6

65 3 0
                                    

Hari ketiga, dimana hari terakhir kita disekolah hingga hari sabtu selanjutnya. Besok, Kamis. Mulai hari ini, aku mulai sedang sibuk sibuknya mengumpulkan segala sesuatunya agar sempurna dan tidak tersisa barang apapun. Ya, barang yang tidak akan ketinggalan. Prinsipku adalah, sekali aku punya keinginan yang luar biasa kerennya, aku akan segera mengerjakannya. Karena kalau tidak, aku tidak akan berniat melakukannya kembali dibeberapa waktu kedepan.

Pagi ini, kembali lagi seperti awal. Angkatan kami yang mengikuti Camping tetap stay di lapangan untuk informasi tentang camping. Sebelum aku kesekolah, aku sudah memikirkan hal yang aneh aneh. Hal itu berlanjut ketika aku sampai disekolah dan duduk dilapangan.

Gimana kalau barang yang regu kita bawa kurang lengkap? sedangkan ini hari terakhir. Lalu, gimana dong nanti gerakannya? duh. Gawat deh. Gimana.. Gimana.. Gimana.. itulah kalimat yang diucapkan disaat aku mulai berpikir negatif. Rasanya, ini bukan diriku.

Tiba tiba saja, aku merasakan penglihatanku mulai buram. Lingkungan sekitar yang kulihat mulai buram semua dan sesekali buram itu hilang. Dan mulai berdatangan lagi. Pipiku mulai panas, hidung mulai mengeluarkan sesuatu yang aneh. Dan pipiku, didapati sebuah air. Semuanya terasa lembab. Aku menangis. Entah kenapa aku bisa menangis seperti ini, ditengah keramaian yang ada.

Aku mulai merasakan bahwa diriku ini sudah tidak tahan menahan-nahan semua perasaan yang muncul saat ini, kurasa, ini saatnya aku melampiaskannya. Karena, bila aku menangis dihari H nanti, aku akan menyesal seumur hidupku. Kenapa kamu dari dulu tidak menangis saja sih? sebelum hari H.

Ketika adik kelas, dan kakak kelas beranjak keatas dan didapatinya Erwin keatas naik kelantai 3, aku tidak sanggup mengadah keatas untuk melihatnya. Bahkan melihat kedepan saja rasanya memalukan bagiku. Karena mataku mulai mulai merah.

"Heii! Selin! kita disuruh tuh sama kakak pendamping buat beres beresin segala keperluan buat besok" ucap seseorang yang suaranya tidak asing ditelingaku. Karin.

Aku tidak menjawab perkataan Karin karena aku tidak bisa membuka mulutku untuk memulai sebuah pembicaraan. Bila aku membuka mulutku dan mulai berbicara, aku akan semakin menjadi jadi untuk menangis.

"Eh? kok diem aja? gak dijawab? Aku lagi ngomong sama kamu, bukan lagi ngomong sama tembok loh ya!" pernyataan Karin. Lalu, karena Karin mulai penasaran ada apa denganku, dia melihat wajahku sambil menundukkan kepalanya dan menjajarkannya dihadapanku. Karena keadaan kepalaku sedang menunduk.

Hiks

"Selin?? Kamu nangis? astaga!" panik Karin.

"Eh? Selin nangis?" Lucy menyaut dengan mendekatkan posisinya dihadapanku. "Kamu kenapa, Sel?"

"Aku gapapa kok." Bohong.

"Gapapa gimana coba? mata lo merah gitu, hidung juga merah kek badut, astaga, ini yang lo bilang gapapa??" ucap Karin khawatir.

"Bisa tolong minta tisu gak?" Aku bukannya menjawab, tapi mengalihkan permbicaraanku. Karena tanganku sudah tidak bisa membendung air lagi. Tanganku basah.

"Oke, aku ambilin dulu" Karin segera menghilang dihadapanku dan menaiki tangga untuk kelantai dua.

"Selin, Yuk, ikut keatas. Kamu harus nenangin diri kamu." Hibur seorang Lucy yang baik hati. Thanks ya.

*******

"Lain kali, jangan tiba tiba nangis tanpa sebab dong, Kita khawatir tau. Dasar!" Karin memberikan tisunya kepadaku dengan nada cerewetnya.

"Iya nih, kenapa sih tadi kamu nangis?" Tanya Lucy yang sudah ditahan untuk dikeluarkan dari mulutnya. Aku sudah baikan sekarang.

"Aku stress. Aku banyak mikirin... Itu si Mercy. Dia berulah lagi karena gak bawa barang barang Camping" Aku menceritakan hal yang sebenarnya terjadi dengan suara isakkan.

Monster And Little GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang