Part 5 : Keputusan

265 14 0
                                    

Ariska keluar dari kamar Arka. Wajah letih dan kesedihan mengiasi wajahnya. Letih karena ia tidak tahu harus berapa lama lagi ia terlibat dalam situasi ini dan sedih karena perilaku serta wajah terluka Arka menyentil sisi sensitif di dirinya.

Ariska menghirup udara banyak-banyak dan mengeluarkanya perlahan. Ia berdoa dalam hati semoga ini cepat berlalu. Sebelum ia mengucapkan 'amin' atas doanya tersebut seorang pelayan tanpak hadir disisinya. Ariska mengenyitkan dahi. Ia berpikir tugasnya telah selesai dan ia bisa pulang setelah ini tapi dugaannya salah.

"Maaf nona. Anda diminta untuk bertemu dengan nyonya dan tuan besar sekarang" ucapan pelayan tersebut memperdalam lipatan di dahi Ariska.

Ariska tersenyum sopan. "Baik. Terima kasih"

Ariska mengikuti pelayan tersebut. Dalam perjalananya sesuatu terus mengusik pikirannya. Ia merasa was-was akan perihal apalagi yang ingin dibicarakan oleh tuan dan nyonya Aginino kepadanya. Pikiran-pikiran buruk sempat terlintas dibenaknya namun segera ia tepis. Ia tidak boleh berprasangka pada orang lain.

Pelayan tersebut tanpak membukakan sebuah pintu yang berdaun dua untuknya. Sebelum ia masuk kedalam Ariska mengucapkan terimakasih dan pelayan tersebut membalasnya dengan bungkukan sopan.

Ariska masuk kedalam ruangan yang kelihatan merupakan ruang kerja tersebut. Ruangan tersebut cukup luas. semua Furniturenya berdahan dasar kayu yang diukir sedemikian rupa. Tampak rak-rak buku yang terbuat dari kayu mahal juga berderet dengan rapi ditemani buku-buku yang berjejer dengan rapi juga. Di kursi kerja tersebut tanpak tuan Raylan Aginino duduk sembari memberikan senyuman kepadanya.

Ariska mendekat dengan ragu entah mengapa suasana di ruangan ini tanpak mengintimidasinya dan membuatnya sesak. Ariska mengalihkan pandanganya kepada Nancy yang tanpak berdiri di samping suaminya. Ia juga tersenyum hangat padanya. "Masuklah Ariska. Jangan malu-malu" Nancy berjalan mendekati Ariska dan menarik tanganya disalah satu kursi di meja tersebut.

"Kalau boleh tahu, ada apa tuan dan nyonya. Hmm--maksud saya Nancy dan--" Ariska tanpak tak mampu melanjutkan ucapnnya.

"Tenang Ariska. Kami memangilmu kesini bukan untuk memakanmu hidup-hidup. Jadi kamu tak perlu gugup begitu" jelas Raylan sembari tesenyum hangat padanya.

"Iya betul. Dan kalau kamu masih merasa berat untuk memanggil nama kami berdua. Kamu cukup memanggil kami dengan sebutan Mama dan Papa" Nancy menambahkan

Arsika tanpak terkejut dengan ucapan Nancy barusan. Ia merasa ada yang janggal. Mengapa harus mama dan papa. Bukanya om dan tante pikirnya.

"Kamu pasti bingung mengapa kami tiba-tiba memanggilmu kesini" suara wibawa Raylan menggema seisi ruangan.

Ariska mengangguk.

"Kami memanggilmu kesini karena kami memilki sebuah permintaan....bukan lebih tepatnya permohonan untukmu Ariska" Nancy tanpak menambahkan.

"Permintaan? Permintaan apa?" Kebingungan tanpak terpatri jelas diwajah Ariska.

Raylan dan Nancy tanpak saling memandang sejenak. "Kami ingin kamu menikah dengan Arka. Ariska"

Ucapan Raylan barusan tanpak semakin membingungkan bagi ariska. "Maksudnya? Saya tidak mengerti?"

Nancy berjalan mendekati Ariska dan mengambil duduk dihadapannya. Nancy menggenggam tangan Arsika erat. "Kamu mungkin bingung tapi itu wajar. Mungkin permohonan kami terkesan mendadak"

Ariska memandang tanganya yang digenggam oleh nancy " Kami ingin kamu menikah dengan Arka.."

"Ta--pi kenapa?"

"Kami pikir cuman kamu satu-satunya yang bisa mengontrol Arka untuk saat ini. Kamu lihatkan kondisi Arka tadi. Hanya karena kehadiranmulah ia mau makan dan meminum obat-obatnya--"

"Maaf menyela tante. Tapi saya rasa itu hal wajar. Mengingat kondisi Arka saat ini maka kondisi emosinya yang tak stabilpun dapat di maklumi."

"Kamu tidak mengerti. Arsika. Kami sudah mencoba beberbagai cara untuk membujuknya. Tapi hasilnya nihil. Cuman kamu--kamu yang bisa membujuknya dan hanya kata-kata kamu yang dia dengarkan"

"Tapi Tante. Saya rasa seiring dengan berjalannya dengan waktu Arka juga akan kembali ke kondisi semula. Dia akan..."

Nancy menggeleng, ia menangis. "Kamu tidak mengerti, nak. Kami sudah berkonsultasi dengan dokter ahli. Jika kondisi Arka saat ini semakin dibiarkan bukan tidak mungkin ia akan kehilangan kendali akan dirinya sendiri. Dia...dia bisa"

Ariska mengangga, tanpak tak percaya. "Tapi bukan dengan cara menikah tante. Kalau tante ingin saya datang setiap hari untuk membujuk aska hingga aska sembuh maka akan saya lakukan. Saya tidak keberatan untuk itu semua. Tapi dengan menikah.."

"Kamu tidak mengerti, nak. Aska memerlukan kamu disisinya. Dia.."

Ariska berdiri dari duduknya. "Maaf tante saya benar-benar tidak bisa"

Langkah kaki Ariska tertahan. Nancy tanpak berlutut dan memeluk kakinya. "Tante!" Pekik Ariska. Refleks ia berjongkok. "Apa yang tante lakukan. Jangan seperti ini tante. Aku mohon berdirilah"

Tangisan Nancy tanpak semakin menyayat. Ia menggeleng kuat. "Enggak. Apapun akan tante lakukan untuk kesembuhan Arka bahakan dengan berlutut sekalipun. Saya mohon, Ariska. Mohon kabulkanlah permohonan seorang ibu ini. Apa salah jika seorang ibu menginginkan yang terbaik untuk putranya? Enggak kan" Ariska mengeleng. "Tante tidak tahan melihat Arka jatuh semakin dalam seperti itu. Tante tak sanggup"

Yaa...tak ada yang salah dengan keinginan seorang ibu. Ariska tahu akan hal itu. Bahkan ia pernah melihat kondisi ibunya yang tanpak sama seperti yang dilakukan oleh Nancy saat ini. Ia tidak ingin menggulanginya lagi. Tak ingin menyakiti ibunya atapun ibu-ibu yang lainya lagi.

Ariska mendudukan Nancy kembali ke kursinya. Ia meremas kedua tanganya. Perasaanya dipenuhi kebimbangan. "Saya tak tahu apakah keputusan untuk menikah dengan Arka benar atau tidak.."

Nancy menyambar tangan Ariska. "Tante mohon. Ini untuk kesehatan Arka" pandangan Nancy yang mengiba semakin membuat Ariska tersudut.

"Tapi tan. Pernikahan itu bukan sesuatu yang dapat di paksakan. Bagaimana jika nanti dalam pernikahan kami. Kami hanya akan saling menyakiti.."

"Kalau itu terjadi. Kamu bebas untuk pergi"

Ariska memutar kepalanya cepat setelah mendengar ucapan Raylan. Ia memandang Raylan terkejut. "Tapi seperti yang kamu bilang tadi pernikahan bukanlah sesuatu untuk di permainkan. Dan om berharap kamu menjalankan pernikahan ini sepenuh hati. Dan jika ditengah jalan kamu tak kuat lagi, kamu boleh pergi Ariska. Om tak akan menahanmu"

Ariska terpaku. Kebimbangan masih menjalari hatinya. Disatu sisi ia tak tega melihay Nancy di sisi lain ia tahu dengan pasti apa yang akan ia alami jika ia menyetujui pernikahan ini. Semuanya akan berakhir dengan buruk. Sekali lagi Ariska menghembuskan napasnya kasar matanya terpejam memohon kekuatan atas segala keputusan yang akan ia ambil. Ia menatap wajah Nancy yang kelihatan sembab dan beralih menatap Raylan yang masih tanpak tenang. "Saya.."

Kanvas Buang

41.20. 0716 MP

Redamancy LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang