Langit jingga sore itu terasa hangat. Sinarnya yang berwarna jingga sedikit menyilaukan. Jung-Kook sedang menikmati kesendiriannya di ruang kerja. Dari tempat itu ia bisa mendengar dengan jelas denting alat masak yang beradu saat ibunya berkutat dengan masakannya di dapur. Ayah sudah pulang sekitar 15 menit yang lalu. Ia sempat menyapa ayah sebelum akhirnya kembali berkutat dengan buku partitur miliknya.
Jung-Kook lebih suka bekerja seperti ini. Bebas tanpa ikatan. Ia bisa menikmati waktunya bersama keluarganya. Ia seringkali menghabiskan waktu untuk mencorat-coret buku partitur dengan deretan not balok atau not angka. Sesekali ia juga akan menggunakan tuts yang berjajar rapi di atas piano untuk memeriksa. Apakah nada yang ia susun membentuk harmoni yang indah atau masih memerlukan perbaikan agar tercipta sebuah harmoni.
Jin sering kali akan membantunya. Tapi, jika sudah mendapatkan panggilan telefon dari Myung-Hee. Secepat kilat ia akan pergi dan memilih menghabiskan waktunya untuk menelfon sang kekasih yang tinggal jauh di Jepang.
Iri. Tentu saja ia iri dengan hal yang Jin miliki. Apa yang Jung-Kook inginkan ada dalam hidup Jin. Sukses dalam pendidikan dan pekerjaan, orang tua yang menyayanginya, juga seorang gadis yang teramat mencintainya bahkan keduanya akan segera menikah. Tapi, Jung-Kook tidak seserakah itu. Itu cukup tahu diri. Di keluarga Jin ia merasakan jauh lebih. Keluarga Jin membuatnya nyaman dan tidak memaksanya melakukan hal yang tak disukainya. Mereka mempercayakan Jung-Kook untuk mengambil keputusan atas hidupnya asal ia bisa bertanggungjawab dengan keputusannya.
"Putraku sayang, tinggalkan kertas-kertasmu dan segera makan. Ibu membuatkan makanan kesukaanmu." Kata ibu sambil membereskan kertas partitur yang berserakan di lantai ruang kerja.
Jung-Kook segera menghampiri ibunya dan membantu membereskan kekacauan yang ia sebabkan. "Ibu, aku akan membereskan ini dan segera menemuimu di meja makan. Tunggu sebentar." Katanya sambil merebut kertas-kertas yang berada di tangan ibunya.
"Jin menelfon, ia takkan makan malam di rumah. Myung-Hee mengajak makan malam di rumahnya." Jelas ibu. "Ia berpesan kita harus segera makan dan tidak perlu menunggunya pulang."
"Begitu." Jung-Kook terlihat kecewa. "Aku akan makan dengan ibu. Jangan khawatir, akan kuhabiskan semuanya." Katanya kemudian meletakkan kertas-kertas itu dan melingkarkan lengannya di bahu sang ibu.
*****
Myung-Hee dan Jin sedang berkutat dengan bahan makanan dan alat masak mereka masing-masing. Setelah berbelanja dan berjalan-jalan seharian, mereka pun memutuskan menutup hari itu dengan makan malam romantis dengan masakan buatan mereka.
"Kau sudah mengatur meja?." Tanya Jin sambil mengaduk tumisan daging yang sedang ia masak di atas teflon. Ia memasukkan kecap asin dan bumbu dengan cekatan kemudian kembali mengaduk potongan daging sapi yang hampir matang itu.
Myung-Hee mengangguk kemudian melepaskan apron yang ia kenakan. "Sudah selesai. Tinggal menunggu tumisan yang sedang kau buat." Katanya dengan tidak sabar.
Sambil mengaduk-aduk tumisan daging yang berwarna kecoklatan, Jin sesekali mencuri pandang ke arah Myung-Hee. Gadis dengan rambut panjang terurai, kulit seputih susu, juga bibir ceri yang senantiasa mengukir senyum ceria itu benar-benar menghipnotisnya. Sesekali Jin tersenyum kecil mengingat betapa manjanya Myung-hee saat mereka berdua seperti saat ini.
"Jin~." Panggil Myung-Hee sambil melingkarkan tangannya dengan manja di perut Jin. Memeluk Jin dari belakang saat Jin menyelesaikan masakannya.
Jin tersenyum. Gadis ini sangat manja. Dan Jin sangat menyukainya. Dengan cekatan ia mematikan kompor. "Kenapa?. Kau sudah lapar?. Ini hampir selesai." Balasnya kemudian meletakkan tumis daging buatannya di atas piring saji.
Myung-Hee masih memeluk Jin hingga pemuda itu berbalik kemudian menatapnya. Membawa gadis itu dalam pelukan. "Sedang ingin mengatakan sesuatu?." Tanya Jin lagi.
Jin dengan lembut mengusap kepala Myung-Hee. "Katakan saja. Aku akan mendengarkannya."
"Kau berjanji tidak akan marah dan mau menuruti permintaanku?."
Sejenak Jin berpikir. Apa yang diinginkan kekasihnya hingga takut membuat Jin marah?. Apapun itu tentu merupakan sesuatu yang menganggu pikiran Myung-Hee saat ini. Jika memungkinkan, Jin tentu akan mengabulkan apapun permintaan yang di ajukan kekasihnya.
"Katakan saja. Aku berjanji tak akan marah." Katanya.
Myung-hee dengan lembut menjauhkan tubuhnya dari pelukan Jin. Menatap pemuda yang sangat ia sayangi itu dengan ragu. Tapi matanya tidak bisa berbohong, ia memang harus segera menyelesaikan masalah ini.
"Jin, aku ingin mencarinya."
Jin menatap Myung-Hee dengan bimbang. Akhirnya gadis itu mengatakannya juga. Ia sudah bisa mengira jika suatu saat Myung-Hee mengatakannya. Tapi ia tak menyangka bahwa gadis itu memintanya saat ini. Saat pernikahan mereka tinggal menunggu hitungan bulan.
"Aku lapar. Bisakah kita membahas ini setelah selesai makan?."
Myung-Hee tampak kecewa. Ia merasa waktunya memang tidak tepat saat ini. Jin tentu saja terkejut dengan perkataannya tapi Jin tahu betul masa lalunya. Jadi apa lagi yang harus di tutupi?. Toh mereka tidak mungkin bersama karena Jin akan menikah dengan Myung-Hee.
*****
Malam terasa sangat sepi. Langit malam itu cukup berawan sehingga bintang dan bulan tertutupi olehnya. Rasanya memang terlalu sunyi. Bahkan sangat tidak nyaman saat ini. Setelah beberapa waktu yang lalu Jin meninggalkan rumahnya dengan muram tanpa ucapan perpisahan manis seperti biasanya. Kecewa tentu saja. Jin tidak pernah bersikap seperti itu sebelumnya.
Myung-Hee mengamati sekeliling kamarnya. Tangannya perlahan menggapai sebuah foto berbingkai warna silver yang tertata rapi di dekat lampu tidur. Potret kemesraannya dan Jin di hari pertunangan mereka. Jin memeluknya dari belakang dengan mesra. Keduanya nampak sangat bahagia dalam foto itu.
Pria dengan iris mata sehitam batu obsidian itu. Juga wajah tampan diatas rata-rata juga sikap manis yang selalu ia tunjukkan. Bagaimana mungkin Myung-Hee bisa membuatnya kecewa dengan mengatakan hal itu.
"Apa aku terlalu berlebihan meminta Jin membantuku?." Runtuknya menyesal.
"Jin pasti sangat kecewa padaku." Gumamnya. "Semoga dia bisa memahami."
Myung-Hee merebahkan tubuhnya dengan kasar di atas tempat tidur. Matanya menatap langit-langit seolah bayangan kejadian saat makan malam tadi terulang kembali di depan mata.
Ia ingin menyelesaikan urusan yang belum selesai di antara ia dan masa lalunya. Jika tanpa seijin Jin, ia mungkin tidak bisa dengan tenang melakukan hal itu. Hanya saja sungguh di sayangkan, ia malah melukai Jin saat mengatakan niatnya.
Myung-Hee meraih ponsel yang tergeletak di dekatnya. Menekan speed dial nomor 2 yang langsung menghubungkannya dengan Jin. Ia membutuhkan pemuda itu saat ini. Ia hanya bisa bicara padanya sekalipun ia tahu Jin juga pasti sedang banyak pikiran saat ini.
"Jin, apa kau sudah tidur?." Tanyanya begitu mendengar suara Jin menjawab telfonnya.
"Jin aku merasa tidak nyaman seperti ini. Bisakah kau menginap saja di rumahku?. Aku takut sendirian." Pintanya.Wajah Myung-Hee menunjukkan ekspresi lega mendengan jawaban Jin dari ujung telfon. Segera setelah mendapatkan jawaban ia mengucapkan salam kemudian memutus sambungan telfonnya.
Jika Jin ingin marah padanya atau apapun itu lebih baik sekarang saja. Menyelesaikan masalah mereka berdua lebih cepat maka lebih baik kedepannya. Myung-Hee memang tidak suka menyimpan masalah atau lari dari masalah itu. Lebih baik untuk menghadapinya kemudian ia bisa tidur dengan nyenyak.
Continue
Note : Semoga anda terhibur... ^-^
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Melody [End]
FanfictionCinta pertama sering kali tidak berakhir bahagia. Perasaan pada cinta pertama juga sering kali menghilang setelah bertemu dengan cinta yang baru. Tapi, Kenangan cinta pertama takkan hilang begitu saja. Ada kalanya kau akan mengenangnya bahkan mencar...