Sore itu adalah sore yang sangat melelahkan bagi Dala. Ia terjebak kemacetan yang sangat panjang, ditambah lagi hari itu suasana kantor tempatnya bekerja sangat buruk. Sebagai kepala bagian junior Public Relation, ia harus berjaga di belakang mejanya sembari memberikan instruksi tanpa henti kepada para staf anggota. Karena semalam, sebuah berita dirilis yang menyebutkan bahwa perusahaan tempatnya bekerja terlibat dalam kasus pencucian uang yang dilakukan oleh salah satu oknum anggota legislatif.
Ia melirik jam mungil di pergelangan tangannya yang ramping. Jam menunjukkan pukul 6.30 petang. Ia duduk bersandar pada kursi kemudinya. Sambil memegangi keningnya, ia mengambil ponsel dan melakukan panggilan singkat. Tak lama berselang, kemacetan jalan itu perlahan mulai terurai. Kalau terus seperti ini, ia akan terlambat datang. Ia mulai habis kesabaran hingga berkali-kali membunyikan klakson agar kendaraan di depan mempercepat lajunya.
Tak sampai 30 menit, ia sudah tiba di tempat tujuannya. Ia memarkirkan mobil di salah satu sudut tempat parkir dengan sangat mulus. Jangan ditanya bagaimana ia bisa melakukannya, jelas saja itu karena ia sangat mahir mengemudikan mobil. Ia turun dari mobilnya lalu bergegas masuk ke dalam sebuah kafe yang nampak begitu nyaman dengan setengah berlari.
Sore tadi dia sudah membuat janji temu dengan seseorang yang sudah sangat lama tak ia jumpai. Menurut janji, harusnya ia sudah tiba sejak pukul 6.30, tapi sekarang sudah pukul 6.52. Ia celingukan mencari-cari orang yang harusnya ia temui. Ia melambaikan tangan dengan semangat ketika melihat sosok orang yang ia cari. Tanpa membuang waktu, ia bergegas menghampirinya.
"Ristyyy..." Pekik Dala.
"Dalaaa... Akhirnya lo dateng juga!" Sahut Risty sembari memeluk Dala.
"Eh sorry, Ris. Tadi macet banget parah."
"Ya udah kita duduk dulu. Gue uda pesenin iced chocolate caramel sesuai instruksi telepon lo tadi." Ujar Risty.
"Lo emang sahabat yang paling pengertian deh, Ris. Thanks." Ujar Dala sembari memeluk gemas sahabatnya.
Tanpa basa basi, Dala meneguk minumannya hingga tandas, bahkan es batu di gelas itu pun tak bersisa karena dikunyah begitu saja oleh Dala. Melihat tingkah laku sahabatnya, Risty hanya tersenyum geli sambil memutar bola matanya. Melihat ekspresi khas Risty itu, Dala malah meringis tertawa.
"Kalem, Dal. Masih bisa pesen lagi minumnya," ujar Risty sambil menggelengkan kepala.
"Hehe, sorry, Ris. Haus banget sumpah."
"Eh gue baru nyadar nih. Lo dateng sendiri, Ris?" sambung Dala sambil mengunyah sepotong kentang goreng.
"Iya lah gue dateng sendiri. Mau sama siapa lagi?" jawab Risty.
"Yah kan biasanya lo kemana-mana berdua sama babang tercinta. Eh bentar, lo berdua berantem lagi?" tanya Dala sembari menunjuk Risty dengan garpu.
"Fitnah aja lo kerjanya. Zack lagi main basket sama temen-temen SMA-nya," jawab Risty sembari menjauhkan garpu yang diarahkan padanya.
Dala dan Risty sudah bersahabat sangat lama, mungkin sudah sekitar 10 tahun mereka bersahabat dekat. Mereka mulai mengenal satu sama lain ketika sama-sama duduk di bangku SMP. Saking dekatnya, Dala bisa dengan bebas menginap di rumah Risty kapanpun ia mau. Bahkan, Dala memanggil orang tua Risty dengan sebutan Bunda dan Ayah. Begitu pun sebaliknya, Risty memanggil orang tua Dala dengan sebutan Mami dan Papi.
Mereka terus mengobrol hingga pesanan minuman Dala untuk yang kedua kalinya dihidangkan di meja. Mereka begitu asik mengobrol hingga tertawa lepas dan membuat pengunjung kafe yang lain memperhatikan mereka. Maklum saja, sudah hampir satu tahun mereka tidak saling bertemu karena Risty harus bekerja di luar kota.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rose: A First Love Story
RomanceRasa deg-degan tak biasa yang pertama kali dirasakan saat berbicara, rasa menggelitik di perut yang tak bisa dijelaskan, dan senyum-senyum kecil yang terkembang saat diam-diam mencuri pandang dari kejauhan, perasaan cinta pertama yang begitu polos...