Part 5 - Acta Non Verba

1.8K 218 7
                                    

STEFAN Point of View

Roti tawar isi selai kacang, secangkir americano panas, Melodi yang duduk disebelah gue sambil sarapan dengan cereal warna-warni kesukaannya sembari berceloteh tentang segala hal di sekolahnya pada gue, dan Yuki yang berdiri disebelah si kecil sedang sibuk menyiapkan bekal anak kami untuk dibawa ke sekolah. Pemandangan ini kembali mengingatkan gue akan pemandangan serupa empat atau lima tahun yang lalu. Yang selalu terjadi disetiap pagi-pagi bahagia kami, pagi-pagi bahagia keluarga kecil kami.

Bedanya, dulu meja makan ini dipenuhi tawa dan canda dari kami bertiga, bukan cuma suara Melodi yang bercerita pada gue sementara Yuki tampangnya jutek banget gini.

Bedanya dulu roti tawar yang jadi sarapan buat gue itu sudah siap di atas meja dengan olesan selai kacang favorit gue didalamnya, disiapkan oleh siapa lagi kalau bukan istri gue. Bukan seperti roti yang sekarang ada di depan muka gue hasil gue buat sendiri.

Bedanya dulu dan sekarang juga adalah, dulu yang menuangkan americano panas ke cangkir gue itu Yuki sendiri, sambil kemudian setelah selesai menuangkan kopi gue dia membisikan ini ditelinga gue: "Ini gulanya ya, Sayang," setelah itu mendaratkan kecupan singkat di bibir gue yang dia maksud sebagai 'gulanya' and I returned her 'favor' by giving her a spank on her sexy ass and made her startled then laugh while pinching my nose again before she leave. Sementara yang barusan nuangin kopi gue ke cangkir ya si Susi, yang nggak mungkin kasih gue ciuman dan nggak bakal sudi gue pukul pantatnya, and I would never do that either, guys. Turst me, I won't do that! It's just a parable. Udah gila kali gue. Bisa-bisa si Susi langsung laporin gue ke Komnas Perempuan and Yuki would be glad to be her attorney and throw me in jail kalau gue beneran ngelakuin itu.

Intinya, dulu dan sekarang itu beda. Dulu kami masih satu keluarga, dan sekarang sudah bukan. Yuki bahkan dari tadi diem aja. Dan walaupun dia berdiri didepan muka gue, dia sama sekali nggak mau ngeliat muka gue. Barusan aja waktu gue dateng dan kebetulan dia yang bukain pintu, dia cuma ngeliat muka gue tanpa ekspresi apa-apa kemudian membiarkan gue masuk kedalam rumah.

"Melodi masih pake baju. Bentar lagi selesai. Kamu tunggu aja disitu," begitu ucapnya kemudian kembali naik ke lantai dua, meninggalkan gue di ruang tengah.

Dan tak lama, Putri kecil gue berlari turun dari lantai gue waktu dia lihat gue duduk diruang tengah.

"Papa!"

"Hey sweetheart!" gue langsung mengangkatnya kedalam kendongan dan memeluk si cantik yang sudah lebih dulu memeluk leher gue ini erat-erat. "Kangen sama Papa, ya?"

"Iya. Melodi kangen sama Papa," ucapnya menggemaskan, membuat gue nggak kuat untuk nggak mencium kedua pipinya itu berkali-kali. Dia kemudian mengangkat kepalanya dan menatap gue, kali ini sambil cemberut. "Kok Papa nggak anterin Melodi waktu hari pertama Melodi masuk sekolah, sih? Temen-temen Melodi semuanya dianterin Mama sama Papanya. Melodi cuma sama Mama aja."

Pertanyaan yang diajukan Melodi berbarengan dengan Yuki yang baru menuruni anak tangga. Dan ketika gue menatapnya, dia balas menatap sambil berdiri dan bersender di railing tangga, seakan mengirimkan pesan berisi: "Mampus! Emang enak ditanya gitu sama anak lo?"

Lalu gue kembali menatap Melodi dan mengelus pipinya. "Maaf ya, Sayang. Papa harus kerja waktu itu. Tapi sebagai permintaan maaf Papa, Papa udah bawain Melodi sesuatu."

"Apa, Pa? Apa?!" Melodi berseru-seru semangat ketika gue menurunkannya dari gendongan dan meraih satu kantong plastik besar yang gue letakan di sofa.

"Nih. Buat permintaan maaf Papa pada Tuan Putri karena sudah mengecewakan Tuan Putri cantik."

Melodi langsung menerima hadiah gue dan mengeluarkan isinya. Ketika dia melihat isinya, matanya langsung melebar penuh pendar gembira. Membuat gue jadi ikut tersenyum juga.

Senandung Hati MelodiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang