#7

16.5K 515 25
                                    

     Sepulang dari Bali itu, aku sama Evan bener-bener kayak pacar. Sepulang sekolah seringnya kami pergi ke kafe atau rumah makan. Hanya sekedar makan bareng. Hal ini mempengaruhi hubunganku dengan cowok-cowok diluar sana. Mereka enggan mendekatiku karena ada Evan si abang galak. Nggak tau kenapa, Evan jadi protektif banget.

Pernah dia marah-marah, hanya karena aku pergi dengan Yudhit ketoko buku. Helloooh! dia Yudhit gitu, temenya sendiri. Sebenarnya aku risih juga dia kayak gitu, iya kalau aku ini beneran pacarnya. Tapi, aku nyaman di deket Evan. Perhatiannya itu sudah mengisi hari-hariku.

Hari ini aku pergi ke warung bebek penyet kesukaanku bersama Evan. Rumah makan ini, salah satu dari sedikitnya rumah makan yang tidak menyediakan keju,susu,jamur dan seafood. Jadi disinilah aku bisa bebas makan tanpa harus meneliti makananku. Dan satu lagi, disini sambalnya pedes gila. Evan itu penggila pedes. Dan karena itu, aku jadi mulai suka pedes.

    "Kapan-kapan.. cari.. tempat lain.. dong" Kataku kepedesan.

    "Iya.. nanti hunting kuliner lagi" Jawab Evan sambil menyuap suapan terakhirnya.

     "Gila!!! Sambel disini nggak ada duanya!" Kata Evan.

Aku yang kehabisan minum, meneguk es jeruk Evan langsung dari gelasnya.

    "Bebek nya juga mak nyos!"

    "Eh! Main nyosor aja lu"

Protes Evan karena nggak sadar es jeruknya aku teguk habis.

    "Lo kan lebih tahan pedes Van!"

    "Yaudah! Cepet habisin, udah mau ujan nih!"

Aku membereskan makanku, sementara Evan membayar dikasir. Ketika keluar dari rumah makan itu, hujan sudah turun rintik-rintik. Aku memasang topi jaketku agar rambutku tak basah. Kemudian aku memakai helmku dan naik kemotor Evan.

     Setengah perjalanan, hujan turun dengan deras. Evan terpaksa berhenti untuk berteduh sebelum benar-benar basah kuyub. Kami berhenti di depan toko toko yang tutup. Kebetulan ada kursi kayu panjang. Aku dan Evan duduk dan saling diam. Bajuku yang basah, membuatku kedinginan. Nampaknya Evan juga kedinginan.

     "Van!" Panggil ku seraya menggenggam tangannya yang dingin.

Evan hanya menoleh padaku. Aku tersenyum padanya, kemudian perlahan aku meraih lengannya dan memeluknya dengan erat. Aku sandarkan tubuhku sepenuhnya padanya. Kemudian Evan meraihku, mengusap daguku, rambutku. Dan akhirnya melepas tangannya yang ku peluk dan Ia memelukku hangat.

     Sekitar kurang lebih satu jam, hujan berhenti. Matahari kembali mengintip dari celah-celah awan yang masih betah menutupi langit. Aku kembali melanjutkan perjalanan pulang. Tapi, setelah sampai di padang sebelah lapangan komplek, Evan berhenti lagi. Ia mengajakku ke pinggir padang yang ternyata lebih tinggi dari dataran lain. Disini bisa dilihat hamparan komplek perumahan mewah di tempat tinggalku sekarang. Aku duduk beralaskan rumput. Rambutku masih setengah kering, aku menutupinya dengan tudung jaketku. Evan duduk disampingku, menekuk kedua kakinya.

    "Dulu.. aku sering main disini sama papa" Kata Evan dengan pandangan kosong.

Aku hanya menatap wajah Evan, yang sidikit diterangi cahaya matahari sore hari. Wajahnya tersirat kepedihan yang mendalam. Pasti Evan sangat terpukul kehilangan papanya. Sementara aku, tak punya kenangan indah yang bisa kukenang bersama mama. Aku terlalu kecil, saat kehilangannya. Aku hanya bisa mengusap pundak Evan untuk menyemangatinya.

    "Sekarang kan ada papa Rudi sama aku.. rame kan?!"

Evan menoleh kepadaku, tersenyum simpul. Ia semakin mendekatkan wajahnya, Evan mengusap pipiku, menyibakkan rambutku yang basah. Jantung berdetak cepat tak karuan. Aku hanya bisa diam mematung. Selanjutnya Evan mengecup lembut bibirku. Karena syock aku tak sempat menutup mataku, tak sempat berbikir membalasnya sebelum Evan melepas bibirku. Sejenak aku lupa bernafas. Mungkin saat ini wajahku tampak seperti melihat kejadian mengerikan. Setelah kesadaranku kembali total, aku mengerjap dan melihat Evan juga salah tingkah.

My Boy ! My Brother !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang