PART 4

5.6K 783 75
                                    


"Don't be kidding me, semuanya sudah terjadi." kesadaran Bulan kembali, menarik tubuhnya dari dekapan Bumi. Berusaha berdiri dengan sisa-sisa tenagannya. "Saat itu kondisi kita sama-sama tidak tahu."

Bumi mengernyitkan alisnya.

Bulan membuka mulut perlahan, berusaha setenang mungkin."Aku tidak mengerti bagaimana hukumnya. Tapi secara hukum kita tidak terikat pernikahan lagi. Kumohon biarkan saja seperti ini. ini lebih baik untuk semuanya."

Bumi terdiam sejenak, menatap wajah Bulan lekat-lekat, sorot mata menuduh terpancar dengan jelas di wajahnya. "Apa ini usaha kau untuk kabur dariku?"

Bulan terperangah. Apa sih yang dipikirkan Bumi? "Terserah apa yang mau katakan. Apa sebenarnya maumu?"

Bumi tersenyum simpul. Membuat perut Bulan mual. Apa yang kamu pikirkan Bulan? Dia bukan milikmu.

"Aku ingin bertemu Mentari," ucap Bumi pelan, yang langsung membuat Bulan menatapnya dengan kaget.

... ... ...

Bulan melirik sekilas pada putrinya, putrinya tengah memandang keluar jendela dari kursi mobil mereka. Reaksi Mentari begitu diluar dugaannya saat Bulan memberitahu tentang ayah-nya semalam.

Putri kecilnya sempat terperangah kaget, namun senyum lebarnya segera merekah. Dengan antusias menyambut pertemuanya dengan Bumi.

Bulan tersenyum simpul. Walau dia sendiri ragu untuk mempertemukan Bumi dan Tari. Tapi senyum anaknya cukup untuk membuat dirinya yakin. Bagaimanapun anaknya berhak tahu bagaimana ayahnya yang sesungguhnya, bukan hanya dari cerita Bulan.

Mobil yang dikendarai Bulan menepi, beranjak memasuki sebuah restoran keluarga yang tak terlihat terlalu ramai. Bulan turun dari mobilnya, menggandeng sayang tangan putrinya.

Hari ini putrinya begitu cantik. Kedua rambutnya di kucir kuda, membuat ikal rambut kecoklatan bergoyang lucu. Gadisnya memang lebih banyak mewarisi wajah dirinya. Tapi ikal coklat itu diwarisi gadisnya dari Bumi.

Pintu ruangan restoran terbuka lebar, seorang pelayan menyapanya dan menanyakan keperluannya. Bulan bergumam pelan, yang langsung disambut dengan anggukan mengerti oleh pelayan itu.

"Mari ikut saya," ucap pelayan itu.

Bulan mengikuti arah yang di tunjukkan pelayan itu padanya, mereka menuju lantai dua, tepat di pojok meja dekat jendela. Bulan melihat Bumi.

Bumi sedang mengamati jalan raya, dia mengenakan kaos warna biru dongker. Sebuah kaca mata tersemat di wajahnya, membuatnya terlihat lebih matang. Dari genggaman tangannya dengan Tari, Bulan bisa merasakan tubuh putrinya itu sedikit bergetar. Diliriknya putrinya sekilas, Putrinya itu hanya menatap Bumi lekat-lekat. "Tari yakin?" seru Bulan pelan.

Mentari mengadah pada sang bunda. Sejenak terdiam kemudian mengangguk.

Bulan menghela nafas panjang, dibimbingnya Tari menuju meja tempat Bumi berada. "Bumi ...,"

Bumi monoleh pada asal suara itu. Mendapati gadis kecil yang menganggu tidurnya semalam berdiri di hadapannya. Gadis itu sungguh cantik, mirip sekali dengan sang ibu. Mudah-mudahan sikapnya tidak mirip sang ibu, batin Bumi getir. "Silahkan duduk," ucap Bumi pelan.

Bulan menarik bangku di depan Bumi, membiarkan putrinya duduk terlebih dulu kemudian duduk di samping putrinya itu. "Aku nggak telat kan?"

Bumi menggeleng, dia memang datang lebih pagi. Tapi wanita ini memang selalu begini, selalu tak mau mengalah. "Apa kabar Tari?" Bumi mengulurkan tangannya, mencoba tersenyum hangat.

Mentari terdiam kaget. Namum perlahan-lahan mengangkat pandangannya ke arah Bumi. Tangan kecilnya perlahan terulur pada Bumi kemudian menjabat tangan Bumi.

Bumi merasakan sensasi aneh dalam dadanya, rasa nyaman dan posesif atas diri gadis kecil itu. Rasa yang tak pernah dimilikinya sejak tiga tahun lalu. Ditahannya tangan gadis itu dalam genggaman sebentar. Mentari, dia mengulang nama itu dalam hati. Nama yang sangat pas untuk gadis kecil di depannya. Jika memang Mentari adalah anaknya, ahhh ... pikiran itu saja sudah membuat dada Bumi buncah akan rasa bangga.

"Mungkin kamu lupa. Saya, Satya Bumi Lazuardi. Guru bahasa Indonesia di sekolahmu. Kamu masih ingat?" ucap Bumi hati-hati. Masih tak melepaskan tangan Mentari dari genggaman tangannya.

Mentari mengangguk pelan, tangannya dengan gelisah mememaikan ujung bajunya. "Pak Guru nggak mencariku karena aku bolos kemarin kan?" ucapnya takut-takut, membuat Bumi dan Bulan memandangnya dengan kaget. "Bunda sakit, badannya panas sekali. Aku nggak mau bundaku sendiri."

Hati Bumi mencelos mendengar pengakuan Mentari. Apa sebegitu berharganya bundamu itu bagimu Tari? Ahh ...andai kau tahu Tari.

Bumi mencoba tersenyum. "Bukan sayang, memangnya Bunda nggak cerita kenapa bapak ingin bertemu Tari?" nada suara Bumi terkesan halus, tapi dengan jelas memandang Bulan dengan tatapan menuduh.

Tatapan Bumi membuat Bulan terdiam sedih, bertemu dengan Bumi, selelu membuat emosi yang tak pernah di tampilkannya pada orang lain, langsung terlihat jelas.

"Bunda sudah cerita," jawab Tari cepat.

Bumi menatap Tari kaget. "Bunda cerita apa sayang?" Bumi berusaha menahan emosinya, kalau sampai Bulan menceritakan hal yang berbeda. Dengan cara apapun, dia pasti akan mengambil Tari dari Bulan.

"Semuanya. Sejak Tari umur lima tahun, Bunda sudah cerita semuanya. Apa benar Bapak ayahku?" tanya Tari dengan tampang innocetnya

"Tari ...," Bulan berbisik pada putrinya, tapi putrinya itu sama sekali tak bergeming. Kenapa anaknya menjawab seperti itu? Jelas-jelas Tari tahu siapa Bumi. Anak itu hafal sekali dengan wajah ayahnya walau hanya pernah melihatnya dari secarik foto lama

Bumi berusaha mengendalikan diri. Perlahan melepaskan genggaman tangan Mentari. "Kenapa Tari bertanya semua itu? Memang bunda cerita apa?" Sekali lagi, Bumi menekan emosinya dalam-dalam, berusaha membuat malaikat kecil di depannya tidak tertekan.

Tari terdiam. "Semuanya. Tari, bahagia bertemu bapak, tapi ... Tari takut ...," kata-kata Tari terpotong.

Bumi menatap Tari bingung. "Takut kenapa Tari?"

Tari berbalik memandang Bumi, "Bapak mau janji?"

Suara Bumi tercekat di tenggorokan, membuat susana hening seketika. "Apa sayang?" ucap Bumi akhirnya.

Tari menelan ludah, menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. "Tari cuma minta, mungkin Bunda dulu pernah kejam sama bapak. Tapi, Tari mohon, jangan pisahkan Tari sama Bunda. Tari sayang banget sama Bunda."

Buliran air mata mengenang di kelopak mata Mentari. Membuat Bulan dan Bumi sama-sama terpukul kaget.

... ... ...

yanga��|��!�

HALF SOUL [ REPOST ]Where stories live. Discover now