Part 8 : Bertatap Muka

234 15 0
                                    

Ariska berjalan bersisian dengan ibunya menuju kamar Arka. Kedua orangtuanya telah menyetujui bahwa pernikahan mereka hanya akan diselengarakan secara sederhana di kediaman keluarga Arka.

Hanya beberapa orang yang hadir. Kedua orangtua Arka dan Ariska, pendeta, pengacara keluarga Arka dan petugas catatan sipil. Tidak ada yang lain hanya keluarga inti.

Ariska menggenggam tangan maminya erat. Gugup menguasai dirinya. Oksigen disekelilingnya seketika menipis ketika ia tlah sampai di kamar Arka. Semua orang yang berada diruangan itu menatap Ariska dengan senyuman dan senyuman itulah yang menghentak dada Ariska kian menderu.

Ia tidak bisa kabur lagi. Ia tidak bisa berlari. Ariska masih  mematung di depan pintu. Gerakan tangan maminya seketika membuyarkan lamunannya. Dengan langkah gugup Ariska mendekati ranjang Arka.

Arka tanpak duduk di atas tempat tidurnya. Penampilannya sudah berubah. Bulu-bulu halus disekitar wajahnya yang ia lihat terakhir kali mereka berjumpa telah dibabat habis. Ia tampil elegan dengan stelan jas armaninya. Dasi kupu-kupu berwarna merah tertata dengan sempurna di lehernya.

Penampilannya sempurna tapi ada yang kurang. Ekspresinya. Ekspresinya masih sama seperti yang dahulu. Datar menunjukan ketidakpedulian. Sampai saat ini Ariska masih bertanya-tanya mengapa Arka tidak menolak pernikahan ini.  Dia bisa saja membuka mulutnya dan menolak pernikahan ini, tapi yang ia pilih hanyalah bungkam dan memasang wajah tanpa ekspresi.

Ariska bingung apakah janji nikah antara dirinya dan Arka sah atau tidak, karena hanya dialah yang mengucapkan janji disini sedangkan Arka masih enggan membuka mulutnya. Ia hanya diam dengan tatapan menerawang dan hanya mau menggerakan tangannya untuk mendatatangani dokumen.

Setelah pendatatanganan dokumen selesai. Ariska dan Arka pun ditasbiskan sebagai suami istri dimata hukum dan agama. Ketika mendengar kata-kata tersebut entah mengapa Ariska merasa kebebasannya direnggut seketika. Tawa dan ucapan selamat yang memenuhi ruangan seolah-olah terpantul dari gendang telinganya. Yang ia rasakan saat ini hanya sepi.

Sebuah tepukan halus di bahunya menyadarkan Ariska terhadap perasaannya. Nancy memandang Ariska dengan senyuman mengembang di wajah cantiknya. "Terimakasih" Ariska mengangguk mendengar ucapan itu. Ia tak dapat mengeluarkan kata-kata lagi untuk membalasnya selain anggukan kecil dan senyuman yang ia paksa terbit di sudut wajahnya.

Ariska memandang sekeliling ruangan. Mami dan ibunda Arka tanpak saling berpelukan hangat sedangkan disudut ruangan lain bapak dan papi Arka tanpak saling berjabat tangan dan saling melempar senyuman.

Hanya ia dan Arka lah yang terlihat enggan untuk turut ikut dalam kebahagiaan ini. Ariska membuang napas fruatasinya. Berusaha menguatkan hatinya. Ia tahu ini tak akan pernah mudah. Pernikahan ini dan hubungan ini tak akan berjalan dengan mudah. Ariska tahu ini dan begitu juga dengan Arka. Tapi mereka hanya bisa menyerahkan semuanya kedalam tangan sang takdir. Ya sang pemilik kehidupan.

***
Ariska beringsut bangun dari tidurnya. Dengan kesadaran yang belum sampai seratus persen dia berangsur turun dari tempat tidurnya. Ia melirik jam di dinding kamar, masih jam 5 pagi memang tapi tak menghentikan langkahnya. Ia lebih memilih untuk menggerakan tubuhnya dibandingkan ikut terbujuk kembali tidur di samping Arka.

Sudah seminggu berlalu setelah pernikahan kilatnya dengan Arka. Statusnya telah berubah dan ia mendapatkan perubahan yang terasa disekelilingnya. Ia merasa tidak nyaman dan tak terbiasa, tapi ia tahu itu ada konsekuensi atas pilihannya.

Ariska membasuh wajahnya di wastafel. Membiarkan bulir-bulir air berngelayut turun di permukaan wajahnya tanpa niat untuk menghapusnya.

Ariska memandang refleksi dirinya. Hanya ada wajah kehampaan disana. Tidak ada tawa sama sekali dan senyumpun tlah enggan untuk hinggap diwajahnya.

Redamancy LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang