Chapter 9

4.3K 104 5
                                    

b

Aku melangkah ke dalam rumah, masih diliputi rasa heran setelah melihat mobil Pak Adit lenyap di tikungan perumahanku. Perutku tiba-tiba terasa geli, seperti ada sejuta kupu-kupu yang berlomba keluar dari dalamnya.

"Sayang, baru pulang?" suara itu membuyarkan lamunanku.

Di depanku ada Mama dengan celemek biru kesayangannya. Nampaknya Mama sedang memasak kue kering.

"Iya, Ma," aku tersenyum dan menghampirinya.

Kukecup kecil pipinya yang masih saja mulus di usianya yang mendekati kepala lima. Memang benar uang bisa mengawetkan segalanya ya.

"Tumben pulangnya lumayan malem, biasanya jarang sampe malem kalau nggak lagi sama kita-kita?" tanya Mama dengan raut wajah heran.

Memang biasanya aku jarang pulang malam jika sedang tidak pergi bersama keluarga. Kalau pun sampai larut, itu karena sudah berencana menginap dengan Anin.

"Hahahah, iya tadi keasikan ngobrol," jawabku sambil tertawa kikuk.

Aku sengaja tidak memberi tau Mama soal Pak, eh Mas Adit ke Mama. Karena yang namanya Ibu tuh ya, nggak tau deh naluri dari mana, tapi kalau udah ada bahan obrolan bisa nggak kelar-kelar diinterogasinya.

"Adek!" suara itu mengalihkan fokusku.

Di rumah ini hanya satu orang yang tetap memanggilku Adek di saat semua orang mulai memanggilku Kakak karena kelahiran adik kembarku. Ya dan orang itu adalah...

"Bang Arnold!" pekikku kaget.

Aku berlari kecil menghampirinya dan memeluknya erat. Bang Arnold adalah kakakku satu-satunya yang beberapa tahun belakangan banyak menghabiskan waktunya untuk pendidikan dan membangun karir di luar negeri.

"Hai bocil," sapanya, tatapannya penuh rasa hangat dan ketulusan.

Sebelumnya, aku selalu kesal ketika rambutku diacak-acak. Tapi kali ini aku tidak protes karena kami sudah jarang bertemu. Memang, zaman telah berubah dan banyak teknologi canggih yang bisa membantu mengurangi rasa rindu. Namun, perbedaan kesibukan, waktu, dan bahkan cuaca membuat Bang Arnold tidak bisa selalu berkomunikasi secara intens.

"Aduh, Mama langsung dilupain nih kalau udah ada abangnya," keluh Mama pura-pura cemburu.

Aku menoleh dan tersenyum lebar, memang aku dan Bang Arnold sangat dekat. Mungkin hal ini karena Dina dan Dino sudah memiliki satu sama lain untuk saling melindungi. Hal itu membuat aku dan Bang Arnold lebih dekat.

"Kok Mama nggak bilang-bilang sih kalau Abang udah pulang?" tanyaku dengan heran sambil memeluk Bang Arnold.

"Sengaja, Abang yang suruh buat surprise niatnya. Eh, malah kamu baliknya lama banget," balas Bang Arnold.

"Hehehehhe," aku hanya cengengesan saja.

"Hayo, abis pacaran ya nih pulangnya malem-malem gini?" ledek Bang Arnold sambil menatapku dengan penuh selidik.

Aku memukul pelan lengannya tanda kalau ledekannya adalah hal yang salah.

"Sudah-sudah, ayok ke dalam. Mama udah masak kue coklat kesukaan kalian," ujar Mama penuh kasih sayang

Aku tersenyum lebar karena akhirnya Mama kembali memasak kue kesukaanku.

"Tumben Mama bikin kue coklat lagi, ada angin apa nih?" tanyaku penasaran.

"Ya pengen aja, mumpung Abang lagi di rumah juga," jawab Mama dengan nada santai.

"Boong, pasti ada sesuatu yang lain kan?" tanyaku lagi, masih curiga dengan jawaban Mama.

Bukannya menuduh, tapi Mama biasanya akan memasak kue coklat hanya pada saat hari spesial. Pasti ada alasan lain selain Bang Arnold yang membuat Mama akhirnya membuat kue coklat kali ini.

***

Aku terbangun pukul 7 pagi setelah melanjutkan tidurku sehabis subuh. Semalam aku mengobrol banyak dengan Bang Arnold. Dia juga bercerita tentang kekasihnya, mereka bertemu saat sedang menempuh pendidikan di Amerika.

"Tha, masih belum bangun?" aku mendengar suara dari luar.

Itu pasti Bang Arnold karena semalam kami berencana untuk lari pagi di sekitar komplek. Aku bangkit dari kasur dan membuka pintu kamarku.

"Lah, baru bangun?" tanya Bang Arnold sedikit terkejut melihat penampilanku.

Aku membalas dengan senyuman lebar. "Sebentar ya, Bang, aku ganti baju dulu," jelasku.

Bang Arnold mengangguk dan kemudian meninggalkan depan pintu kamarku. Aku menutup pintu untuk segera ganti baju dan menggunakan beberapa rangkaian skincare.

Setelah selesai bersiap, aku turun ke bawah. Di sana aku melihat Papa, Mama, dan Bang Arnold sedang sarapan bersama. Mungkin Dina dan Dino sudah berangkat ke sekolah.

"Jadinya kapan Pa makan malam keluarganya?" aku dengar Bang Arnold yang berbicara.

"Makan malam apa?" batinku bertanya-tanya.

"Ya rencananya besok sih, Bang? Abang emang buru-buru banget balik lagi ke Amrik nya?" langkahku berhenti saat mendengarnya.

Aku terus mendengarkan percakapan antara mereka bertiga di sana.

"Ya nggak juga si, Pa. Cuman kasian aja karyawan di sana aku tinggal lama-lama kan. Namanya baru ngerintis, agak riskan kalau sering ditinggal," ucap Bang Arnold.

Aku menganggukan kepala tanda mengerti kenapa Bang Arnold mau segera pulang dan cukup terharu dia pulang hanya untuk makan malam keluarga. Padahal biasanya tidak apa-apa jika tidak ada Bang Arnold. Aku pun kembali melangkahkan kakiku menuruni anak-anak tangga.

"Papa yakin, Bang. Lagian anaknya baik kok. Dia kan adik kelas kamu juga pas SMA, Abang taulah dia laki-laki baik," ucap Papa.

Obrolan di bawah membuatku semakin bingung. "Bang Arnold pulang hanya untuk perjodohan konyol itu? Ini aku beneran 'dijual' apa gimana dah?"

"Kok Atha lama turunya, Bang. Beneran udah bangun kan dia?" sekarang suara Mama yang terdengar.

Aku mempercepat langkahku menuju ke meja makan untuk menemui mereka dan mempertanyakan semua hal yang terjadi.

"Jadi Abang pulang cuman buat liat aku...," Agatha bahkan tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Baginya terlalu banyak plotwist dalam hidup ini. 

My Planned DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang