PART 10

6.7K 725 82
                                    

"Mau kugantiin nyetir?" tanya Bulan akhirnya, makin cemas melihat Bumi yang menyetir sambil melamun sejak pulang dari restoran. Tingkah Bumi sudah aneh sejak mereka tiba di restoran, seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu. Terlebih saat dia bertemu dengan pemiliknya. Dari raut wajah keduanya, Bulan bisa menyimpulkan kalau mereka berdua saling mengenal.

"Hah! apa?" Bumi menoleh ke arah Bulan yang duduk di sebelahnya, seluruh pikirannya tentang pertemuan tak terduganya tadi, buyar seketika. Bulan menghela napas. "Demi Allah, Bumi. Kalau kamu berencana balas dendam padaku, dengan cara nabrakin mobil ini. Aku minta jangan bawa-bawa Mentari ya, putriku terlalu berharga, mending sekarang kamu nepi, biar aku yang nyetir deh," ucap Bulan dengan nada sedikit ketus, berusaha menutupi kalau dirinya peduli dengan kondisi Bumi. Kalau aku memperlihatkan aku peduli, bisa-bisa dia berpikir yang bukan-bukan dan malah menuduhku yang macam-macam, pikir Bulan.

Bumi gelagapan, matanya kembali fokus pada jalan raya. Dia tersenyum canggung, sama sekali tidak tersinggung dengan kata-kata Bulan. "Ma, maaf. Biar aku yang nyetir, udah deket juga. Aku sama sekali nggak akan ngebahayain Mentari, dia itu juga putriku. Mana mungkin aku ngelakuin hal konyol macam itu." Bumi memandang Bulan sekilas, yang hanya mengangkat bahu dengan pandangan tak acuh mendengar jawabannya.

Bumi menghela napas. Sebenci apa pun dia pada Bulan, Bulan adalah ibu Mentari, mana mungkin dia akan melakukan hal seperti itu. Diliriknya sekilas kaca spion dalam mobil, tersenyum tipis pada putrinya yang tengah tertidur pulas di bangku belakang. Putri kecilnya hari ini begitu aktif, tak heran dia tertidur karena kelelahan.

"Kamu kenal pemilik restoran itu kan?" tanya Bulan tiba-tiba, membuat Bumi mengalihkan perhatian dari putrinya pada Bulan. "Iya, kan?" Bulan menatapnya penuh selidik.

Bumi terdiam, mencengkeram kemudi mobil dengan kencang. Dia harus menjawab apa? Tunggu, kalau Bulan sampai bertanya seperti itu padanya, itu berarti Bulan memang tidak tahu-menahu soal pria itu, entah mengapa hal itu membuat Bumi sedikit lega sekaligus kecewa. Kecewa, karena itu berarti Bulan benar-benar tidak mencari tahu tentang kabar dirinya selepas perceraian mereka, dan entah mengapa hal itu membuat hatinya hampa. "Ya."

"Hmm," gumam Bulan pelan, mengalihkan pandangannya ke jalan raya. Bumi memerhatikannya sejenak, mengernyitkan dahinya. Aneh, kenapa dia tidak bertanya lebih lanjut lagi? pikir Bumi bingung, terlebih Bulan terus diam selama sisa perjalanan pulang.

"Terima kasih," ucap Bulan tulus, begitu melihat wajah putrinya yang telah terlelap di kasurnya, sama sekali tidak terbangun waktu Bumi menggendongnya dari mobil sampai ke kamar.

"Hmm?" Bumi memandang Bulan sejenak, untuk pertama kali sejak pertemuan mereka kembali, Bumi bisa melihat langsung mata yang memancarkan begitu besar cinta Bulan pada putrinya, sorot mata penuh cinta yang juga dimiliki oleh ibunya–juga yang sangat dikaguminya. "Untuk?"

Bulan mengalihkan pandangan matanya dari Bumi, sedikit grogi saat Bumi memandangnya dengan tatapan penuh selidik. "Untuk jadi Ayah yang baik bagi Tari. Terima kasih, dia bahagia sekali."

"Hanya itu?" mata Bumi menyipit, berusaha melihat ekspresi Bulan yang lain. Dulu, di luar kebenciannya pada Bulan, dia sering secara tidak sengaja melihat ekspresi-ekspresi Bulan yang menurutnya sangat menarik. Bulan adalah wanita terunik yang pernah dia temui, dan harus diakui, dia rindu semua ekspresi-ekspresi itu. Bumi, kau kenapa sih? Tenang, ini masih Bulan yang sama seperti Bulan yang dulu.

Bulan memandang Bumi bingung, kedua alisnya membentuk huruf V membuat Bumi menahan tawa. "Memangnya apa lagi?"

Bumi mengangkat bahu, berusaha menahan tawa, geli sendiri melihat tingkah Bulan yang terkadang masih sangat polos. Sama sekali tidak mencerminkan seorang ibu. "Nggak, mungkin masih ada yang ingin kamu bilang."

HALF SOUL [ REPOST ]Where stories live. Discover now