Part 10

845 86 18
                                    

Siapin tissue sama mental saat membaca part ini. *eh canda. Maksudnya siapin kantong kresek, takut mual saat membaca part ini😁

#########

"Besok, aku harap kau berpenampilan cantik untukku. Ku tunggu kau di sampingku saat race akan dimulai," ucap Marc sebelum meninggalkan Levitha yang termangu akibat perkataannya. Apa maksud dari semua itu?...

Setelahnya, Marc meninggalkan Levitha yang penuh kebingungan akibat perkataannya itu.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Levitha memilih berjalan-jalan di luar pit sambil menunggu Marc. But wait, menunggu? Untuk apa ia menunggu Marc? Huh, kadang-kadang ia bingung dengan sikapnya sendiri. Ah, entahlah. Yang ia perlukan untuk saat ini adalah penyegaran di otaknya agar tak memikirkan perkataan Marc yang kelewat manis tadi.

Melewati pit Yamaha team yang disediakan khusus untuk Jorge Lorenzo, ia melihat Salwa ada di dalam sana. Dan dia sedang berbincang dengan Lorenzo. Apa yang mereka bicarakan?

Pertama, ia melihat mereka berbincang ketika ia sedang dalam perjalanan ke ruang Umbrella Girl miliknya. Dan kedua, ia melihat mereka sekarang dan melakukan kegiatan yang sama seperti sebelumnya yaitu berbincang.

Lama kelamaan, Levitha menjadi penasaran apa yang mereka bicarakan. Dan kenapa Salwa tidak datang untuk menyemangati Marc yang mendapat Pole Position di hari ini?

Kepalanya menjadi berdenyut karena memikirkan terlalu banyak hal. Ia pun memutuskan untuk kembali ke pit Honda team.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kembali memasuki pit Marc Marquez, Levitha melihat para kru team sedang mempersiapkan semua yang diperlukan untuk race day besok.

Melihat ke sekelilingnya, akhirnya ia menemukan Marc yang duduk di kursinya bersama Alex dan ... ah, pacar menyebalkannya, Vanny. Mereka bertiga -sebenarnya hanya Marc dan Alex- tengah asyik berbincang.

Levitha pun berjalan menuju mereka sambil tersenyum. Berhenti tepat di hadapan mereka, dan membuat mereka bertiga mendongak.

"Hi, Marc! Hi, Alex and Vanny!" sapa Levitha.

"Hi too, Levitha," sahut Alex. Dan kemudian, Marc pun menyahut.

"Hi too, cariño!" And blush... pipi Levitha seketika memerah.

'Aih, ada apa dengan diriku?' Batin Levitha.

Sedangkan Vanny, ia terlihat sebal dengan kejadian di depan matanya.

"Cih, perempuan genit," gerutu Vanny. Memilih untuk tidak mengambil pusing, Levitha pun tidak memperdulikan ucapan Vanny.

Melihat ada satu kursi kosong di antara Marc dan Alex, Levitha seketika merasa ingin duduk. "Bolehkah ... aku duduk di sana?" tanya Levitha malu-malu sambil menunjuk kursi tersebut.

"Silahkan!" jawab Alex. Akan tetapi, "Wait!" sela Marc. Marc bergeser ke kursi yang sebelumnya ditunjuk oleh Levitha. Setelah itu, ia menarik tangan Levitha untuk menduduki kursinya.

"Aish, kau ini. Selalu saja ingin menang banyak. Aku ingin berbicara dengan Levitha, tetapi kau duduk di tengah. Sama saja kalau kau menghalangi aku mengobrol dengannya," komentar Alex.

Marc menatap Alex sebentar sembari menaruh tangannya di pinggang Levitha. Sebut saja kalau Marc memeluknya. Dan itu membuat Levitha tidak bisa lagi menahan hawa panas di seluruh pipinya.

"You can talk with her like this." Marc menyenderkan punggungnya pada kursi dan memberi celah kepada Alex untuk menatap Levitha.

"Tetap saja rasanya beda. Lebih enak jika duduk bersebelahan." Lagi-lagi Alex berkomentar.

Vanny yang merasa diabaikan mendengus kesal.

"Sudahlah, babe. You can talk with her like that. Or, better you talk to me," sela Vanny ketika Marc hendak menyahut komentar Alex.

"She's right, Lex." Marc terkekeh karena merasa menang dalam adu keputusan.

Levitha hanya diam mendengarkan dua kakak beradik itu saling bersahutan. Tangan yang sampai saat ini masih berada di pinggangnya adalah penyebab ketidakfokusan dirinya terhadap lingkungan sekitar.

'Apa yang sebenarnya kau inginkan Marc? Kau yang memulai permainan ini, kau yang menyebabkanku terjerumus ke dalamnya, dan kau juga yang membuatku bingung atas keputusanku. Apakah aku harus tetap patuh terhadap peraturan permainanmu atau membiarkan hati ini yang menentukannya?' Batin Levitha.

Entah berapa lama sudah Levitha melamun, tetapi ia dikejutkan dengan keadaan sekitar yang sepi setelah sebuah suara menarik dirinya dari alam lamunannya.

"Kau ingin pulang?" Levitha menoleh ke arah tempat berasalnya suara tersebut.

"Ah, ya. Ini sudah sangat siang," sahut Levitha.

"Baiklah, kalau begitu ayo aku antarkan." Levitha mengangguk dan mengikuti Marc yang berjalan keluar pit.

Mereka berjalan berdampingan dengan ritme yang tenang. Sampai sebuah suara menginterupsi mereka, sehingga mereka berhenti untuk melihat asal suara tersebut.

Marc dan Levitha menemukan Salwa yang sedang duduk selonjoran dengan tangan memegang pergelangan kakinya. Sesekali meringis kesakitan.

Melihat kejadian itu, Marc dan Levitha menghampiri Salwa.

"What's wrong with your leg, Sal?" tanya Marc khawatir. Sedangkan Levitha memilih untuk diam dan memperhatikan mereka.

"Kaki aku terkilir gara-gara high heels sialan milikku," sahut Salwa sembari memegang pergelangan kakinya yang sedikit kemerah-merahan.

"Masih bisa berjalan?" Salwa menggeleng.

"Aku akan mengantarmu pulang," tukas Marc. Levitha sudah menduga kalau Marc akan berkata seperti itu.

Marc pun mengalungkan tangan Salwa ke belakang lehernya dan menaruh satu tangannya di pinggang Salwa untuk membantunya berdiri.

"Kita akan mengantar Salwa pulang terlebih dahulu lalu ..." Ucapan Marc terpotong saat Levitha menyelanya.

"Kau bisa mengantarkannya. Tidak usah pikirkan aku. Aku bisa pulang dengan taxi. Tetapi dia, dia perlu bantuanmu." Levitha tersenyum untuk menyakinkan bahwa ia baik-baik saja.

"Really?" Marc menatapnya khawatir. Ini adalah bagian yang paling tidak disukai oleh Levitha. Tatapan Marc yang tidak bisa dihindarinya.

"Yes. Dia memerlukanmu lebih dari aku." Rasanya Levitha tidak percaya bahwa kata-kata itu bisa keluar dari mulutnya.

"Baiklah, aku akan membawa Salwa pulang. Dan kau, hati-hati di jalan." Levitha mengangguk, setelahnya Marc langsung berlalu sambil membawa Salwa ke mobil.

'Sepertinya, membiarkan hati ini untuk menentukan adalah kesalahan besar. Rasa ini lebih sakit daripada memilih untuk mematuhi peraturan kejam dalam permainannya. Should I fight for this feeling?' Batin Levitha.

Menghela napas berat, mendongak ke langit, dan kembali menatap jalan di depan.
Levitha terdiam.

'Perjalanan masih jauh. Masih belum terlihat jawaban dari pertanyaanku. Tuhan, bolehkah aku bertanya sekali lagi? Am I wrong if I love him?'

Levitha pun memutuskan untuk pulang.

Part ini selesaiiii...
Gak banyak bacot, vomment yaaaaa!!!

Ririn😁

Am I Wrong If I Love You ? (Marc Marquez FanFiction) (DISCONTINUED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang