Part 3 : Bersembunyi dan Kembali Bertemu

326 14 0
                                    


Sudah 1 bulan lebih Ariska bermain kucing-kucingan dengan Pak RT dan Ibu-ibu nyirnyir -Ariska memberikan sebutan demikian-. Ia tidak tahu harus bagaimana, tak mungkin ia bermain petak umpet seperti ini terus. Harus pulang larut malam dan meninggalkan pria asing ini sendirian terus-menerus merupakan keputusan yang tak bijak.

Tapi Ariska tidak tahu harus berbuat apa. Iya tidak bisa membuktikan ucapanya bahwa ia dan pria ini merupakan pasangan suami istri.

Ariska berjalan mondar-mandir di ruang tamunya. Tangannya saling terjalin. Sesekali ia menghembuskan napas frustasi. "Agrahhhh" Ariska berteriak frustasi. Ia meghempaskan tubuhnya ke sofa. "Apa yang harus kita lakukan" Ariska menatap pria asing yang tak jauh dari tempat duduknya. Tak ada respon. "Cepat atau lambat warga akan menggeberek kita. Dan kita akan dituduh sebagai pasangan kumpul kebo. Aku tak bisa pergi pagi-pagi buta dan pulang larut malam terus. Cara menghindar ini akan segera diketahui."

Ariska berdiri dari tempat duduknya. Ia berjalan dengan gelisah. "Apa aku minta tolong ke Femy buat berbohong, ya?" Tanya Ariska untuk dirinya sendiri. Ariska menggeleng. "Gak mungkin itu sama saja bunuh diri. Femy akan bertanya banyak hal nanti. Lagian aku tidak cukup dekat dengannya untuk meminta dirinya berbohong"

Ariska memutar otaknya. Mencari jalan keluar dari masalah yang saat ini membebani kepalanya. Otaknya buntu. Ia tidak mungkin meninggalkan tempat tinggalnya sekarang. Ia sudah membayar kontrakan untuk 1 tahun kedepan, lagian mustahil ia bisa menemukan tempat yang sebagus dan semurah ini nantinya.

"Masalah ini benar-benar bisa membuatku gila. Lebih baik kita tidur" ariska mendorong kursi roda dan membawanya ke dalam kamar miliknya. Setelah membaringkan pria itu, ia berjalan menuju kamar Femy. Mungkin tidur bisa menenangkan pikirannya sejenak.

***

Ariska tanpak fokus mengamati Andini yang sedang mengerjakan tugas yang ia berikan. Sudah 1 bulan lebih ia mengajari andini, tak ada satupun kendala yang ia alami. Andini merupakan anak yang pintar dan lucu. Ia cepat menangkap dan tidak rewel. Hal itu memudahkan Ariska untuk mengajarinya.

Ariska mengambil gelas minumannya yang telah kosong. "Dini. Miss ambil minuman dulu, ya"

"Gak usah Miss. Biar Dini panggil pelayan saja"

"Gak usah. Nanti repotin lagi. Lagian hanya segelas minuman gini. Miss gak enak jika harus membuat para pelayanmu bolak balik melayani Miss"

"Gak papa dong Miss itukan tugas mereka. Mereka dibayar untuk itu"

Ariska tersenyum mendengar penuturan Andini. "Andini sayang. Kita memang membayar pelayan untuk meringankan pekerjaan kita. Tapi jika kita bisa melakukannya sendiri kenapa kita mesti minta tolong orang lain" Ariska menatap Andini intens berharap bocah berusia 7 tahun ini mengerti akan ucapannya. "Kamu mengerti?"

"Iya Miss"

Mendengar jawaban Andini, Ariska merasa puas. Ia berjalan keluar kamar sembari membawa teko yang telah kosong. Ia berjalan perlahan melewati lorong sesekali mengamati lorong yang ditata sedemikian rupa. Dinding-dinding lorong di penuhi beberapa lukisan-lukisan -yang Ariska tak pahami-. Lantainya di tutupi karpet merah cerah yang sangat lembut dikulit.

Suara isakan mengentikan langkah Ariska. Ia menegakan tubuhnya, berusaha mencari sumber suara.

"Pa. Bagaimana ini. Sudah hampir 6 bulan Arka belum di temukan juga. Mama takut, Pa" suara isikan kembali terdengar. Ariska semakin mempertajam pendengarannya. Ia tahu kegiatan yang ia lakukan termasuk tidak sopan tapi entah mengapa rasa penasaran membiaskan rasa kebimbangan tersebut. Ada semacam ketertarikan yang memaksa Ariska untuk mendengar. Entah apa itu.

"Sabar, Ma. Orang-orang suruhan papa lagi berusaha untuk mencari Arka--"

"Tapi sampai kapan, Pa. Ini sudah terlalu lama. Kenapa kita tak mencoba memasukan akan hilangnya Arka dikoran atau TV sih, Pa? Mungkin ada orang di luar sana yang tahu keberadaan Arka"

Redamancy LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang