Side Story (Nabilah & Gaby)

4.1K 319 29
                                    

Pagi ini cerah. Terlalu cerah malah. Gaby sampai mengernyit beberapa kali saat ada di luar ruangan, gadis itu pun menggunakan untaian rambut hitamnya untuk menutupi wajah dari sinar matahari yang terlalu terik.

Dengan posisi masih bersedekap dan bersandar di sebuah pilar, Gaby melirik jam tangannya lagi. Jam 10 lebih 32 menit, sudah nyaris setengah jam berlalu dari waktu yang di janjikan. Seharusnya jam 10 Gaby sudah bisa menemui Nabilah di tempat ini. Meskipun janji itu dibuat sepihak oleh Gaby saat kemarin mengantar Nabilah pulang ke rumahnya, tapi gadis itu yakin Nabilah tidak akan setega itu sampai tidak datang.

Tapi sejurus kemudian Gaby terdiam, dan terbayang lagi semua yang sudah ia lakukan pada Nabilah beberapa waktu lalu. Kejadian di rooftop itu masih sering menghantui Gaby dalam tidurnya. Biasanya Gaby memimpikannya dalam berbagai versi, bahkan ada versi dimana Nabilah sampai lompat ke bawah, diiringi teriakan yang mengerikan. Ada juga versi dimana Lidya yang terjun bebas ke bawah lalu mati dimakan gagak, entahlah mungkin Gaby selalu tidur dengan suasana hati yang buruk sampai semua mimpinya berakhir tragis. Tidak pernah sekalipun mimpi itu berakhir indah, padahal Gaby sering membayangkan apa yang akan terjadi kalo ia menerima pernyataan Nabilah.

Mungkin gadis itu akan berhambur ke pelukan Gaby, dan Lidya yang menunggu di samping akan terisak dengan air mata bahagia. Tapi tentu saja itu tidak pernah terjadi. Bukan tanpa alasan Gaby menolak perasaan teman seperjuangannya itu. Gaby takut mengacau, menjaga dirinya sendiri saja Gaby sering gagal. Apalagi kalau harus menjaga perasaan milik orang lain.

Tapi setelah kejadian itu Gaby malah semakin dihantui oleh perasaan yang seharusnya ia tekan dan sembunyikan jauh-jauh, Gaby mendoktrin dirinya sendiri agar memikirkan hal-hal sepele setiap harinya,  seperti menu sarapan, cemilan yang harus dibeli, baju yang harus dipakai, penonton yang harus di eye lock, dan hal receh lainnya. Gaby memaksa hati dan otaknya untuk tidak memikirkan Nabilah dan perasaan asing yang semakin hari semakin tumbuh. Dan Gaby tidak pernah setakut ini sebelumnya.

Kenyataan bahwa nyaris setiap hari dia harus bertemu Nabilah lambat laun menghancurkan pertahanan Gaby, gadis cantik itu punya caranya sendiri dalam menarik perhatian Gaby, dan Gaby pun tidak mau Nabilah mencurahkan perasaan itu pada orang lain. Makanya sekarang Gaby mulai membangun kembali jembatan yang menghubungkan mereka, setidaknya sampai Nabilah bisa menatap dirinya tanpa meringis seperti orang kesakitan. Sekarang biar perasaan asing ini Gaby sembunyikan dulu dengan rapat.

Gaby meniup helaian rambut yang menghalangi matanya dengan kesal, hari sudah semakin siang tapi Nabilah masih belum datang. Mengingat bagaimana obrolan mereka berakhir kemarin, mungkin seharusnya Gaby tidak perlu repot-repot menunggu.

****

"Thanks tumpangannya Gab." Nabilah berusaha tersenyum dan bicara sebiasa mungkin, tapi saat pandangan mereka beradu, Nabilah hanya ingin segera pergi dari hadapan Gaby.

"Sama-sama Bil." Gaby mengigit bibirnya sendiri dengan pelan, lalu saat Nabilah membuka pintu mobil, Gaby langsung menghentikannya.

"Gaby pengen ngobrol sebentar, boleh?"

Pergerakan Nabilah terhenti, ia menoleh kearah Gaby dengan alis terangkat. "Apaan?"

Tenggorokan Gaby terasa kering, ia mengerjap dengan panik. Dari kejauhan ia bisa melihat Mamah Nabilah keluar dari rumah dan memandang kearah mobilnya dengan heran.

"Hm tapi itu mamah kamu udah nyariin kayanya." Gaby mengangkat dagunya kearah pintu rumah, "Kalo besok ngobrolnya bisa gak?"

"Gak bisa sekarang aja? Ngobrol apaan emang? Penting banget gak?"

Nabilah nyaris mengigit lidahnya karena merasa bersalah setelah melihat wajah Gaby yang berubah murung.

"Penting banget, Bil." Gaby meringis, "Soalnya kalo di theater kamu susah diajak ngobrol, Gaby bingung nyamperin kamunya."

StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang