Part 6 : Setitik Cahaya Putih

254 17 1
                                    

Ariska menghempaskan tubuhnya ketempat tidur. Ia belum melepaskan pakaian mengajarnya. Hal yang jarang ia lakukan tapi sekarang ia seakan tidak peduli. Yang ia ingin sekarang hanyalah mengistirahatkan tubuhnya sejenak dari segala penat dan pikiran yang beberapa hari ini menghantuinya layaknya mimpi buruk.

Ia memerengkan tubuhnya menghadap jendela. Terdapat seberkas cahaya putih memantul di sudut tempat tidurnya. Di dalam cahaya tersebut ia dapat melihat partikel-partikel debu yang berterbangan di sepanjang garis cahaya. Ia ingin menyentuhnya tapi semakin ia sentuh dan menangkapnya semakin ia menyadari hanya kekosonganlah yang berhasil ia pegang.

Ia memberhentikan kegiatan konyolnya dan memutuskan untuk menikmati sorotan cahaya tersebut. Ia meletakan tanganya pas di titik cahaya tersebut jatuh. Ia mengamati telapak tanganya. Ingatannya kembali lagi ke kejadian beberapa hari lalu. Kejadian mengubah seluruh hidupnya sampai ke sendi-sendi.

"Ka, bagaimana menurutmu mengenai rencana ini?"  Nancy tanpak semangat menceritakan segala rencana pernikahan tersebut.

Ariska mengamati Arka dalam diam. Arka masih diam tak bergeming -tak menanggapi. Ia hanya terus asik mengamati jalan dan pohon-pohon dari luar jendela kamarnya.

Ariska kembali menghela napasnya. Sebersit harapan sempat singgah di hatinya. Ia berharap Arka akan menolak dan menentang ide gila tentang pernikahan mereka. Tapi sayang, terkadang antara harapan dan realita berbanding terbalik. Ia harus puas akan sikap Arka yang cenderung tidak peduli dan cuek dengan keadaan sekitar.

Melihat tidak ada respon dari putra semata wayangnya, Nancy berdiri dari sisi ranjang dan berjalan menuju Ariska.

"Gimna, ris?"

Ariska terhentak dari lamunan ia tidak menyadari kehadiran Nancy di sisinya. "Maaf tante, tadi bicara apa?"
Nancy tersenyum maklum.

"Jangan panggil tante lagi dong. Tadi kan kita udah sepakat agar manggil mama"

Ariska memaksakan sebuah senyuman. Ia tak tahu harus menanggapi apa. "Tadi mama tanya. Kamu gak apa-apa kalau pernikahan kamu dan Arka tidak dirayakan dengan mewah?. Mengingat kondisi Arka yang belum stabil dan puluh bener. Mama berpikiran jika pemberkatan pernikahan kalian cukup hanya keluarga dekat, pengacara, pendeta dan lembaga pernikahan saja yang menghadiri. Tapi mama janji setelah Arka pulih 100 persen mama akan buat resepsi mewah semewah-mewanya." Binar bahagia terlihat dari kedua mata coklat alomnd tersebut.

Ariska tersenyum. "Tidak apa-apa, tan..eh ma. Gak ada resepsi juga ga apa-apa"

"Ehhh...ga boleh seperti itu. Resepsi harus tetap ada ga boleh ga ada. Tapi kamu harus sabar nunggu hingga Arka sembuh ya sayang" Nancy mengusap pipi kiri Ariska lembut.

Ariska yang tiba-tiba mendapat perhatian sekecil itu sedikit terkejut. Matanya membulat sempurna.
Ariska mengangguk. Sentuhan lembut ini mengingatkan ia akan sentuhan mamanya yang sudah lama ia tak cecapi. 

"Oh..iya. mama sampai lupa untuk menanyakan alamat orang tua kamu. Gak lucu kan mama menikahkan putri orang tanpa izin orangtuanya. Bisa-bisa mama dituntut nanti"

"Hmmmm...iya, ma. Tapi orangtua saya tidak tinggal di kota ini. Mereka di kota lain"

"Ga apa-apa dong sayang. Sejauh manapun orangtuamu, mama pasti akan mengejar untuk minta persetujuan mereka."

"Iya, ma"

"Owhhh...iya. gimana kalau 2 minggu lagi kita mengunjungi orangtua kamu. Biar sekalian lamaran. Kamu bisa kosongkan jadwalmu kan sayang?"

Redamancy LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang