Ujian Akhir
Agatha P.O.V
Pagi ini aku sudah bangun sejak pukul tiga subuh. Entahlah, meski persiapan ujian sudah kulakukan dengan baik, rasa deg-degannya masih terus saja muncul.
Tok...tok...tok
Tiba-tiba, suara ketukan pintu menggema di tengah keheningan. Aku menoleh ke arah pintu, penasaran siapa yang sudah bangun di rumah jam tiga begini. Jangan-jangan, hantu? Masa iya di tengah stres ujian, aku malah diganggu hantu?
Dengan rasa takut, aku bertanya. "Siapa?"
Buku binderku yang memiliki cover yang cukup keras sudah siap di tangan. Siapa tau hantunya cabut kalau aku gebuk pake binder.
"Mama sayang," jawab suara dari luar yang membuatku lega.
Aku menaruh kembali binder ke atas meja dan segera membukakan pintu yang terkunci. Memang sudah menjadi kebiasaan di rumah ini untuk mengunci pintu kamar masing-masing ketika malam.
"Masuk Ma," aku mempersilakan Mama masuk.
Untungnya aku sudah membereskan kamar kemarin pagi karena biasanya sebelum ujian kamarku selalu berantakan seperti kapal pecah. Kalau saja kamarku masih berantakan seperti kemarin, aku yakin Mama akan mencak-mencak.
Mama meletakkan nampan berisi makanan di atas meja kecil untukku. "Nih, cemilan buat kamu,"
"Terima kasih, Mama," ucapku sembari memberi satu kecupan di pipinya.
"Sama-sama sayang," balas Mama dengan senyuman manis.
Ternyata benar, serumit apa pun masalahnya, jika masih ada Mama semuanya akan terasa baik-baik saja.
"Jangan terlalu dipaksain, Tha. Mama nggak menuntut nilai kamu harus bagus kok," kata Mama dengan nada menenangkan.
"Kenapa ya Ibu tuh kalo ngomong adem dan nenangin banget?" batin Agatha terharu.
Aku menggenggam tangan mama erat-erat. "Atha tau mama tidak menuntut, tapi Atha ingin tetap membanggakan kalian berdua," kataku sambil tersenyum lebar untuk menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja.
"Oh iya, Ma, soal perjodohan-," ucapanku terpotong.
"Nggak usah dipikirin dulu, kamu fokus aja sama ujian akhir kamu dulu," jawab mama. Aku menatap mama mencari jawaban lain.
"Ini artinya kagak jadi, ditunda, batal, atau gimana ya? Nanti kalo gue nanya lagi disangka excited lagi," batinku bertanya-tanya, ingin bertanya lebih lanjut, namun otakku melarangnya.
Nampaknya saat ini aku memang harus memikirkan nasib ujian akhirku dulu.
"Ya sudah, Mama keluar dulu ya. Kamu jangan lupa sholat, sekarang kan bisa sholat malam nih," aku mengangguk dan tersenyum kecil.
Keluargaku memang tidak terlalu ahli dalam urusan agama, tetapi Mama dan Papa tetap memberikan kami, anak-anaknya, ilmu agama yang lebih dari cukup.
"Iya Ma, mending Mama istirahat lagi ya, terima kasih cemilannya," ucapku.
Mama bangkit dan melangkah keluar kamar, setelah beliau menutup pintu kamar ini kembali sunyi. Mungkin sekarang aku akan fokus dengan ujianku dahulu, lalu setelah itu baru menanyakan lagi soal rencana kedua orang tuaku.
***
Aku sudah siap, hari ini hanya membawa sebuah ransel kecil dan binder yang aku tenteng di tangan. Aku berjalan menuruni banyak anak tangga yang terkadang aku merasa mereka tidak akan habis.
"Selamat pagi, Sayang!" sapa Papa dengan senyuman saat aku melihatnya duduk di meja makan.
Akhir-akhir ini aku memang jarang mengobrol dengannya, entah karena masalah perjodohan atau yang lain. Namun, yang pasti aku sangat merindukannya.
"Pagi, Pa. Hari ini Papa yang anterin Atha dong!" pintaku dengan penuh harap kepada Papa.
"Waduh, udah lama nggak ngobrol langsung ditodong untuk nganterin princess Papa nih?" aku terkekeh kecil menjawabnya.
"Ihhh Papa, masa cuman Kak Agatha sih princessnya Papa?" rengek Dina dengan nada manja.
Keramaian rumah seperti ini sudah menjadi keseharianku dan aku menyukainya. Aku juga tidak marah atau kesal dengan reaksi Dina karena aku tahu kedua orang tuaku menyayangi semua anak-anaknya dengan sama besar.
Aku menggoda Dina dengan bercanda. "Hahaha... wayolo Dina, cuman Kakak yang disayang Papa."
Mata adikku mulai memerah, Dina memang sangat cengeng. Dia adalah anak bungsu di rumah ini. Ya, meski hanya berbeda 15 menit dengan Dino tapi jiwa anak bungsu yang manja sangat melekat pada Dina.
"Hus, sudah dong, Kak. Kasian itu adeknya mau nangis gitu." Mama tiba-tiba muncul dari dapur dan menegurku.
"Hahahaha, abis seru sih ngeledekin dia," ejekku lagi.
"Ish, Pa, Kak Atha tuh!" rengek Dina, bahkan saat ini dia sudah memeluk tangan Papa.
"Iya, Papa sayang semua anak Papa kok. Sudah-sudah, Papa anter Kakak dulu, nanti dia telat lagi ujiannya," ucap Papa.
"Kamu nggak sarapan dulu sayang?" tanya Mama kepadaku.
"Enggak deh, Ma. Aku masih kenyang sama cemilan tadi," jawabku.
Setelah berpamitan aku langsung berangkat pergi ke sekolah. Aku banyak mengobrol dengan Papa, seperti bertukar cerita soal sekolah dan persiapan kuliahku. Papa tidak sedikit pun menyinggung masalah perjodohan konyol tersebut, entahlah karena apa.
Lagian kalau memang tidak jadi kan bagus juga, kamu ini kenapa malah jadi nungguin sih, Tha?
***
"Tha, ya ampun gue deg-degan. Padahal udah belajar sama bimbel ampe gue panggil guru privat ke rumah buat ngajarin materi ujian, kok tetep deg-degan ya?" kata Anin yang sedari tadi tidak berhenti mengeluhkan rasa gusarnya.
Saat ini kita sudah berada di depan lab untuk ujian akhir SMA. Sebenarnya aku juga gusar, takut blank, takut soalnya sulit, dan nggak bisa jawab. Tetapi entahlah sekarang rasanya sudah lebih tenang.
"Kalian sudah siap?" aku menengok ke sumber suara.
Di sana ada Aditya, Pak Aditya lebih tepatnya. Laki-laki yang menjadi pemimpin yayasan baru SMA Lamont. Dia terlihat sedang mengobrol dengan teman sekelasku yang lain. Sebenarnya aku cukup penasaran dengannya, berkharisma dan sangat humble. Wajar cewek-cewek tergila-gila padanya, termasuk aku mungkin?
"Wah Agatha dan Anin, kita bertemu lagi nih?" sapanya.
Saat ini dia tepat di hadapanku, berdiri dengan gagah. Aroma parfum mahalnya sungguh menyerbak, membuatku terhanyut dalam pesonanya. Kalo boleh jujur, aku jatuh hati padanya. Tampan, kaya, baik hati, dan wangi. Ah, tapi ini hanya sekedar kagum biasa kok.
"Iya, Pak. Tumben Bapak ke sini?" sapaku balik.
"Iya saya pengen liat pada persiapan ujian aja, mumpung ada waktu sebelum ke kantor."
Astaga, senyumannya terlihat sangat manis, padahal dia hanya sedang menjawab pertanyaannku
"Pak saya dengar dulu Bapak SMA di sini juga ya? Soal ujiannya susah nggak sih Pak? Kira-kira saya bakal lulus nggak Pak? Kalo jelek bisa remed kan Pak?" aku terkejut, Anin yang sedari tadi diam tiba-tiba mengajukan banyak pertanyaan.
"Astaga Anin, saya kira kamu dari tadi diam karena sakit, ternyata lagi nervous, toh?" tanya Pak Adit yang juga ikut terkejut.
"Lo nggak apa-apa kan, Nin?" tanya Agatha memastikan, khawatir dengan sahabatnya itu.
Sepertinya kegusaran Anin semakin besar.
"Nggak apa Anin, saya yakin kamu bisa kok! Agatha juga, semangat dan kerjakan semampu kalian," ucap Pak Adit menyemangati.
"Iya, Pak!" jawab kami serempak.
Setelah beberapa menit ngobrol, kami masuk ke dalam Lab karena sudah mau memulai ujian. Pak Adit pun pamit untuk segera pergi ke kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Planned Destiny
RomanceKisah klasik perjodohan Agatha memang tidak pernah terbayang akan menikah muda sebelumnya, segala kebahagiaan yang dia miliki saat ini sudah lebih dari cukup. Menikah muda tidak ada dalam list goals yang ia miliki, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa...