Alunan musik Jazz mengalun merdu, berpadu dengan gemericik yang air jatuh ke kolam. Puluhan lilin menghiasi setiap sudut ruangan, berdampingan dengan bunga-bunga mawar putih yang disusun apik dengan wangi yang menggoda, memberikan sensasi menenangkan dan nyaman.
Sepasang kursi di tengah gazebo, dihiasi dengan rangkaian mawar pink, mengapit sebuah meja yang telah dihias dengan beberapa lilin tinggi, dan buket bunga mawar putih. Hidangan karya terbaik sang koki yang dipermanis, dengan wine terbaik, membuat setiap orang yang memandangnya pasti berdecak kagum seksaligus iri pada pemandangan itu.
Pemandangan sempurna, untuk dua pasang manusia yang memiliki wajah yang sama-sama rupawan. Sang laki-laki mengenakan setelen terbaiknya, membuat semua wanita yang melihatnya berdecak kagum melihat kesempurnaan ciptaan Tuhan pada diri laki-laki itu. Sementara sang wanita, terbalut anggun dengan gaun malam warna pink soft, memperlihatkan kecantikannya bak bidadari yang tersesat di dunia.
Sang laki-laki memandang sang wanita dengan takjub, memberikan tatapan penuh pemujaan, moment ini sudah di tunggu olehnya hampir lima tahun terakhir. Nekad memberanikan dirinya mengundang sang wanita malam ini, nekad mengadu nasibnya di salah satu restoran mewah di Jakarta.
Sang wanita? Menatap laki-laki itu dengan hati was-was, dia tahu suatu saat moment ini mungkin akan terjadi. Tapi sungguh, saat moment itu benar-benar terjadi, dia tidak tahu bagaimana harus bersikap saat ini, pada laki-laki yang telah dengan setia di sampingnya selama lima tahun ini.
"Bulan," laki-laki itu menatap sang wanita. Menggenggam erat jemari sang wanita, matanya menatap lurus ke arah wanita itu.
Bulan merasakan jantungnya berdegup tak karuan. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa aku tidak sadar waktu dia menjemputku malam ini? Apa yang harus aku lakukan? Bulan hanya bisa menatap laki-laki itu dalam diam. Laki-laki yang sudah menjadi sahabatnya hampir lima tahun terakhir ini.
"Aku tahu kamu adalah wanita yang sangat mandiri, dengan semua yang telah terjadi padamu. Aku mengagumimu, semua tentang dirimu. Maukah kamu mengganti nama hubungan kita? Aku ingin menjadikan kamu bidadari di rumahku, bidadari di hatiku, maukah kamu menikah denganku?" Mata laki-laki itu menatap Bulan dalam, jantungnya berdegup kencang, cemas menunggu jawaban dari sang pujaan hatinya.
Bulan terdiam, berperang dengan hatinya. Laki-laki ini akan jadi suami sempurna untuknya, lebih dari sempurna. Mereka adalah pasangan yang bisa melengkapi satu sama lain. Meraka adalah pasangan sempurna di bidang apapun. Tapi mengapa hatinya berkata lain? Hatinya malah memikirkan 'dia' yang entah ke mana sudah menghilang.
Tangan Bulan gemetar, memandang wajah laki-laki yang memandangnya dengan penuh harap. Perlahan Bulan melepaskan tangan laki-laki itu, menatap sahabat yang sangat di sayanginnya, "Maaf Bintang, aku tak bisa."
Wajah laki-laki bernama Bintang sempurna pias.
... ... ...
Pesta pernikahan itu sederhana, sangat sederhana. Tapi Laki-laki itu tertawa, wajahnya tersenyum sumringah, menyambut semua tamu, di sampingnya seorang wanita cantik berkerudung berbalutkan kebaya pengantin sederhana. Semua yang hadir juga tahu mereka adalah pasangan sempurna, begitu saling melengkapi satu sama lain.
Semua juga tahu, tapi tidak dengan hati Bulan. Bulan memandang laki-laki itu dengan tatapan sedih. Seharusnya dia senang, ini keputusan terbaiknya, seharusnya dia senang. Tapi mengapa hatinya sungguh tak rela? Mengapa dia merasa seolah hal ini salah? Laki-laki itu jarang tersenyum saat bersamanya, bahkan saat pernikahan megah mereka dulu. Dulu ... hanya Bulan yang tersenyum bahagia, sedangkan laki-laki itu bak patung hidup di sampingnya. Patung yang dibelinya.
"Buuuuuuuuuuuumi ...," Bulan terlonjak bangun. Merasakan sesak di dadanya, sudah lama dia tidak bermimpi lagi tentang pernikahan itu, pernikahan yang membuat dia kehilangan setengah jiwanya, membuat jiwanya tak pernah utuh lagi.
"Bunda!" seorang gadis kecil berwajah bak malaikat muncul dari balik pintu kamar Bulan, memandang Bulan dengan tatapan sedih.
Bulan menjulurkan tangannya pada malaikat kecilnya itu, "Sini sayang. Bunda bangunin kamu yah?"
Gadis itu berjalan ke dekapan sang bunda, memeluk budanya erat. "Bunda, mimpi Ayah yah?"
Bulan merasa hatinya teriris pilu, dibelainya rambut ikal putri semata wayangnya itu. "Ya, sayang. Maaf yah kamu jadi bangun."
Gadis kecil itu menggeleng, membenamkan wajahnya di pelukan sang bunda. "Aku nggak mau Bunda sedih," gadis itu berumur tujuh tahun ini menyeka air mata sang bunda.
"Bunda nggak sedih kok, kan Bunda punya Mentari." Bulan mengelus sayang wajah putrinya.
"Tadi Bunda pergi sama om Bintang?" Mentari memandang wajah sang bunda.
Bulan mengangguk. Anaknya selalu jadi anak yang cerdas.
"Tari, seneng kalau Bunda pergi sama Om Intang. Apa nggak bisa aja kalau om Intang yang jadi ayahnya Tari?" Mentari memandang wajah bundanya penuh harap.
Bulan mendesah, dia tahu Bintang selalu bisa membuat nyaman anaknya itu. Tapi ... apa dia harus berbohong? Berbohong pada hatinya? Ya Tuhan, urusan ini rumit.
"Bunda ...,"
"Ya," Bulan menatap wajah Mentari. Wajah anaknya itu terlihat ragu-ragu."Apa sayang?"
Mentari salah tingkah, bingung mengutarakan apa yang dia rasakan, perlahan membuka mulutnya, tapi menutupnya kembali. Dia melepaskan pelukannya dari sang bunda.
Bulan menatap anaknya dengan bingung. Ada apa dengan putri cantiknya ini? "Tari kenapa?"
"Emm ...," Mentari memandang wajah bundanya. "Nda nggak akan marah kan?" Mentari memandang wajah bundanya takut-takut.
Bulan mengernyitkan alisnya. Gadis kecilnya ini jarang membuatnya marah, gadis kecilnya ini bahkan lebih dewasa dari pada umurnya sendiri. Kalau gadis kecilnya ini sampai bersikap seperti ini, pasti ada sesuatu yang salah? "Jangan buat Nda takut, Tari. Kenapa?"
Tari menunduk, memainkan baju tidurnya, "Nda tadi ...,"
"Apa sayang?" Bulan makin penasaran.
Tari mengangkat wajahnya, menatap wajah bundanya dengan mantap. "Tadi ... Tari ngeliat Ayah."
Mata Bulan melebar, untuk sesaat dia merasakan waktunya seolah terhenti. Bayangan-bayangan wajah marah laki-laki itu memenuhi benaknya, membuat dadanya sesak.
... ... ...
YOU ARE READING
HALF SOUL [ REPOST ]
RomanceJatuh cinta itu egois, itu yang dirasakan Bulan saat kali pertama jatuh cinta. Dia tidak peduli harus membuat dunia Bumi yang tenang menjadi porak-poranda. Cinta ibarat candu yang membuatnya buta hanya untuk bersama Bumi. Hingga, sebuah kejadi...