbulkan rasa was-was di hati Ariska. "Tolong bantu kami. Tante mohon"

Ariska menghela nafasnya dan kemudian mengangguk. Ia tidak mungkin mematahkan keinginan seorang ibu yang ingin anaknya sembuh.

***

Ariska berjalan mendekati kamar Arka. Ada sedikit kebimbangan di hatinya. Di satu sisi ia menolak untuk terlibat terlalu jauh tapi di sisi lain ia tak mungkin menolak keinginan seorang ibu. Dengan perlahan Ariska memutar knop pintu. Ariska terkejut melihat pemandangan kamar Arka yang kelihatan berantakan.

Ariska berjalan pelan. Dengan takut-takut berjalan mendekati Arka yang tampak asik memandang keluar jendela. "Bagaimana kabarmu?" Merupakan kata yang pertama kali berhasil dikeluarkan olehnya.

Arka mengalihkan tatapannya memandang tajam orang yang mengusik lamunannya. Tapi perlahan wajah yang semula mengeras itu kembali melunak. Ia memasang wajah datar dan tak pedulinya sekali lagi.

Ariska yang tak mendapat respon, tersenyum maklum. Dengan perlahan dia memajukan dirinya dan menggambil duduk di sisi tempat tidur Aska. Ia mengamati Aska yang tampak lebih pucat dari sebelumnya dan wajahnya kelihatan semakin tak terurus. "Aku pikir setelah bertemu keluargamu, kamu akan semakin membaik" ujar Ariska pelan takut menyingung.

Arka hanya diam. Tubuhnya tak bergerak sedikitpun dari kepala ranjang. Ia masih menerawang. "Ibumu mengkhawatirkanmu. Aku tahu kamu masih merasakan sakit itu. Tapi cobalah untuk tak membagikan rasa sakit yang kamu rasakan ke orang-orang sekelilingmu juga. Dengan berprilaku seperti ini. Kamu bukan hanya menyakiti dirimu sendiri tapi juga menyakiti dan menimbulkan luka yang sama kepada orang lain yang tak bersalah" Ariska mengenggam tangan Arka dengan berani. Ia mengangkat kepalanya dan menatap lekat tepat di maik mata Arka. "Bukan begini caranya. Kamu tak berhak menyakiti orang yang tak tahu sama sekali mengenai rasa sakitmu" Ariska menggeleng dan tersenyum. "Makanlah. Keluargamu merindukanmu"

Ucapan yang dilontarkan oleh Ariska yang terdengar tulus memohon Aska. Ia menyadari bahwa ia telah egois selama ini dengan menyakitkan keluarganya. Sikap diam dan memberontaknya tak akan mengembalikan semanya seperti semula. Tak kan juga mengembalikan wanita itu. Claranya...

***

Percakapan antara Arka dan Ariska disaksikan oleh kedua orangtua Arka melalui celah pintu yang terbuka.

"Pa. Papa lihatkan bagaimana Arka?. Mama yakin hanya ini satu-satunya cara agar Arka bisa kembali seperti dulu"

"Jangan gegabah, Ma. Ini bukan keputusan yang mudah. Papa takut keputusan yang kita ambil akan melukai mereka berdua"

"Pa--ini semua demi Arka. Hanya gadis itu yang bisa menaklukan Arka. Hanya dia yang bisa. Papa lihatkan yang tadi? Papa harus mengingat pesan dokter Hasan" Nancy memandang suaminya dengan tatapan memohon. Raylan mengangguk setuju. Ia tak bisa menampik kebenaran tersebut tapi sesuatu mengusiknya. Ia takut semuanya tak sesuai yang mereka rencanakan kelak.

Kanvas Buang

25.06.16

Redamancy LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang