Gerimis mengguyur permukaan tanah, membuat kaca-kaca jendela di rumah besar itu berembun, mengirimkan sensasi dingin ke seluruh ruangan.
Bulan bediri di tepi jendela, memandang halaman luas yang sengaja dibuatnya untuk Mentari. Putrinya memang sangat suka bermain di luar. Jika ada acara kemping, Mentari bisa sampai mogok makan hanya untuk membuat Bulan mengizinkan-nya untuk ikut. Padahal saat itu umur mentari baru menginjak enam tahun, dan acara kempingnya hanya dilakukan di halaman tempat playgroupnya saja. Tapi, putrinya itu bukan main senangnya saat diperbolehkan ikut.
Bulan tesenyum, sejak kecil gadisnya itu selalu penuh kejutan. Secara fisik, Mentari memang lebih mirip dengan dirinya, tapi secara sifat ... jelas-jelas Mentari mengambil sifat-sifat Bumi.
Bumi, nama itu membuat Bulan teringat kejadian tadi siang, kejadian yang membuatnya hampir jantungan.
Sejenak Bulan memejamkan matanya, teringat wajah Bumi yang langsung pias sewaktu kata-kata maha dasyat itu keluar dari mulut Mentari.
Juga, Wajah Mentari yang dirundung mendung.
Bulan mendesah, otaknya kembali memutar kejadian siang tadi.
"Kenapa kamu pikir saya akan memisahkan kamu dari Bundamu, nak?" ucap Bumi akhirnya, berusaha menenangkan diri.
Tangan Mentari gemetar, perlahan mengangkat wajahnya memandang Bumi. "Karena menurut Bapak, Bunda jahat."
Bumi lagi-lagi terdiam kaku, tak menyangka jawaban itu yang akan keluar dari mulut malaikat kecil di depannya. "Ke, kenapa ... kamu pikir Bundamu jahat?"
"Bunda ..." Mentari meragu, "bunda bilang, Bunda udah jahat sama Bapak, karena itu... bapak meninggalkan Bunda. Bunda juga bilang, jika Bapak tahu soal Mentari, Bapak pasti akan sayang banget sama Mentari, Bapak ...," kata-kata Mentari terhenti, buliran air mata mengalir begitu saja dari wajah cantiknya.
Bumi tercengang, mau mengulurkan tangannya sewaktu kedua tangan Bulan sudah merangkul Mentari dalam pelukannya.
Mentari terisak.
"Bumi, Please..." Bulan memandang Bumi penuh pengharapan, berharap Bumi mau meninggalkan mereka berdua.
Bumi tak bisa berkata-kata, perlahan menarik tangannya kembali.
Hati bulan terasa perih. Bulan bangkit dari kursinya, tangannya merangkul tubuh Mentari. Menundukkan wajah sesaat pada Bumi, kemudian meninggalkan Bumi yang masih mematung di posisinya.
"Bunda..." suara merdu itu mengakhiri lamunan Bulan.
Bulan menoleh, menemukan pemilik suara yang sangat dia sayanginya itu.
Mentari berjalan masuk ke dalam kamar Bulan. Tangan kecilnya mengenggam kedua tangan Bulan. "Bunda nangis lagi?"
Bulan terperangah, dengan tangannya memeriksa kelopak matanya. Basah, sejak kapan aku menangis?
"Maafin Tari yah Bunda," sendu kembali menghiasi wajah Mentari, tangan kecilnya menyeka air mata Bulan.
"Untuk?" tanya Bulan, memapah Mentari ke arah tepi ranjang, membuat putrinya duduk di sebelahnya.
"Karena Tari nakal," jawab Mentari pelan.
Bulan mengangkat dagu putrinya, "Tari nggak pernah nakal kok. Kenapa Tari bilang kaya gitu?"
"Karena ... kalau Tari nggak bilang mau ketemu Ayah ... Bunda pasti nggak sedih kan? Waktu itu, gara-gara Tari bilang Tari ketemu Ayah, Bunda langsung sakit, Maafin Tari Bunda ... Bunda jangan sakit lagi yah."

YOU ARE READING
HALF SOUL [ REPOST ]
RomanceJatuh cinta itu egois, itu yang dirasakan Bulan saat kali pertama jatuh cinta. Dia tidak peduli harus membuat dunia Bumi yang tenang menjadi porak-poranda. Cinta ibarat candu yang membuatnya buta hanya untuk bersama Bumi. Hingga, sebuah kejadi...