Prolog

25 4 0
                                    

Ini adalah hari yang paling aku suka diantara tujuh hari lainnya selama seminggu. Rabu yang cerah dengan mentari yang bersinar terik. Jam tujuh pagi di kelas yang tidak terlalu ribut ini, aku memperhatikan semua teman sekelasku beserta kegiatannya masing-masing. Ada yang mengobrol hingga membentuk lingkaran, ada juga yang menyendiri. Setiap orang memang memiliki kepribadiannya masing-masing.

Seseorang yang menyendiri di bangku paling belakang barisan kedua dari pintu itu namanya Viona. Dia adalah perempuan yang sejak pertama aku melihatnya aku sudah tahu bahwa dia itu punya kepribadian yang berbeda daripada teman-teman sekelasku lainnya. Mungkin dia adalah seorang yang tertutup dan kurang bisa memasukkan diri ke dalam lingkungan baru. Dibalik hal itu, aku yakin kalau dia adalah gadis yang baik.

Aku mendatanginya ketika dia sedang menggerak-gerakkan tangan dan mulutnya seolah sedang menyanyi sambil menari namun tanpa suara sedikitpun. Mulanya aku heran melihatnya, tapi lama kelamaan aku semakin terbiasa.

"Viona ? Sedang apa ?" tanyaku sambil duduk di sampingnya.

Dia menghentikan gerakannya kemudian tersenyum kikuk. Aku yang melihat senyuman anehnya hanya bisa tertawa. Setelahnya, kami pun berbincang tentang apa yang kami sukai.

Selama lebih dari empat bulan menjadi teman sekelas, aku menjadi semakin sering berbincang dengannya dan aku juga menjadi semakin suka berteman dengannya. Akhirnya aku telah menemukan teman yang pola pikirnya sama seperti diriku, yang mengerti tentang apa yang aku bicarakan. Setiap kali kami mengobrol, tidak pernah sekalipun aku berpikir bahwa obrolan kami tidak menarik.

Ketika kami masih duduk di bangku kelas satu sekolah menengah pertama, KPOP atau Korean Pop sedang heboh-hebohnya. Viona adalah satu-satunya teman sekelasku yang aku tahu menyukai Korean Pop sama seperti diriku. Kami sering membicarakan hal itu sehingga membuat orang lain yang sama sekali tidak mengerti mengenai apa yang kami bicarakan menjadi malas berbicara dengan kami.

Aku tidak pernah ambil pusing mengenai persoalan itu. Menurutku, daripada menggosipkan orang lain, atau membicarakan pacar dan lelaki ganten seperti yang teman sekelas ku lainnya lakukan, lebih baik kami membicarakan tentang apa yang kami sukai.

Dulu, Viona sempat dikira sebagai perempuan yang sedikit gila karena suka berbicara sendiri di kelas dan sering sekali permisi untuk ke kamar mandi. Pernah suatu hari, waktu itu sedang pelajaran olahraga, dimana dia tidak ikut berbaris, teman-teman sekelasku yang lainnya membicarakan tentangnya bersama guru olahraga kami.

Aku mendengar perbincangan mereka yang seolah menjatuhkan Viona itu. Karena hal itulah dibanding menjauhinya karena dia aneh seperti yang orang lain lakukan, aku malah mendekatinya karena aku yakin dia seperti itu hanya karena dia membutuhkan seorang teman. Teman yang benar-benar memahaminya, menghapuskan rasa sepinya di kelas ini.

Awalnya aku tidak yakin kalau kami akan menjadi sedekat ini, namun ternyata keadaan pertemanan kami saat ini sungguh berbeda dari ekspektasi ku dulu. Sekali lagi aku katakan, Viona adalah teman yang begitu baik.

Sebenarnya, sebelum aku berteman dengan Viona, aku sudah berteman dengan banyak orang. Aku memang pendiam, tapi aku tidak pernah membatasi pertemananku. Selain karena terkenal, aku juga memang suka bersikap ramah terhadap orang baru meskipun sebenarnya tidak terlalu pandai memasukkan diri. Lagipula tidak semua orang aku perlakukan dengan seperti itu. Jika dari matanya terpancar sinar kebaikan, aku baru mau bersikap ramah.

Di sekolah, aku cukup dikenal orang karena aku adalah anak dari seorang dokter yang lumayan terkenal di kota kecil ini. Aku juga cukup berprestasi sehingga orang-orang sering bertanya, bagaimana bisa aku sepintar ini. Setiap kali aku ditanyakan hal seperti itu, yang aku ucapkan dalam hati adalah doa 'semoga aku benar-benar menjadi pintar seperti yang mereka katakan'.

The Little Sweetest Candy : Our Hatelove Story ( BASED ON TRUE STORY )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang