Pukul 10. 00. Suasana yang begitu senyap seketika menjadi riuh ketika suara bel berbunyi, siswa pun berhamburan keseluruh penjuru sekolah, terlebih kantin dalam beberapa menit saja semua seluruh tempat duduk didalamnya mendadak menjadi padat merayap. sebuah sekolah elite di kawasan tengah kota Sidoarjo, SMA Pisces, sekolah istimewa dengan para siswanya yang juga harus memiliki setiap keistimewaan di dalam dirinya.
"Ngga' Radit tuh," seloroh seorang gadis disampingnya sambil menyeruput lemon tea yang ada di mejanya.
"Ya ampun kece banget," ia menatap begitu kagum cowok yang baru saja berlalu dari hadapannya, " kapan gue bisa pacaran sama Radit."
"Antre kale ..," mereka berdua tertawa sambil ditemani mangkok bakso dan gelas teh di sisi-sisinya, " pasti daftar antrian ceweknya banyak banget."
"Bener-bener," ia mengiyakan, "buruan makannya, kita ke galeri yuk, ada gambar yang belum gue selesaiin."
Jingga, seorang gadis periang, yang bisa terus bertengger di megahnya SMA Pisces karena prestasi akademiknya, bea siswa pun masih berada ditangannya selama ia tidak mengalami penurunan nilai, tidak hanya prestasi akademis melukis menjadi pilihannya sembari menanggalkan penatnya selama belajar. Jingga dan Secha, teman sekelas dan juga teman berbagi cerita, bagi Jingga Secha adalah jendela yang menghubungkan antara ia dengan dunia disekitarnya, pribadi yang sedikit tertutup membuatnya sedikit sulit untuk bisa cepat berkomunikas dengan sekitarnya.
Mereka berjalan menuju galeri lukis yang ada di sudut sekolah. tidak terlalu banyak siswa yang berminat dibidang ini, kurang lebih hanya 15 siswa yang memiliki ketertarikan dan kemampuan untuk berada di ruangan ini. " Haii semua," suara Jingga menggaung keseluruh ruangan seluas 20 meter dengan hanya 2 mahluk hidup saja di dalamnya, suara itupun tidak membuat mereka didalamnya beranjak, hanya sedikit tolehan saja dan mereka melanjutkan kembali menyapukan kuas ke dalam kanvas yang berdiri di depan mereka.
"Bikin apa sih lo Ngga'," Jingga berjalan menuju sebuah kanvas berukuran 90 meter di sisi ruangan diikuti Secha, ia membuka kain berwarna biru yang menutupi kanvasnya.
" Lucu nggak?," ia tersenyum mengamati gambarnya sendiri, sebuah gambar piring berisi steak lengkap dengan pisau dan garpunya dengan beberapa ornament pendukung disekitarnya seperti lilin dan sapu tangan yang coba digambarnya dalam bentuk 3D.
" Hehe boleh juga," suaranya yang sedikit bulat dan nge-bass membuatnya benar-benar pantas berada di basecamp karate atau yang biasa sering disebut dojo milik SMA Pisces, Jingga duduk didepan kanvasnya mengambil kuas dan palet yang ada disisi lukisannya dan mulai menggoreskannya, bubuhan beberapa warnanya membuat gambar ia yang ia buatnya semakin hidup.
"Gimana pertandingan loe besok? jadi sama siapa?," ia berceloteh sambil terus sibuk dengan kanvasnya ditemani Secha yang duduk disampingnya.
"Sama Bumi."
"Bumi lagi?," Jingga tertahan menggoreskan kuasnya, menatap Secha ragu, "serem banget."
Secha menaikkan pundaknya, "Pak Aldo yang pilih dia wakilin cowok dan gue cewek, tapi si Bumi emang oke banget menurut gue."
"Iya, si bad boy, raja berantem. liyat aja udah ngeri banget."
" Gue juga nggak pernah ngobrol sama dia, males aja liyat lagaknya yang sok. Kayaknya dia cuman kenal 4 orang temannya itu disekolah ini," Secha tersenyum diikuti Jingga.
"Dan juga cewek-cewek bulanannya, itupun kalau dia bisa inget nama-namanya," tambah Jingga, mereka berdua semakin tertawa sambil ia kembali menggoreskan kuas ke dalam kanvasnya, membubuhkan tanda tangan dan nama disudut kanan bawahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Jingga
Teen FictionSebagai yang paling dominan, Bumi tidak ingin mengurangi kesempurnaannya, tidak ada pangeran yang tidak didampingi seorang putri, begitulah prinsip yang dia buat sendiri. Setiap bulan ia memilih seorang gadis untuk dijadikan pacarnya, mau tidak mau...