Part 3

643 97 10
                                    

Kim So Eun's POV

Dulu aku sempat berpikir bahwa menikah itu adalah suatu anugerah. Kau mempunyai orang yang sangat mencintaimu. Orang yang akan menjadi teman hidupmu sampai ajal menjemput. Orang yang akan berada disisimu baik dalam keadaan bahagia atau keadaan yang sulit. Orang yang akan selalu menghiburmu dikala hatimu sedih. Orang yang akan menenangkanmu dikala hatimu sedang gundah.

Itulah yang sering ibu ceritakan padaku. Dia selalu bilang suatu hari nanti aku pasti akan menemukan pangeranku. Sosok yang akan selalu ada untukku. Sosok yang akan selalu memberiku cinta.

Tapi sekarang aku sadar. Apa yang ibu ucapkan dulu tidaklah benar. Aku tidak menemukan pangeranku. Bahkan aku harus menikah dengan orang yang dipilihkan ayah. Seseorang yang tidak mencintaiku. Seseorang yang menolak kehadiranku. Seseorang yang mungkin membenciku.

Park Chanyeol, dia memiliki paras yang tampan tapi tidak ada kebahagiaan yang terpancarkan setiap kali aku melihatnya bahkan dihari pernikahan kami. Aku bahkan sempat menatapnya sendu. Meskipun ini hanyalah perjodohan tapi tidak bisakah ia memberikan senyuman pada setiap orang yang datang dan memberikan ucapan selamat kepada kami?

Chan Yeol-ssi, tidak bisakah kau sedikit berpura-pura?

.
.
.

Dihari pertama kami tinggal bersama, dia sudah memperingatkanku bahwa dia tidak bisa mencintaiku. Dia memberitahukan kepadaku bahwa dia adalah seseorang yang bebas dan tidak bisa terikat. Dia juga memberitahukan bahwa semua ini adalah paksaan dari ayahnya. Dia menjalani ini semua dengan terpaksa.

Dia memberitahukan semua kepedihan itu dengan santai dan lugas. Tidak ada sedikit keraguan disana. Aku bahkan harus meremas hanbok dan menggigit bibirku agar airmataku tertahan. Tapi nyatanya aku tidak bisa bertahan lebih lama dan memilih untuk pergi, menyendiri didalam kamar kami yang sepi dan gelap.

Kami? Ah, sepertinya ada keliruan disini. Tepatnya adalah kamarku. Satu kali pun lelaki itu bahkan belum pernah menginjakkan kakinya disini.

Di kamar itu aku menanggis. Menanggis dalam diam. Malam itu aku bertanya-tanya, kenapa aku harus menikah dengan seseorang yang tidak bisa mencintaiku? Kenapa aku harus menikah dengan orang yang bahkan dihari pertama pernikahannya sudah menyatakan ketidaksukaannya pada sang isteri? Kenapa? Kenapa aku tidak bisa menikah dengan orang yang mencintaiku?

Pertanyaan itu terus berputar dikepalaku semalaman.

Hingga keesokan harinya....

Aku memohon padanya.

Aku bahkan tersenyum saat mengatakan, "Tidak apa-apa jika kau tidak bisa menerima pernikahan ini." Padahal sebenarnya aku menahan tanggisku setengah mati susahnya.

Aku memohon kepadanya agar ia bertahan meski hanya enam bulan saja.

Dan aku sudah bersiap untuk bercerai jika enam bulan itu sudah berlalu.

Ya, aku harus siap berpisah jika enam bulan itu sudah terlewati.

Maafkan aku ibu. Ibu selalu berkata bahwa sebuah perceraian adalah hal yang tidak baik. Tapi aku tidak bisa terus hidup dengan orang yang tidak mencintaiku.

Aku tidak bisa membiarkan dia menderita hanya karena dia hidup dengan orang yang tidak dicintainya.

Tapi tidak apa-apa. Selama enam bulan kedepan aku akan berusaha menjadi isteri yang baik untuknya.

Tidak apa-apa, ibu. Aku akan mencoba untuk menjadi sosok isteri yang berbakti kepada suami selama enam bulan itu.

Aku sudah memantapkan hatiku. Semua itu akan kulakukan meski ia tidak mencintaiku.

The Time I Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang