Luna Johanna, itulah yang selalu dikatakannya jika ada yang menanyakan namanya. Gadis berumur 16 tahun itu sedang dilanda kegundahan karena suatu hal. Ia berjalan dengan langkah pelan menuju kelasnya diikuti debaran jantungnya yang setiap langkah semakin cepat.
"Lihat dia"
"Oh, apa dia gadis yang bernama Luna?"
"Ugh, ia sangat jelek"
Dia terus berusaha mengabaikan bisikan-bisikan yang tidak mengenakkan tentang dirinya. Sudah 1 tahun dia bersekolah di Chicago, tapi ia tetap dibully.
"LUNA!!" Teriak seseorang dari arah belakangnya.
"Ada apa?," Luna berbalik dan menemukan sahabatnya, Jane, satu-satunya orang yang mau berteman dengannya.
"Ada apa Jane?" Luna membetulkan sedikit seragamnya agar terlihat lebih rapih.
"Ayo ikut aku!" Jane menarik tangan Luna kearah taman belakang. Setelah sampai ditaman, Jane menyentak tangan Luna.
Plak
"Kau mau mempermalukanku ya?," teriak Jane pada Luna.
"Kamu kenapa?," Tanya Luna kebingungan.
"Mau apa kau dengan Jeline? Kau mau dia menderita, hmm? Harusnya kau tidak usah ikut campur urusannya! Lihat, karena ulahmu hubungan Jeline dengan Anthony terancam putus!"
"Ta-tapi aku tak salah apa-apa Jane. Jeline yang memulainya duluan. Kamu percaya padaku kan?"
Jane terkekeh masam, "percaya? Bahkan mulai detik ini aku sudah tidak percaya lagi padamu! Kau hanya membuat hidupku semakin kacau! Kau bilang aku yang mengatakan padamu bahwa kau harus melawan Jelena. Please Luna. Kau sangat bodoh!" Maki Jane.
"Jane.."
"Aku menyerah jadi temanmu. Sekarang jangan hubungi aku lagi" Jane pergi meninggalkan Luna yang kebingungan. Dia sedih, karena satu-satunya orang yang mau berteman dengannya akhirnya pergi meninggalkannya.
Tak ada lagi orang yang bisa kupercaya. Semuanya telah pergi meninggalkan aku sendiri, batin Luna.
*
Setelah kelas usai, ia berjalan kearah lokernya. Sesekali ia membalas lirikan dari para siswa yang juga meliriknya. Tak ada yang bisa ia lakukan selain diam dan diam. Semuanya terlihat menjauh darinya seolah ia adalah seonggok bangkai tikus ditengah banyaknya daging sapi.
Tiba di loker, ia membuka pintu loker dan lagi-lagi yang ia terima adalah beberapa bilah pisau didalamnya. Luna menghela nafasnya, mengambil pisau - pisau itu dan membuangnya ditempat sampah. Entah sampai kapan ia terus dimusuhi semua orang.
Berjalan kearah gerbang, gumpalan kertas yang mendarat diatas kepalanya membuat Luna menangkapnya. Ia membuka gulungan kertas itu dan mengernyit dengan isinya.
Sebuah petunjuk.
Apa ini, batinnya.
Ia memutuskan untuk mengikuti petunjuknya dan meninggalkan sekolahnya tanpa sadar bahwa orang yang melempar kertas tersebut sedang memandang Luna dengan senyumnya.
Luna berjalan menyusuri blok-blok yang tak jauh dari sekolahnya dan menemukan sebuah rumah- bukan. Itu termasuk sebuah bangunan berlantai dua yang agak luas.
Luna memutuskan untuk masuk kedalamnya dan menemukan banyaknya lelaki disana. Ia menengok kesegala arah dan akhirnya menemukan meja resepsionis disana.
Bangunan apa ini? Batinnya.
"Excuse me. Kalau boleh tau, ini bangunan apa ya?," tanya Luna pada sang resepsionis.
Sang resepsionis menengok dan memandang Luna dengan senyumnya yang ramah.
"Oh, ini Rental Boyfriend. Kamu bisa menyewa para lelaki disini selama minimal 3 minggu dengan harga terjangkau. Kami bisa menerima sewa paling lama 3 bulan, tapi kamu bisa memperpanjangnya. Mau pesan?," jawab sang resepsionis.
Apa-apaan ini?! Rental boyfriend? Siapapun yang mengirimkanku kertas ini adalah orang yang paling sok tau karena menganggapku tidak laku, batin Luna lagi.
Padahal didalam otaknya ia berfikir bahwa memang benar ia tak laku-laku.
"Bagaimana jika aku kembali lagi besok? Berapa biaya sewanya?"
"3 minggu $1000"
For fucksake, darimana aku mendapat uang sebanyak itu?! Luna berteriak dalam batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rental Boyfriend 📌 H.S (COMPLETED)
Fanfiction[STYLES II] Rental Boyfriend, tempat dimana semua lelaki tampan berada. Tempat bertingkat dua yang menyerupai rumah, sehingga tidak ada yang tau apa isi tempat itu. Hanya orang-orang tertentu saja yang tau. Luna, gadis manis yang ingin mendapatkan p...