Nafas Bumi tersengal. Selepas mendapat data-data Mentari, dia bagai orang gila mencari alamat wanita itu. Mendatangi rumah-nya, tapi nihil, rumah wanita itu kosong. Rasa frustasi melanda Bumi dengan cepat, membuatnya nyaris putus asa. Sampai dia teringat, wanita itu pasti ada di sana, di perusahaan milik-nya. Dan teryata, dirinya benar, walaupun harus menerobos paksa para penjaga yang mencoba menghalanginya masuk, semuanya terbayar begitu melihat wanita itu terlonjak kaget karena kehadirannya.
Bumi berjalan mendekati wanita itu. Tangannya gemetar memegang copyan berkas-berkas yang didapatnya dari sekolah tadi. Penampilan wanita itu tidak banyak berubah, hanya terlihat lebih elegan dengan balutan bloush kerja warna biru tua, sebuah slayer warna pink soft melilit leher-nya yang jenjang, membuat wajah baby face yang putih pias itu seperti baru melihat hantu.
"Brak!" Bumi melempar sebuah map dengan kencang di depan meja wanita itu.
"Apa makusdnya?" desis Bumi marah, memandang wajah wanita yang masih terdiam mematung.
"Ma, maaf Bu Bulan ... kami ...," seorang wanita muda yang mencegah Bumi tadi, berjalan menghampiri wanita berwajah baby face itu, wanita muda itu terlihat serba salah, takut kena marah.
"Pak, anda tidak boleh masuk!" dua buah tangan menarik kedua tangan Bumi, memaksanya keluar dari ruangan itu.
Bumi berbalik, menatap bengis pada dua laki-laki berseragam satpam yang mencoba mengeluarkannya dari ruangan. Bumi menarik tangannya dengan kasar, membuat kedua laki-laki itu terhempas darinya. "Jangan gangu saya!"
Kedua laki-laki itu baru hendak bangun dan meraih Bumi, saat sebuah suara menghentikan mereka.
"Cukup! Biarkan laki-laki itu di sini," Bulan berusaha menenangkan debaran jantungnya, tangannya mecengkram peganngan kursinya dengan kencang.
Bumi tersenyum meremehka pada kedua laki-laki itu, kemudian kembali memandang Bulan.
"Tinggalkan kami Sofi. Biarkan dia di sini," Bulan menatap ke arah sekretarisnya, kemudian menunjuk ke arah Bumi.
"Ta, tapi ...," gadis muda bernama Sofi itu terlihat ragu.
Bulan mengangguk, menyakinkan Sofi. "Tinggalkan saja kami."
Sofi melihat ke arah Bulan, kemudian ke arah Bumi. Menimbang-nimbang sejenak. "Baiklah bu, kalau ibu perlu apa-apa saya ada di depan," ucap Sofi pada Bulan, mengisyaratkan dia siap membantu Bulan kalau terjadi sesuatu.
Bulan mengangguk, mengisyaratkan berterima kasih pada Sofi lewat sorot matanya.
Sofi berjalan keluar ruangan bersama kedua satpam yang dari tadi hanya bisa memperhatikan.
Bulan mendesah, berusaha tak memperhatikan emosinya. Dia menatap Bumi. "Hallo, Bumi."
Bumi mendekat, tersenyum memcemooh. "Kau memang pandai bersandiwara yah," senyum sinis tersungging di wajahnya.
Bulan menatap lekat Bumi. Laki-laki itu tampak lebih dewasa dan matang dari dulu. Dulu, masih ada aura remaja di wajahnya. Saat ini, hanya aura maskulin yang terlihat pada laki-laki itu. "Darimana kamu tahu aku di sini?" ucap Bulan pelan, berusaha mengendalikan semua emosinya. Setelah semua itu, kenapa dia masih sangat berpengaruh padaku? batin Bulan getir.
"Cih, aku sudah mencari ke rumahmu, tapi kau tak ada. Dan setahuku, perusahaan ini masih milikmu bukan?" jawab Bumi sinis.
Bulan tercengang. Keputusannya untuk menitipkan Mentari pada tantenya tadi pagi, ternyata benar. Apa jadinya kalau Bumi bertemu Mentari? Bulan berusaha tetap tenang. "Dan dari mana kamu tahu rumahku?"

YOU ARE READING
HALF SOUL [ REPOST ]
RomanceJatuh cinta itu egois, itu yang dirasakan Bulan saat kali pertama jatuh cinta. Dia tidak peduli harus membuat dunia Bumi yang tenang menjadi porak-poranda. Cinta ibarat candu yang membuatnya buta hanya untuk bersama Bumi. Hingga, sebuah kejadi...