Part 11
Seminggu berlalu setelah kepulangannya dari Noosa dan Sienna tampak lebih kurus dari waktu-waktu lalu. Berat badannya turun drastis, wajahnya tampak lebih tirus dan lingkar hitam dibawah matanya tampak lebih jelas dan mengerikan.
"Apa lo masih akan tetap bertahan dengan wajah seperti ini?" tanya Difa ketika memasuki ruangannya.
Ntah lah, ia juga tidak mengerti, beberapa hari ini Sienna tidak bisa tidur, dan nafsu makannya berkurang drastis.
Ia juga terus-terusan menghindar bertemu Cakka dan Shilla setelah keduanya tiba di New York.
"Gue sedang nggak ingin diganggu, bisa lo keluar?"
Difa menghela nafas, "Lo bisa sakit kalau seperti ini,"
"Bukan urusan lo!"
"Gue hanya peduli,"
"Gue nggak butuh rasa peduli lo,"
Difa menyerah, akhirnya ia mundur dan keluar dari ruangan Sienna.
Sienna menghela nafas panjang setelah kepergian Difa, ia sandarkan punggungnya dipunggung kursi.
Pikirannya bercabang-cabang ntah kemana, kisah ini tidak akan berakhir jika ia terus seperti ini.
Sienna terengah, jari telunjuknya menekan tombol 'Enter' di keyboardnya, dan Surat Pengajuan Pengunduran Diri, keluar dari mesin printnya.
Sienna juga sudah memutuskan untuk mengakhiri pekerjaannya sebagai agen rahasia, tabungannya cukup untuk hidupnya selama sebulan kedepan dan setelah itu ia akan memikirkan pekerjaan baru, tempat tinggal baru dengan kehidupan yang baru pula.
Ia sudah memikirkan hari-harinya esok dengan matang, tidak ada pistol ataupun senjata lainnya, yang terpenting, tidak ada Cakka.
Sienna akan menjadi angin lalu di ATS.
--
"Selamat pagi!" sapa Shilla begitu Cakka memasuki dapur.
Pagi ini, Shilla bangun lebih awal, ia memasak untuk Cakka, tak seperti biasanya karena Shilla sama sekali tidak ahli memasak.
Cakka yang melihat Shilla dengan apron memasaknya tersenyum geli, rambutnya ia gulung asal dengan baju tidurnya yang kebesaran namun itu sama sekali tidak mengurangi kecantikan gadis itu.
"Lo bangun pagi-pagi untuk ini?" tanya Cakka sambil memandang tatanan sarapan pagi buatan Shilla diatas meja makan.
Shilla mengangguk dengan semangat.
Cakka terkekeh, "hanya untuk roti panggang, sereal, buah-buahan dan susu?" tanyanya.
Bola mata Shilla membulat, 'hanya' katanya?
"Heish! Lain kali gue nggak akan bangun sepagi itu untuk buatkan lo sarapan,"
Cakka tertawa geli, "gue becanda, ini keliatan enak," ucapnya.
Shilla mendesis, "tapi gue serius, gue nggak akan mau bangun sepagi tadi untuk buat sarapan,"
Cakka hanya tertawa. Rasanya ia sudah lama tak serileks ini.
Pikirannya tak sekalut kemarin-kemarin, Shilla selalu bisa membuatnya merasa lebih baik.
Keduanya tiba dikantor ATS sekitar pukul 8 pagi. Mereka berpisah dilift karena ruangan Shilla berbeda lantai dengan Cakka.
Beberapa menit setelah Shilla memasuki ruangannya, ia terperanjat dari kursinya begitu mendengar suara teriakkan dari luar ruangannya.
"AAARRGHH. LEPASIN GUE BAJINGAN!"