Matahari beranjak menuju peraduannya, membiarkan senja menggantikan sebelum malam menyapa pertiwi. Bulan berjalan gontai memasuki halaman rumahnya, alih-alih menjemput Mentari di rumah umi Heida, dia malah mengirimkan pesan singkat meminta supir pribadinya menjemput Tari di rumah singgah. Sesuatu yang hampir tak pernah dilakukannya, meminta orang lain menjemput putrinya.
Bulan berjalan menuju kamar, menarik sebuah celana panjang dan kaos berlengan pendek dari lemari pakaian, mengganti bajunya perlahan. Dilihat bayangan dirinya di cermin, penampilannya tidak banyak berubah, banyak yang bilang wajahnya baby face. Bahkan tidak jarang yang kaget mengetahui kalau Mentari adalah putrinya, penampilan memang menipu.
Bulan berjalan keluar kamar, menuju ruang tengah luas yang kini tertasa sangat sepi. Rumah ini terlalu luas, apalagi tanpa Mentari. Walau rumahnya dulu –saat menikah dengan Bumi- jauh lebih luas, rumah itu adalah rumah utama keluarga Bulan, yang hampir dibiarkan kosong selama dia tinggal di Inggris. Bulan duduk di sofa, memandang kosong ke depan televisi. Tangannya meraih tombol power remote control di depan meja, menyalakannya sejenak, memuta-mutar saluran acara, yang tak berhasil mengalihkan pikirannya tentang kejadian tadi.
Dirinya terlalu lelah, bertemu dengan Bumi seolah menguras semua energi kehidupan. Dia tahu dengan pasti, bukan salah Tegar bercanda seperti itu, bukan salah Tegar kalau Bumi memang sudah membencinya. Walau akhirnya Tegar meminta maaf habis-habisan pada Bulan. Semuanya tidak mengubah apa-apa. Bumi membencinya, dia tahu itu, walau tidak bisa dipungkiri kalau hatinya kian berharap ketika melihat Bumi.
"Brum, brum, brum." Suara deru motor memasuki halaman mengusik lamunan Bulan.
Bulan bangkit dari sofa, berjalan ke pintu depan rumah. Dari balik jendela dia mengintip keluar. Saat itu, jantungnya seolah berhenti berdetak, sosok itu turun bersama putrinya, berjalan masuk ke beranda depan rumah.
"Ting, Tong!"
Jantung Bulan berdegub, tangannya gemetar membuka knop pintu.
"Bunda," tawa Mentari menyambut Bulan di depan pintu, membuat Bulan hanya bisa menghadiahkan senyum tipis pada putrinya yang tengah memeluknya singkat.
Tari tersenyum, memamerkan senyum malaikatnya, "Kenapa Bunda malah minta pak Dani jemput? Biasanya Bunda yang jemput Tari. Aneh," Bola mata tari berputar-putar, dengan kedua tanganyan bertolak pinggang, baju birunya penuh dengan debu dan noda tanah.
"Oh, tadi Bunda ada urusan sayang," hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Bulan, serba salah melihat sekilas wajah Bumi yang datar.
"Sama Om Tegar?" Mata Mentari penuh selidik. Bulan mengerutkan dahi, belum sempat dia menjawab, mulut putrinya kembali terbuka. "Soalnya Om Tegar juga tadi udah ngga ada, padahal Tari mau ngajak main bola sama Ayah juga."
"Bukan kok sayang, trus kok kamu nggak pulang sama pak Dani?"
Tari tersenyum lebar, kepalanya bergoyang sedikit ke kanan dan kiri, membuatnya terlihat lucu. "Tari mau dibonceng ayah," Pandangan Tari teralih pada Bumi yang hanya bisa tersenyum kikuk, mendapati Bulan juga kini ikut memandangnya.
"Ayo ayah masuk," Tari menarik tangan Bumi masuk ke dalam ruang tamu. Tak menghiraukan wajah Bulan yang memandangnya penuh protes, atau wajah Bumi yang serba salah. Dia malah mendudukkan Bumi ke atas sofa.
Bulan ikut serba salah mengikuti Tari yang menyeret-nyeret Bumi yang sama sekali tidak punya kesempatan untuk protes. "Tari, kasihankan Ayahnya di tarik-tarik begitu," ucap Bulan, bingung mau bereaksi seperti apa, terlebih saat melihat wajah Bumi yang sama-sama serba salah.
"Habis Ayah diem aja di pintu," protes Tari, kembali memandang ke Bumi. "Ayah makan di sini yah, Bunda jago masak loh. Eh, tapi ada ngga bahannya Nda?" ekor kuncir kuda Tari sudah tak berbentuk, kepalanya menoleh ke arah Bulan dengan tatapan penuh pengaharapan; 'ada yah Bunda' sorot matanya membisikan kalimat itu pada Bulan.
YOU ARE READING
HALF SOUL [ REPOST ]
Roman d'amourJatuh cinta itu egois, itu yang dirasakan Bulan saat kali pertama jatuh cinta. Dia tidak peduli harus membuat dunia Bumi yang tenang menjadi porak-poranda. Cinta ibarat candu yang membuatnya buta hanya untuk bersama Bumi. Hingga, sebuah kejadi...