Chapter 10

5.1K 120 4
                                    

Abang :)

Author P.O.V

Agatha saat ini berada di ruang keluarga bersama kedua orang tua dan juga abangnya. Setelah tadi memergoki mereka yang sedang membahas tentang makan malam yang ternyata berujung pada topik perjodohan dirinya. Agatha tidak menyangka ternyata perjodohan konyol yang direncanakan orang tuanya masih berlanjut. Sampai sekarang gadis itu nampak sulit untuk menerima kenyataan bahwa abangnya pulang hanya untuk melihat dirinya dijodohkan.

"Jadi Abang pulang cuman buat liat aku dijodohin doang gitu? Tega bener sih Abang!" protes Agatha lengkap raut wajah suram.

"Astaga, nggak gitu, Tha. Ya Abang pulang karena kangen keluarga juga kok," bantah Arnold.

"Plus mau hadirin makan malam konyol itu!" tambah Agatha kesal.

"Tha!" tegur mamanya.

"Ya udah, intinya besok malam kita bertemu dengan keluarga Lamont," jawab final papanya mencoba menengahi.

"Nggak bisa, Pa. Atha udah janjian sama Anin mau ke puncak sehabis ujian. Ini udah rencana kami dari lama loh," keluh Agatha makin sebal.

Meski tidak berani membantah, Agatha tidak mau rencananya batal begitu saja karena hal konyol yang 'mungkin' nantinya akan dirinya sesali.

"Aduh, Tha, diundur aja lah ke puncaknya," timpal sang mama dengan nada cemas.

"Nggak bisa gitu dong, Ma. Gini deh Atha mau dateng ke makan malem itu, tapi ya nggak mau besok malam juga. Pokoknya Atha nggak mau kalau rencana sama Anin sampai batal," kekeh Agatha.

"Ya udah, Pa...Ma, diturutin aja Athanya. Toh, Atha juga sudah banyak ngalah loh sama hal yang Mama dan Papa mau," Arnold mencoba membela adiknya.

Meski mau semarah apa pun Agatha pada Arnold, dia tetaplah sosok Abang yang akan melindungi adiknya kapan pun.

Baldwin yang melihat ketegangan antara istri dan anak perempuannya mulai melerai. "Ya udah kalau gitu, nanti Papa undur pertemuannya," ucap Baldwin final.

"Mas!"

"Oke!" kedua wanita itu berucap berbarengan.

Baldwin memandang istrinya tanda bahwa keputusannya sudah final dan sudah menjadi jalan terbaik.

"Ya udah, Atha mau siap-siap dulu ke atas," pamit Agatha.

Dirinya bangkit dan berjalan menuju ke kamarnya.

"Loh kita nggak jadi olahraga, Tha?" tanya Arnold kebingungan.

"Nggak deh, udah males sama Abang," jawab gadis itu sambil melenggang pergi begitu saja.

"Yah, Tha, jangan begitu dong!" Arnold mengejar adiknya di belakang.

"Mas kan udah janji sama keluarga Lamont, masa dibatalin gitu aja?" protes sang istri.

"Ya mau gimana lagi, Ma. Benar apa yang dibilang Arnold selama ini, Agatha kan nurut banget sama kita," jelas Baldwin.

Pria tua itu sedikit memijat pelipisnya yang terasa pusing. Melihat hal tersebut Winda langsung menghampiri sang suami.

"Kamu kenapa, Mas?" tanyanya khawatir.

"Hanya pusing saja, aku mau istirahat di kamar," ucap Baldwin.

Winda langsung memapah sang suami menuju ke kamar untuk beristirahat.

***

Arnold berkali-kali mengetuk pintu kamar adiknya, namun tak kunjung ada jawaban. Entah apa yang dilakukan Agatha di dalam sana, padahal sudah setengah jam berlalu sejak Agatha mengunci pintunya.

"Tha, bukain dong! Abang minta maap ini mah," ucap Arnold lemas.

Bagi laki-laki itu, membujuk wanita yang sedang mengambek lebih melelahkan dari pada harus lari marathon. Setidaknya kalau lari marathon terlihat jelas di mana garis finishnya, namun jika membujuk wanita yang marah entah kapan selesainya.

Sementara Arnold hampir kaku berdiri di depan, Agatha malah asik berendam air hangat di kamar mandi. Gadis itu berpikir kalau Arnold hanya akan sebentar di depan pintu lalu pergi. Makin lengkap dengan buku dan setelan musik dari speaker yang membuat Agatha semakin betah merendamkan dirinya di sana.

Dering telepon menghentikan kegiatan membaca Agatha, gadis itu segera bangkit dan membilas dirinya. Setelah mengeringkan diri, Agatha mengambil ponselnya melihat siapa yang tadi meneleponnya.

"Halo, Nin, sorry gue abis mandi," Agatha langsung menelepon balik.

"Eh iya nggak apa-apa. Kita nanti pergi jam 11 an aja ya, Tha. Ngeri macet gue kalo sore-sore," jawab Anindya di ujung sambungan telepon.

"Eh boleh, gue tinggal masuk-masukin baju aja sih ini," balas Agatha.

Sembari menelepon, Agatha merapihkan pakaian-pakaian yang ingin dia bawa pergi berlibur. Dia membawa beberapa pakaian lengan panjang yang cukup tebal.

"Tha, beneran masih ngambek nih? Nanti Abang beliin eskrim deh kalau kamu mau buka pintunya!" Agatha mengernyitkan dahinya mendengar suara dari luar kamarnya.

"ASTAGFIRULLAH BANG ARNOLD!" pekik Agatha dalam hati.

"Hmm, Nin... Nanti gue telepon lagi deh kalau udah on the way ke rumah lo ya," ucap Agatha dan langsung mematikan sambungan teleponnya.

Gadis itu segera berlari kecil untuk membuka pintu kamarnya. Setelah dia buka telihat Arnold yang duduk di lantai depan pintu.

"Abang ngapain?" tanya Agatha dengan wajah tanpa dosanya.

"KAMU DARI TADI MANDI?" pekik Arnold.

Agatha yang masih bingung pun hanya menganggukan kepalanya dengan polos.

"Jadi Abang setengah jam ngetokin pintu kamar kamu itu beneran ngomong sama angin doang?" tanya Arnold lagi.

"Abang dari tadi di depan kamar Atha aja? Kenapa nggak ke kamar Abang aja?" bukannya menjawab, gadis itu malah balik bertanya.

"Astagfirullah Agatha, Abang kira kamu marah trus ngurung diri tau nggak?" ucap Arnold tidak terima.

"WAKAKAKKA ya maap, Bang. Emang kesel dikit sih tapi ya udahlah," ucap Agatha pasrah.

"Maaf ya, Abang juga nggak bisa nentang Mama dan Papa sebesar itu," balas Arnold penuh penyesalan.

"Ya elah santai aja, Bang. Tadi mah ekting doang sedih begitu, aslinya b aja kok," ucap Agatha cengengesan.

Arnold menatap adiknya dalam, sebagai Abang dirinya khawatir jika adiknya harus kehilangan masa happy-happynya demi memenuhi kemauan kedua orang tuanya. Meski gadis itu bilang kalau dirinya akan baik-baik saja, Arnold yakin sebelumnya adiknya sering menangis sendirian. Dulu saat Agatha lahir di dunia, Arnold berumur 7 tahun dan dia sangat menantikan lahirnya sosok 'adik' yang teman-temannya sering bicarakan.

"Kalau kamu kenapa-napa bilang Abang ya, Tha!" pesan Arnold penuh kasih sayang.

Laki-laki itu mengusap kepala adik perempuannya dan memeluknya erat. Bagi Arnold, kebahagiaan Agatha adalah segalanya. Saat kelahiran adik kembarnya yang hanya beda 2 tahun dari Agatha, semua perhatian berpindah ke sana. Bukannya Agatha dilupakan, tapi yang namanya kelahiran adik baru apalagi kembar sangat menyita perhatian seluruh keluarga. Di saat itulah Arnold tetap sering bermain dan menemani Agatha. Bukannya tidak sayang dengan kedua adik kembarnya, tapi kedekatannya dengan Agatha sebagai adik memanglah berbeda.

Agatha tersenyum kecil dalam pelukan Arnold. Meski ia mencoba berbohong pada dunia, abangnya akan tetap memeluk dan mengerti perasaan dirinya yang sebenarnya. Ya, Agatha sangat bersyukur dengan hal tersebut.

My Planned DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang