Mentari memandang iri gerombolan anak laki-laki yang sedang asyik bermain bola di tengah lapangan. Mulutnya menggelembung kesal, sedari tadi dia sudah meminta diajak bermain bola dengan anak-anak laki-laki yang rata-rata berasal dari kelas di atasnya. Tapi, jawaban yang diterimanya malah ledekan dan cemoohan.
"Gadis berbie kaya kamu itu, cocoknya main masak-masakkan atau boneka-bonekaan sana!" sosok anak laki-laki sebaya dengan Mentari memandang Mentari dengan nada merendahkan, sambil membawa bola di tangannya.
Mentari kesal dibuatnya. Terlebih lagi, anak laki-laki yang mengoloknya itu adalah teman satu kelasnya, dan yang lebih parah -musuh besaranya sejak masuk ke sekolah- "Kenapa Angin boleh ikut? Kenapa aku nggak boleh? Curang, kami kan sama-sama anak kelas satu!" padangan Mentari menuduh pada gerombolan itu, protes.
Membuat gerombolan anak-anak laki-laki tadi menghentikan main mereka, memandang Mentari dengan padangan mengasihani dan menahan tawa.
Wajah Mentari Merah, merasakan amarahnya meninggi.
"Hahahaha, karena aku lebih hebat dari kamu. Ngaku aja deh, kamu nggak bisa menang dariku." Ucap Angin sombong.
Tari beringsut marah, hendak maju ke arah Angin dan gerombolannya yang sudah mulai mentertawainya. Tapi, sebuah tangan menahan tubuh mungilnya.
Tari menoleh, mendapati sosok berkaca mata itu memandangnya dengan cemas.
"Jangan ladenin dia," ucap Bumi lembut, memposisikan Mentari di samping tubuhnya, padangannya tertuju pada Angin dan gerombolannya, "bola memang lebih sering dimainkan oleh pria, tapi jangan kaget kalau kalian bisa dikalahkan oleh wanita, kalau kalian sombong macam itu," ucap Bumi membuat Angin dan gerombolannya langsung terdiam di bawah tatapan tajam Bumi.
Padangan Bumi teralih pada Mentari, "Nah, sekarang. Kamu, ikut saya!" Bumi menuntun Mentari ke tepi lapangan, duduk di sebuah bangku yang menghadap ke lapangan.
Mentari terdiam. Bingung mau mengatakan apa, tak menyangka ayahnya akan menghampirinya di sekolah.
Bumi menghela nafas, memperhatikan wajah Tari seklias. Sebuah senyum tersungging di wajahnya, kelakuan Tari mengingatkannya pada dirinya sewaktu kecil. "Kamu suka bola?" kata-kata Bumi melucur begitu saja, seolah semua yang dilakukan Mentari adalah hal yang wajar.
Kepala Tari terangkat, membuat bola mata indahnya melebar. Dia mengira akan dimarahi atau ditegur, bukannya malah ditanya seperti itu, walau Bulan sendiri lebih sering balik bertanya alih-alih memarahinya juga, tapi dia mengenal bundanya dengan baik, lain halnya dengan ayahnya ini. Tari mengangguk.
Bumi tersenyum, "Saya juga suka. Kok kamu suka sih? Bukannya itu mainan anak laki-laki." Ucap bumi lebih mengarah pada gumaman untuk dirinya sendiri ketimbang pertanyaan pada Tari.
Tiba-tiba rasa senang membanjiri tubuh Tari, pandangannya mengadah pada Bumi. "Bener? Bapak juga suka? Ngga tahu, aku suka aja, menyenangkan bermain bersama-sama di tengah lapangan hijau. Bapak mau main sama Tari? Bunda biasanya nemenin Tari, tapi Bunda nggak jago. Bunda jagonya ngarang cerita dan bacain buat Tari, walau Bunda nggak pernah marah kalau Tari main bola, tapi__"
"Kamu suka banget yah sama bola? Bunda nggak marah" potong Bumi, tersenyum melihat wajah Tari yang sumringah menceritakan kesukaannya.
Tari mengangguk mantap, dia tertawa cekikikan, "Bunda tuh nggak bisa marah sama Tari, soalnya Bunda nggak pernah bisa menang dari Tari. Bunda cuma nggak suka kalau Tari lupa waktu main sama temen-temen, tapi itu di Inggris," mendung menghiasi wajah Tari.

YOU ARE READING
HALF SOUL [ REPOST ]
Storie d'amoreJatuh cinta itu egois, itu yang dirasakan Bulan saat kali pertama jatuh cinta. Dia tidak peduli harus membuat dunia Bumi yang tenang menjadi porak-poranda. Cinta ibarat candu yang membuatnya buta hanya untuk bersama Bumi. Hingga, sebuah kejadi...