Dengan rambut dikepang menyamping yang dibuat sedikit berantakan dan paduan blouse dan celana jeans, Jingga berjalan berjajar bersama Secha menuju lantai teratas tepatnya di area food court salah satu mall di Surabaya ini. Sedikit berdebar dan juga canggung Jingga bertemu kembali dengan mereka semua yang pernah memberinya berbagai pengalaman dan pertemanan yang begitu menyenangkan.
Suara Eru dan alunan pianonya samar mulai terdengar, semakin lama semakin tajam, sepertinya sudah tidak jauh lagi. Cukup ramai di hari minggu yang padat ini, Eru sudah tampak melempar senyumnya pada Secha dan Jingga yang tepat melintas di depan panggung kecil seukuran 4 meter itu, tak jauh dari sana sudah tampak Aga yang melambai-lambaikan tangannya mencoba memanggil Jingga dan Secha. Beberapa meja sudah dijajarnya menjadi satu dengan masing-masing 5 kursi yang saling berhadapan.
"Jingga..," sapa Aga bersemangat melihat Jingga bersama Secha yang mulan berjalan mendekat, ada sesuatu yang mengganjal pandangan Jingga, disebelah Aga duduk seorang gadis berambut pendek dan sedikit ikal, tidak terlihat cukup feminim tapi sepertinya menyenangkan dengan senyum yang terus terkembang dari bibirnya.
"Siapa?," tanya Jingga dengan pandangan mengintimidasi.
"Pacar gue," jawabnya begi bangga, Jingga menahan senyumnya.
"Baru juga kemaren jadian Ngga'," sahut Secha, mengambil tempat duduk di depan Aga dan kekasihnya.
"Cieee akhirnya punya pacar juga, patah hati dong gue," candanya menyusul duduk disamping Secha.
"Lagian lo gue doang," hanya ada pasangan Aga, Tria dan Secha bersamanya, cukup membuatnya merasa cukup nyaman dengan guyonan-guyonan khas mereka, Jingga sepertinya sangat merindukan saat-saat seperti ini, teman-teman yang belum ia temukan di sekolah barunya selama 2 bulan terakhir ini.
"Nihh dia si bos dateng," dengan ponsel yang masih menepel di telinganya Bumi tampak tidak terlalu fokus dengan keadaan sekitarnya, sepertinya telepon yang diterimanya cukup menguras konsentrasinya mungkin karena suasana disekitarnya yang cukup ramai. Dengan begitu ringannya dia duduk disebelah Jingga, bukan tanpa alasan tapi memang karena sebelumnya dia sudah berada ditempat itu sebelum Jingga datang, terlihat dari secangkir coklat panas di atas mejanya.
Jingga hanya bisa menahan nafasnya ketika Bumi sudah mulai terduduk disampingnya, ia mencoba untuk tetap tenang dan menahan dirinya, mencoba meyakinkan yang lainnya kalau tidak pernah ada apapun diantara dirinya dan Bumi. Tak lama ia melepas ponsel dari telinganya dan meletakkan ponselnya di atas meja, pelahan ia menyeruput coklat panas yang ada dihadapannya, sampai ia tersadar ada sosok baru yang tengah duduk disampingnya yang sedari tadi baru ia sadari.
"Uhuukk," coklat panas yang mengalir ke kerongkongannya mendadak ingin berbalik keluar, ketika Bumi tahu siapa yang sedang berada tepat disampingnya, suara Bumi cukup menarik perhatian mereka semua, cukup surprise dengan Bumi yang tiba-tiba saja tersedak. Ganti Bumi yang sekarang merasa diperhatikan oleh mereka semua.
"Kenapa lo?," tanya Tria.
"Gak," jawabnya sedikit kikuk.
Semua memorinya dengan Jingga dengan mudah kembali begitu saja, begitu rindunya ia dengan gadis yang duduk disampingnya ini, tidak jauh berbeda dengan terakhir ia bertemu hanya saja sepertinya rambutnya sedikit lebih panjang. Tidak ada sedikitpun obrolan meskipun mereka duduk bersebelahan, Jingga lebih memilih berbincang dengan Secha dan membuat guyonan-guyonan kecil dengan Aga dan juga Tria, hal itu jaih lebih aman, ia masih terlalu ragu untuk berbicara kembali dengan Bumi, ia tidak ingin lagi membuat kesalahan yang akan membuat Bumi begitu marahnya pada dirinya.
"Pesanan datang," ucap Aga bersemangat, seorang waitres dengan nampan ditangannya menyuguhkan beberapa piring nasi goreng, disusul waitres yang lain. Nasi goreng yang diatasnya terdapat tulisan angka 10 yang menunjukkan level kepedasannya, dari aromanya sudah bisa dipastikan nasi itu akan membawa kita lebih sering berkunjung ke toilet setelah kita selesai menyantapnya, aroma pedasnya cukup membuat air liur di mulut seperti mengalir dengan sendirinya, "kita coba tantangan baru, nasi goreng jancoxx..gue yang traktir niihh."
"Okeee ada bos baru..," sambut Tria, pernyataan Aga disambut penuh suka cita oleh yang lainnya, tidak biasanya Aga seperti ini anggap saja ini pajak jadian mereka berdua.
Baiklah, boleh juga dapat makanan gratis dari Aga, tapi Jingga sanksi akan bisa melahap makanan didepannya satu ini meskipun hanya sedikit saja, ia tidak terbiasa dengan makanan pedas.
"Lo yakin mau makan itu?," di tengah riuhnya obrolan mereka, suara Bumi membuka kembali percakapan mereka beberapa bulan yang lalu, Jingga hanya diam, tidak ingin terlalu lama menunggu jawaban Jingga, Bumi menggeser nasi goreng didepan Jingga dan menggantinya dengan semangkuk Mie miliknya, "makan ini aja."
Jingga dibuat sedikit terperangah dengan apa yang baru saja dilakukan Bumi, "setahu gue lo kurang suka nasi goreng."
"Setahu gue lo juga gak akan mampu makan nasi goreng ini," kembali mereka hanya diam, "udah makan aja," Bumi mulai menyuapkan sendok itu kemulutnya, nasi goreng itu begitu menggelitik memaksa organ-organ mulutnya bekerja ekstra untuk memasukkannya kedalam kerongkongan.
Tidak ingin berdebat lagi dengan Bumi Jingga memilih mengiyakan permintaan Bumi dan memakan semangkuk mie itu sebagai ganti nasi gorengnya, nasi goreng yang tidak akan mungkin mampu ia makannya, ia putar garpunya kedalam mangkuk beberapa helai mie pun terpintal pada garpunya, "Ngga' tunggu...," suara Aga menghentikannya tangannya yang bersiap akan masuk kemulutnya, "salah alamat, tuh mie punya Bumi," Jingga pun tertahan, ia letakkan kembali garpu pada mangkoknya dan sebentar memandang Bumi.
"Udah biar aja, udah terlanjur gue makan nasi gorengnya," jawabnya yang masih mengulum sedikit nasi dimulutnya.
"Yakin lo," Aga dan Tria menahan tawanya, mereka tahu Bumi tidak akan terlalu mampu berkompromi dengan makanan yang satu itu.
"Gak usah banyak nanya," jawabnya sedikit kesal pada mereka berdua.
Tak butuh waktu lama untuk para muda-mudi ini melampiaskan nafsu makannya, dalam beberapa menit saja makanan dengan sukses berpindah pada lambung mereka, sudah cukup lama mereka berada disini, berbicara, bercanda dan bercerita, tapi sayangnya Bumi hanya masih mampu mengajukan satu pernyataan tadi untuk Jingga."Sama siapa tadi kesini," lagi-lagi suara Bumi terpecah ditengah keriuhan obrolan teman-temannya, Jingga sedikit tertahan menjawabnya apakah yang baru saja ia dengar memang Bumi atau ia hanya salah dengar saja.
"Sama Chacha," ia memberanikan diri menjawab.
"Kenapa Secha ngajak lo kesini?," pertanyaan itu membuatnya sedikit ambigu menerimanya, apakah itu sebuah peryataan masih tidak inginnya Bumi melihat kehadirannya kembali, atau mungkin ia terlalu sensitif saja dengan pertanyaan itu.
"Gue juga gak tahu ...harusnya gue gak dateng ya?," tanyanya pada Bumi?," lagi-lagi sepertinya dia salah mengajukan pertanyaan, kembali mereka hanya diam, kembali menyimak dan menikmati waktu yang mungkin tidak akan cukup sering Jingga dapatkan.
"Cha, gue ke toilet bentar ya," duduk berdampingan dengan Bumi yang sepertinya masih belum menginginkannya membuatnya merasa cukup canggung, mungkin menghirup sedikit udara yang jauh dari mereka bisa cukup menenangkan dan mengurangi rasa sesak didadanya.
"Mau ditemenin?."
"Gak usah," senyumnya menutup obrolan, sebenarnya Jingga tidak ingin pergi ke toilet ia hanya ingin sebentar saja lepas dari mereka, menghimpun energinya untuk kembali bisa berhadapan dengan Bumi.
Jingga berjalan seorang diri, pelahan menepi ke tengah gedung yang sengaja dibuat kosong sehingga kita bisa melihat aktivitas di lantai dasar, sebentar ia mengamati aktivitas orang-orang yang dapat ia lihat dari sana, sampai sesuatu dilantai dasar menarik perhatiannya, beberapa lukisan dijajar dengan pengunjung yang tidak terlalu berkerumun, sepertinya itu cukup membantu menyegarkan pikirannya, tanpa berpikir panjang ia bergegas turun tidak sabar menikmati goresan-goresan tinta di atas kanvas yang akan membawanya jauh ke dalam dunia imajinasinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Jingga
Novela JuvenilSebagai yang paling dominan, Bumi tidak ingin mengurangi kesempurnaannya, tidak ada pangeran yang tidak didampingi seorang putri, begitulah prinsip yang dia buat sendiri. Setiap bulan ia memilih seorang gadis untuk dijadikan pacarnya, mau tidak mau...