"Betah banget, ngliyatin apaan sih?," suara itu sedikit mengejutkan Jingga yang sedang tenggelam dalan lukisan wanita bali didepannya, Bumi berdiri menjajarinya.
"Lo disini?, kemana yang lain?," Jingga memutar kepalanya mencari-cari teman yang lainnya.
"Mereka udah pada balik," jawaban Bumi mendadak membuat Jinga menjadi sedikit gugup, jadi mereka hanya berdua saja disini, tanpa teman-temannya yang lain. apa yang harus ia lakukan ketika hanya berdua saja seperti ini. jadi Chacha beneran ninggalin gue, atau jangan-jangan mereka sengaja biarin gue berdua aja sama Bumi disini? uuhhh Chacha, jail banget kalian.
Jingga kembali sedikit menggeser langkahnya menuju lukisan yang terpasang pada panel-panel yang dijajar rapi, tempat ini seperti surga baginya, biarlah toh Bumi juga tidak akan betah menunguinya disini, Jingga bisa bertahan berjam-jam ketika dihadapkan dengan berbagai lukisan seperti ini dan benar, belum selesai ia menggumam didalam hatinya, Bumi cukup sibuk mencari kesibukan lain, berjalan kesana-kemari dan asal saja melihat lukisan di kanan dan kirinya.
"Balik aja duluan," ujarnya ketika Bumi berdiri disampingnya, mengamati lukisan yang sama.
"Mana bisa gitu, gue anter lo pulang," ucapan itu terdengar ragu untuk Jingga, apakah benar Bumi ingin mengantarnya pulang? atau ia terpaksa karena teman-temannya memaksanya? atau ia hanya kasihan melihat Jingga yang harus pulang seorang diri?.
"lo masih mau nganter cewek penakut dan freak kayak gue?," jawaban itu sedikit berat terdengar dihatinya, mungkin ucapanya dulu tidak cukup mudah untuk dilupakan begitu saja.
"Mungkin hari itu menjadi kesalahan besar yang pernah gue perbuat selama hidup gue," lukisan didepannya tidak cukup menarik perhatian Jingga, matanya mencoba tetap asik memandang lukisan didepannya, tetapi telinganya ia pasang begitu tajam, sehingga ia tidak melewatkan satu kata pun yang terucap dari mulut Bumi, "gue minta maaf," Jingga hanya diam, "gue tahu itu gak akan mudah, sekedar minta maaf aja gak mungkin cukup buat narik kata-kata gue kembali ... tapi gue harap setidaknya gue masih punya kesempatan buat sekedar ngobrol aja sama lo."
Cukup membuat hati Jingga bergetar mendengarnya, sepertinya Bumi benar-benar tulus, "gue marah sama diri gue sendiri," ia tersenyum kecut, "harusnya waktu itu lo gak nyamperin gue."
Rasanya penjelasan yang sedikit saja dari Bumi cukup untuknya, apa begitu mudahnya Jingga melupakan kesalahpahaman yang telah terjadi diantara mereka, Jingga rasa cukup, penjelasan Bumi cukup meyakinkan dirinya, ia tahu Bumi bukan tipe pria perayu yang dengan mudahnya membius pasangannya dengan kata-kata gombal, untuk sekedar meminta maaf dan mengakui kesalahannya saja sudah cukup sulit baginya, "Jadi salah gue lagi nih," senyumnya.
Melihat senyum yang mulai tersungging dari bibir Jingga, Bumi tidak bisa lagi menahan luapan kebahagiaan di hatinya membuat bibirnya tanpa sadar mengembang begitu saja, "kali ini biar jadi salah gue."
"Tumben," ia memutar pandangannya pada Bumi, "biasanya gue yang selalu salah."
"Harusnya gitu."
"Dasar..," ia memukul kecil bahu Bumi disusul senyumnya, pukulan kecil itu terasa cukup menyenangkan, bagai jalan yang membuka kembali antara dia dan Jingga, terasa senyum yang sepertinya sudah cukup lama tidak ia nikmati, begitu sederhana tapi sangat menenangkan.
Sebentar mereka saling berpandangan merasakan aliran-aliran kerinduan yang tergambar dari senyum dan teduhnya tatapan mereka, "kalo tahu segampang ini kita baikan, gue lakuin dari dulu ...gue capek didiemin sama lo."
"Bukannya lo sendiri yang minta," Jingga berlaga cemberut dan membuang pandangannya.
"Iya ..gue salah," kembali ia mencari tatapan mata Jingga, "maafin gue ya."
Jingga menghela nafas panjang, "hemm gak janji ya," candanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Jingga
Teen FictionSebagai yang paling dominan, Bumi tidak ingin mengurangi kesempurnaannya, tidak ada pangeran yang tidak didampingi seorang putri, begitulah prinsip yang dia buat sendiri. Setiap bulan ia memilih seorang gadis untuk dijadikan pacarnya, mau tidak mau...