Ariska mengamati refleksi dirinya di cermin. Wajahnya kelihatan cantik dengan polesan make up natural. Rambutnya di bun tinggi dengan menyisihkan berapa rambut ikal di kedua sisi wajahnya. Dress berwarna gading pucat sebatas lutut membalut tubuhnya dengan sempurna. Dia kelihatan cantik hari ini tapi wajah yang ia tampilkan justru berbanding terbalik dengan penampilannya.
Ia kurang tersenyum. Itulah kalimat yang sedari tadi diucapkan oleh penata rias yang merias dan mendandaninya, bahwa ia kurang tersenyum. Bahwa penampilannya akan bertambah sempurna jika sebuah senyuman tercipta di wajahnya. Bahwa seharusnya di hari bahagianya ia tersenyum tak habis-habisnya.
Tapi penata rias itu tak tahu dan orang-orang lainpun tak tahu, bahwa Ariska bukanlah pengantin kebanyakan yang akan menampilkan 2 ekspresi dalam pernikahan. Bahagia yang membuncah sehingga membuatnya terus-terusan tersenyum dan rasa terharu yang mendalam sehingga wajahnya dihiasi air mata.
Ariska tidak merasakan itu sama sekali. Ia tidak bisa tersenyum atau menangis. Ia hanya merasa kosong. Pernah seketika. Dulu sekali. Ia membangun mimpi indah mengenai pernikahannya namun setelah sang pembuat mimpi itu pergi ia pun menggubur mimpi pernikahannya. Dan tak ingin menggalinya lagi.
"Kamu sudah siap?" Sebuah suara hangat menyapa Ariska dari lamunanya -maminya-.
Ariska terdiam asik dengan bermain dengan bayangannya sendiri. Mami Ariska berjalan mendekat. Berdiri dibelakang Ariska dan meletakan kedua tangannya di bahu Ariska.
"Mami ga tahu apa alasan yang melatarbelakangi kamu mengambil keputusanmu ini. Tapi satu hal yang pasti. Sekali kamu melangkah, kamu tidak memiliki jalan untuk kembali. Mami sudah sering menasehati kamu dan adik-adik kamu mengenai ini. Pernikahan bukanlah permainan yang dapat kamu tinggalkan jika kamu bosan atau kamu buang jika kamu mendapatkan mainan yang baru. Pernikahan adalah sesuatu yang kudus dan suci. Karena ketika kamu menikah, kamu tidak melakukannya sendiri. Kamu mengundang Tuhan untuk menjadi saksimu. Dihadapan Tuhan kamu berjanji dan bersumpah. Dan ketika ikrar itu sudah diucapkan tidak ada cara lain untuk menghapusnya. Kamu mungkin bisa mengajukan perceraian di pengadilan manusia tapi kamu tidak bisa melakukan hal yang sama di pengadilan Tuhan. Karena Ia mencatatnya dengan tinta abadi dan di buku kekal."
Satu bulir air mata jatuh membasahi pipi Ariska. Kata-kata mamanya mengentaknya sedemikian rupa. Ia tahu alasan yang ia ambil salah tapi ia seperti menemui jalan buntu. Ia takut akan pernikahannya sendiri. Itulah yang ia rasakan.
Mami Ariska memutar badan putrinya. Kini mereka saling berhadap-hadapan dengan tangan yang saling terjalin. "Aris. Ketika kamu sudah masuk dalam drama pernikahan ini, maka kamu harus menjalankan peranmu dengan baik. Kamu harus berperan sebagai istri dengan baik, sebagai menantu dengan baik, bahkan sebagai kakak atau adik ipar dengan baik. Karena ketika kamu menikah dengan seseorang maka terlebih dahulu kamu menikah dengan keluarganya. Ini bukan perjalanan antar dua orang saja tetapi banyak orang yang terlibat didalamnya. Ketika kapal pernikahanmu karam atau hancur yang merasakan sakitnya bukan hanya kalian berdua saja tetapi juga orang-orang yang menyaksikan proses kapal itu dibentuk"
Ariska menangis semakin menjadi. Kepalanya sudah ia tundukan sedari tadi dan tangannya menggenggam tangan maminya dengan erat seakan meminta dukungan. Mami Ariska mengusap air mata putrinya.
"Ariska." Ariska terisak. "Ariska takut, Mi. Ariska takut akan akhir pernikahan ini. Ariska takut akan mengecewakan mami dan keluarga"
Mami ariska memeluk putri sulungnya. Mendekap ia dalam kehangatan kasih sayang seorang ibu.
"Jangan takut putriku" mami Ariska mengelus punggung Ariska dengan lembut. "Jangan takut. Kami akan senantiasa berada disisimu selalu. Kamu ingat apa yang dikatakan bapakmu ketika kamu dilamar waktu itu?"
Ariska melabuhkan ingatanya ke beberapa hari yang lalu.
Ariska menatap wajah ayahnya dengan cemas. Ia menebak-nebak apa yang ayahnya pikirkan dan utarakan mengenai lamaran yang mendadak ini. Maminya sedari tadi menampilkan senyum cerah ceria yang tak luput dari wajahnya. Wajah mami yang awalnya penuh keheranan dan kenyitan di dahinya yang keriput berganti dengan kebahagian yang luar biasa setelah mendengar penuturan tamu yang datang tiba-tiba.
"Ris, bisa bapak bicara?" Bapaknya Herman Sinaga membuka suara.
Ariska menanggkut dan ketika ayahnya beranjak dari sofa yang ia duduki, ariskapun mengikuti di belakang."Silahkan di minum dan nyicipin makanannya dulu. Pak, buk. Saya pamit kebelakang dulu"
Setelah mempersilahkan tamunya Mami Ariska -Riandra- mengikuti jejak suami dan anaknya. Memang terdengar tidak sopan meninggalkan tamu tapi rasa penasaran mami Riandra lebih besar dari rasa bimbangnya. Ia memasuki ruang kerja suaminya. Ia mendapati anaknya yang tanpak kaku di kursi sedangkan suaminya kelihatan santai dengan ekspresi wajah yang tak terbaca.
"Sekarang, bisa kamu jelaskan pada bapak apa yang sebenarnya terjadi" suara Herman menguar di udara. Nada bicaranya tenang tapi Ariska tahu ada kegusaran didalamnya dan juga...kecewa?. Entahlah di dalam keluarganya hanya bapaklah yang paling tak terbaca dan pelit ekpresi dan sekarang ia mengikuti jejak itu. Padahal dulu. Dulu sekali ia lebih mengikuti jejek maminya yang ekpresif.
Ariska menelan kegugupannya. Tanganya ia jalan kuat di depan pahanya. Mami riandra yang melihat itu berjalan mendekat. Berada di tengah antara suami dan anak sulungnya.
"Mami gak nyangka kamu akhirnya menikah. Akhirnya keinginan mami untuk lihat kamu menikah dan gendong cucu dapat terwujud" mami Riandra mencoba menvairkan suasana. "Owhh iya ris. calon suami kamu kerjanya apa? Kalau dilihat dari penampilan orangtuanya pasti kerjaanya bagus ya" maminya berujar dengan ceria.
"Ma." Herman menegur istrinya. Mendengar nada suara tersebut Mami riandra tahu ia harus diam sekarang.
"Apa kamu mencintai pria ini?" Herman membuka suaranya lagi dengan tatapan tepat di wajah Ariska. Ariska diam tak bersuara. "Papa anggap diammu menjadi tidak. Apa kamu sudah melupakan Hardi?"
Mendengar nama Hardi disebut oleh bapaknya, ariska mendongkakan kepalanya."Aku...aku"
Herman menghembuskan napas frustasinya. Ia mengambil sebatang rokok di mejanya lalu menyalakannya. Setelah hembusan pertama ia kembali mengalihkan tatapanya dari asap rokoknya ke Ariska.
"Kamu tidak mencintai pria itu dan kamu juga belum bisa melupakan Hardi. Lalu pernikahan seperti apa yang akan kamj jalani?"
Ariska masih berdiam ia tak memiliki bantahan akan ucapan bapaknya karena itu semua benar adanya.
"Bapak mau tanya sama kamu. Jawaban kamu akan menentukan keputusan bapak. Apa kamu yakin ingin menikah dengan pria ini?"
Ariska diam beberapa saat. Matanya menatap wajah mami dan bapaknya bergantian. Ariska menganggukan kepalanya pelan. "Iya, pak"
Herman menghembuskan asap rokoknya sekali lagi. Setelah mematikanya di asbak rokok ia bangkit berdiri. "Baiklah. Jika itu keputusanmu" Herman Sinaga yang selama hidupnya ia habiskan untuk membahagiakan putri-putri kecilnya untuk pertama kali dalam hidupnya tidak memiliki hak apapun untuk menentang keputusan putrinya. Ia sadar putri-putrinya sudah beranjak dewasa. Dan waktunya sudah habis, tanggungjawab untuk menjaga dan melindungi putri-putrinya harus ia serahkan kepada orang lain.
Herman Sinaga tampak berhenti di depan pintu. "Bapak tidak tahu keputusan atau pertimbangan apa yang mendasarimu untuk menjalani pernikahan ini. Satu hal yang perlu kamu tahu pernikahan bukanlah permainan. Jika kamu sudah melangkah di jalan ini. Pantang untukmu untuk mundur. Karena di dalam keluarga tidak ada istilah perceraian dan bapak tak ingin memulai dari kamu. Ingat kata-kata bapak" setelah memberikan nasehat terakhirnya herman sinaga keluar dari ruangan dan bertemu dengan calon besannya.
Kanvas Buang,
20.07.16 10.10
KAMU SEDANG MEMBACA
Redamancy Lover
RomanceAriska Bagi Ariska kehidupan bergelimangan harta bukanlah impiannya. Ketika semua gadis memimpikan hidup dengan pangeran berkuda putih yang ia inginkan hanyalah dia dan hidup dalam kesederhanaan. Menjadi istri pria kaya raya bukan impiannya dan tak...