Bab 5

32 1 0
                                    


"Edan!" teriak Dinda gemas.

Zie Zie menyesap kopinya pelan. Rasa hangat sensasi kopi memenuhi tenggorokannya. Dibiarkanmya temannya itu (Zie Zie tidak pernah menganggap sahabat) mengomel panjang pendek. Terserah.

Loewy Cafe. Dulu Dinda pernah berseloroh, kalau mau cari pacar bule atau suami bule, mampir aja ke sini. Dan tentu saja sekarang Dinda sudah mendapat pacar bule, orang kanada yang berkantor di daerah Mega Kuningan sini. Memang banyak bule bertebaran di kawasan ini. Mau yang ganteng, tinggi langsing kaya model atau juga type-type pria-pria mapan di atas usia empat puluh. Tapi Zie Zie ke sini cuma datang buat bertemu Dinda. Bukan buat mencari pacar atau calon suami. Bagi Zie Zie semua itu hanya sampah.

"Jadi dia kamu pecat?" tanya Dinda dengan mata membelalak.

"Ya."

"Busyet deh Zie. Dia kan programmer kelas wahid?"

"So?" tanya Zie Zie dingin.

Dinda hanya bisa geleng kepala. Dalam hati bergidik ngeri. Dinda tahu wanita di hadapannya ini, wanita yang sering dibicarakan banyak orang dan sering tampil di majalah bisnis ini adalah wanita bertangan besi versi Indonesia. Tegas. Dingin. Komit sama pekerjaannya. Jangan heran di saat semua teman Zie Zie masih berjibaku mengejar karir, Zie Zie sudah menduduki salah satu posisi puncak sebagai Chief Financial Officer di PT Wirdana perusahaan kelas dunia yang punya head office di Jerman sana. Semua kesuksesan ini seolah membuat Zie Zie tidak punya hati nurani lagi. Retain atau trash, itu prinsipnya. Dinda menarik nafas getir.

Dilayangkannya pandangan pada seluruh penjuru kafe. Jam-jam segini, bule-bule banyak yang dinner di sini. Dinda suka sensasi berada di kawasan ini. Oakwood. Starbucks. Berasa di Eropa.

Mata Dinda mulai searching. Iseng sebenarnya karena toh sekarang dia sudah punya pacar bule juga. Matanya tertuju pada seseorang. Seseorang yang sedang berbincang dengan orang lain. Tumben dia ke sini.

"Bar! Bara!" panggil Dinda.

Tapi pembicaraan itu begitu asyiknya (atau seriusnya) sampai orang yang dipanggilnya tidak mengindahkan panggilannya.

"So, you are not working at Enigmatic anymore?" tanya Mark, temannya yang dikenalnya waktu sedang bungi jumping di Finland sana dan sekarang bertugas di Jakarta sebagai staff Kedubes Inggris.

"Yup."

"Interest joint with me?" tanya Mark.

"Joint apaan? Lo tahu kan gaya slengekan gue begini nggak cocok jadi diplomat."

Mark tertawa. "Bukan itu. Gue punya program mengajar komputer di Bogor."

Ah mengajar lagi. Memangnya pangsa pasar untuk programmer kaya gue sudah tertutup apa ya.

"Ini gue lagi mengajar komputer juga di PT. Mugee."

"Tapi nggak tiap hari kan?" tanya Mark.

"Ya nggaklah. Gue kan programmer bukan guru."

Mark tertawa.

"Bar.......Bara! Euy!" teriak seseorang. Bara celingukan. Di ujung sana dilihatnya Dinda melambaikan tangannya.

Dinda! Ngapain tuh orang di sini? Bukannya sudah sukses dapet bule Kanada. Eit Kanada. Si Maple Lady apa ketularan Dinda ya sampai mengidolakan sekali si daun maple.

Bara mendekat ke tempat Dinda duduk. Dibiarkannya Mark yang masih menuntaskan makan malamnya.

"Ngapain lo di sini Bara? Tumben dinner di tempat beginian? Biasanya kan warteg," kata Dinda cekikikan.

Maple LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang