#5

17.7K 592 7
                                    

Nggak enaknya satu kelas sama Evan itu, dia buat aku suka nervous, mati gaya. Temen-temen suka segan ngedeketin aku, gara-gara aku dekat dengan Evan. Padahal aku udah beribu-ribu kali, nggak deng, berpuluh-puluh kali bilang kalo aku nggak ada apa-apa sama Evan. Tapi tetep aja mereka nggak percaya. Evan nggak pernah ambil pusing tentang hal ini, malah dia sering godain aku dikelas. Berlagak kayak pacar aku beneran. Aku udah kepedean aja. Semenjak kejadian didalam mobil antara aku dan Elina berkobar perang dingin. Kalau aku kebetulan satu kelompok sama dia berarti malapetaka buatku. Yang membuat nya semakin membenciku, Evan sekarang dingin terhadapnya.

Hari rabu jam pertama, waktunya pelajaran olahraga. Salah satu pelajaran yang paling aku benci. Aku nggak suka capek, berkeringat apalagi badan sakit semua gara-gara terkena bola atau apa. Sebel deh pokoknnya. Hari ini waktunya lari. Para murid harus berlari keliling lapangan sampai batas maksimal. Para cowok 15 putaran, cewek 10 putaran. Yang berlari sampai batas itu, akan dapat nilai sempurna. Tapi aku yakin 80 persen para murid cewek nggak bakalan saggup termasuk aku. Biasanya aku hanya berlari sampai lima putaran saja. Itu saja rasanya udah mau pingsan. Dan kali ini pun aku nggak mau ngoyo. Kami berbaris menurut absent dan Evan tepat di belakangku. Dan berlari pun dimulai. Masih satu putaran Evan udah melewatiku. Dua putaran, Evan udah nggak tau dimana. Tiga putaran aku udah ngos-ngosan. Empat putaran, aku udah mau nyerah. Tapi Evan tiba-tiba berlari mengiringiku.

    "Kriting!! udah berapa putaran?" Tanyanya.

    "E-mpat" Jawabku ngos-ngosan.

    "Semangat! Gue udah tujuh!"

Putaran kelima, kebanyakan para cewek udah nyerah. Dan aku berniat mengikuti jejak mereka.

    "Se-mangat Ren! Gue du-kung lo!" Evan menyemangatiku.

    "G-gue ga bi-sa"

Toh aku masih berlari juga. Enam putaran, Evan masih setia mengiringi. Aku udah mau ambruk aja. Tapi aku nggak nyerah.

    "Ka-lo gue ping-san lo ta-nggung jawab!"

    "Coba-dulu.. ja-ngan nyerah!"

Putaran ketujuh, Evan menghilang. Putaran kedelapan, hanya aku dan beberapa orang yang tersisa. Perut sebelah kiriku udah kayak keplintir. Putaran kesembilan, Evan kembali mengiringiku dan aku sudah tak sanggup bicara. Tanggung tinggal satu putaran. Putaran kesepuluh, aku mulai terseok-seok. Dan genap sepuluh putaran seseorang menabrakku hingga aku jatuh tersungkur. Udah rasanya mau pingsan, jatuh pula. Akhirnya aku diam dalam posisi jatuhku, tapi aku masih sadar sepenuhnya. Hanya saja aku butuh bernafas. Segera semua anak mengerubungiku. Aku hanya pasrah dengan apa yang mereka lakukan. Aku luar biasa lelah, hingga tak sanggup bicara bahwa sebenarnya aku baik-baik saja. Kudengar Pak Sapto juga menghampiriku. Ia menyuruh salah satu anak membawaku ke UKS. Dan kurasakan seseorang mengangkatku. Itu Evan. Aku mengenali suaranya.

    "Van.. gue nggak pingsan, gue cuman capek!" Kataku dalam perjalanan ke UKS.

Tapi aku tetap terpejam, nyaman saja.

    "Udah diem lo! Banyak luka juga yang harus diobatin.."

Kudengar Evan mendorong pintu UKS, aku mulai membuka mata kemudian dia mendudukanku di ranjang. Sesampainya di ruang UKS kenapa aku jadi pusing. Dan beberapa bagian tubuhku mulai perih. Sang petugas UKS, sibuk menyiapkan kasa dan revanol. Sementara Evan menatapku cemas.

     "lo.. lo jangan panik ya?!" Kata Evan.

Panik? Sumpah aku nggak panik. Tapi aku bingung. Kulihat ada sebercak darah di kaos Evan dibagian dada. Aku benci luka. Spontan aku mengusap dahiku, dan ternyata ada darah. Aku benci luka. Dan semua tiba-tiba manjadi gelap.

My Boy ! My Brother !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang