Bulan menyenderkan punggungnya di atas bantal kursi ayunan kecil yang berada di sudut taman belakang rumahnya, tubuhnya lelah sekali. Menjadi orang tua tunggal yang bekerja dan mengurus anak, bukanlah hal yang mudah. Dia tidak pernah menyesal melahirkan Tari, walau banyak orang yang menentangnya dulu, dan berarti harus mengorbankan semua kebebasannya serta masa mudanya hanya untuk Tari.
Tari adalah cahaya dan sumber kehidupannya. Jika Tari tidak hadir, mungkin saat ini dia sudah memilih untuk mengakhiri hidupnya sejak Bumi meninggalkannya. Bumi, nama itu membuatnya teringat kejadian beberapa hari lalu di rumah Umi Heida.
Semua sikap diam Bumi pada Bulan menjelaskan semuanya. Bagi Bumi, Bulan hanyalah masa lalu, masa yang ingin dilupakannya. Walau Bulan juga tahu, bagi Bumi, Mentari adalah cahaya menyilaukan yang tak sanggup dia tolak.
Mana mungkin ada yang sanggup menolak putri cantiknya itu? Hanya orang berhati sedingin es yang bisa melakukannya.
"Bunda! Bunda! Bundaaaaaaaaaaa," suara tak sabaran dan kesal itu membuat lamunan Bulan terusik. Wajah Putrinya berada di depannya sambil bertolak pinggang.
Mata Bulan mengerjap, "Apa sayang?"
Pipi Mentari menggelembung kesal yang malah membuatnya terlihat menggemaskan oleh Bulan. "Katanya mau main Bola? Kok malah meles-malesan sih?"
Bulan tersenyum pasrah, dia memang janji akan bermain bola dengan Mentari hari Minggu ini, tapi beban kerja yang harus ditanggungnya serta rasa lelah karena menghindar dari Bumi nyaris menguras semua tenaganya selama seminggu ini. "Bunda capek banget sayang, kan nggak adil kalau kamu menang gara-gara Bunda capek, iya kan?" Kilah Bulan, berusaha membujuk putrinya secara halus, walau dia tahu Tari tak mudah ditaklukan, percis ayahnya.
"Kaya Bunda pernah menang aja kalau Bunda nggak capek," sahut Tari, melipat kedua tangannya di dada, satu kakinya diketukan ke tanah.
"Nah tuh kamu tahu," Bulan tertawa kecil. "Atau Bunda jadi keepernya aja deh."
"Nggak ah, nggak seru," protes Tari, diam sejenak, tiba-tiba matanya berbinar-binar senang, "Gimana kalau Tari panggil Ay," wajah Tari berubah serba salah membuat Bulan tahu persis apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Tari."Pak Bumi maksud Tari," ralat Tari cepat.
Tari, Tari. Bulan menggelengkan kepala, sepertinya dia harus membahas masalah ini dengan putrinya secepatnya. "Ayah maksudnya?"
Bola mata Tari melebar.
"Tari boleh kok panggil Pak Bumi ayah, asal dia nggak keberatan. Dari kemarin Tari pengen ngomong itu kan?"
Tari menunduk, dia sangat ingin memanggil Bumi dengan sebutan ayah, tapi takut melukai bundanya. Tapi pernyataan bundanya tadi membuatnya kaget sekaligus senang. "Boleh Nda?"
Bulan mengangguk. "Kalau Bu__ Pak Bumi nggak keberatan nggak apa kok." Koreksi Bulan cepat. Aku harus memanggil Bumi apa di depan Tari? Kepala Bulan pusing.
Mimik wajah Tari berubah seketika, jelas sekali gembira dengan kata-kata Bundanya. "Boleh kok Nda, waktu ke rumah Umi Heida aku udah tanya, cuma aku nggak enak sama Bunda."
Hee, ternyata sudah ditanya toh, Bumi memang belum berubah, terlalu baik, pikir Bulan. Sebuah ide terlintas di benaknya saat nama bibinya itu disebut oleh Tari. "Gimana kalau kita ke rumah Umi aja? Kamu di sana bisa main bola kan?" tawar Bulan yang langsung di sambut dengan anggukan bersemangat putrinya.
"Boleh ajak Ayah?" tanya Tari lagi.
Bulan terdiam kaget, berpikir sejenak, kemudian tersenyum. "Boleh kok, kalau dia nggak sibuk yah."
YOU ARE READING
HALF SOUL [ REPOST ]
RomanceJatuh cinta itu egois, itu yang dirasakan Bulan saat kali pertama jatuh cinta. Dia tidak peduli harus membuat dunia Bumi yang tenang menjadi porak-poranda. Cinta ibarat candu yang membuatnya buta hanya untuk bersama Bumi. Hingga, sebuah kejadi...