YUKI Point of View
"Kamu nggak usah masuk kantor dulu, deh. Aku nggak bisa tenang kalau ngebiarin kamu mual-mual gini nggak ada aku. Dirumah aja dulu. Nanti biar aku suruh Gio fax surat sakit ke kantor kamu," begitu kata Stefan dengan nada mengomel sambil terus mengelus-ngelus punggungku ketika aku lagi-lagi muntah untuk entah yang keberapa kali pagi itu. This first trimester is killing me. Nggak nafsu makan, selalu mual dan muntah, emosi turun naik, lemes, dsb. Aduh, kiddo, udah, ya? Jangan bikin Mama kayak gini lagi. Kasihan sama Mama ya, Nak. Dan lebih-lebih, kasihan Papa kamu yang udah hampir frustasi karena khawatirin kita, ya?
Setelah selesai memuntahkan seisi perutku, aku menggeleng pada Stefan. "Enggak, kok. Aku nggak pa-pa. Aku hari ini ada meeting penting banget, Sayang. Nggak bisa nggak masuk," jawabku sambil bangkit berdiri dibantu Stefan yang mukanya udah stres gitu. Kemudian aku kembali mengambil kemejaku yang kugantungkan di balik pintu, sengaja barusan aku buka dulu sebelum muntah, takut kena muntahan nanti.
"Kamu emang bisa bilang nggak pa-pa. Aku yang nggak tenang mikirin kamu," kata Stefan sambil mengancingkan kemejaku kembali lalu dia merangkulku keluar dari kamar dan mendudukanku di kasur, dan dia pun berlutut dengan satu dengkul menyentuh lantai dihadapanku. "Aku balurin badan kamu pake minyak kayu putih mau?"
Aku menggeleng lemah. "Nggak ah, Stef. Aku nggak kuat baunya. Nanti aku bisa muntah lagi."
"Terus? Makan lagi aja, ya? Tadi pasti apa yang kamu makan udah keluar lagi. Jadi makan lagi, ya?" tanyanya, aku tetap menggeleng. "Atau mau susu? Aku buatin kamu susu, ya?" tanyanya pantang menyerah. Tapi lagi-lagi aku menggeleng. Aku bener-bener nggak nafsu makan sama sekali pagi ini. Barusan buktinya baru makan satu lembar roti tawar, udah langsung dikeluarin lagi.
Melihatku seperti itu, Stefan mengerang kesal karena frustasi akibat khawatirnya yang emang luar biasa banget itu. Dan kalian tau kan adatnya Stefan gimana, dia pasti akan jadi tempramen parah kalau udah khawatir begini.
"Yaudah, kalau gitu nggak usah ngantor, ya? Udah nggak makan, nggak minum susu, gimana kamu di kantor nanti?" dia lagi-lagi ngomel padaku.
"Aku nggak pa-pa, Sayang. Ini juga udah mendingan, kok. Lagian muntah-mutah di trimester pertama gini emang normal kok. Kamu jangan khawatir berlebihan gini, dong?" jawabku dengan lembut dan sabar, tapi Stefan tetep aja ngomel.
"Gimana aku nggak khawatir? Hari ini pokoknya kamu nggak usah kerja dulu, deh. Aku nggak ijinin. Kamu jangan nakal dong hari ini. Sekali-sekali dengerin omongan suamimu bisa nggak sih, Yuk? Jangan bikin aku pusing gini, dong?" ucapnya naik darah. Duh, suamiku yang ganteng... Dimanjain, dong, istrinya yang lagi kayak begini, bukannya diomelin. Kan yang bikin istrimu gini kamu juga, Suami.
Lalu untuk meredam kemarahannya yang sebetulnya sweet itu, aku langsung mengelus pipinya dengan lembut, kemudian menarik satu tangannya dan meletakan tangannya ke perutku yang isinya Melodi dan sudah mulai ngejendul imut itu. "Stef, anak kamu ngomong, nih. Katanya, Papa jangan marah-marah sama Mama dan aku dong, soalnya kami mau disayang-sayang sama Papa, bukan diomelin," kataku, meluncurkan senjata andalan Ibu-Ibu hamil untuk merayu suami, pake nama anak. Percaya deh, itu emang paling ampuh di hampir semua sikon. Hampir semua... Karena sempet juga dua minggu yang lalu waktu kami lagi jalan-jalan mau beli beberapa buku parenting di mall, disebelah toko bukunya ada toko jewellery. Dan disana aku naksir sepasang giwang yang harganya tiga ratusan juta, lalu waktu minta dibeliin sama Stefan dengan alasan anaknya yang minta, eh, nggak mempan. Dianya malah ngeloyor, ngabur masuk toko buku, memupuskan harapanku untuk beli giwang itu. Pffft!
Dan sehabis aku bilang begitu, Stefan menghela nafas panjang sambil memejamkan mata untuk melepaskan segala emosinya. Setelah itu, dia mendekat dan memeluk pinggangku kemudian menempelkan kepalanya di perutku. Aku jadi tersenyum dan balas memeluknya dan mengelus kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Hati Melodi
RomanceKeluarga yang bahagia adalah keluarga yang utuh, saling menyayangi, saling melindungi. Ayah, Ibu, dan Putrinya saling mencintai satu sama lain. Tetapi bagaimana jika keluarga itu terpecah? Ego dan kepahitan hati menghancurkan istana yang indah itu...