dezenove

350 58 16
                                    

"Maaf sekali lagi, Louis." Aku menutup pintu apartementku ketika menyadari bahwa Louis telah menghilang dibalik dinding lorong. Aku menghela nafasku. Oh, ini sangat buruk. Bagaimana ini? Ini sudah terhitung dua hari sejak ayahku mengeluarkan kesaksian tentang 'akan memata-mataiku' dan 'membocorkan siapa aku'. Beruntung besok dan lusanya adalah weekend, jadi aku tak perlu mengusir Louis dari apartement. Sungguh, kepala ini rasanya akan meledak jika aku tak cepat-cepat memakan Ice cream.

By the way, besok adalah hari senin, yang berarti aku akan kembali lagi ke sekolah. Tak ada lagi kesempatan untuk menghilang. Aku akan popular dengan sekejap mata. Memang inilah yang aku inginkan dari dulu, namun rasanya ganjil jika tiba-tiba murid seantero sekolah tau jika aku adalah anak dari salah satu orang terkaya didunia dan pengusaha terkenal yang telah menanamkan sahamnya di hampir semua benua.

Lantunan lagu Till it Hurts dari Yellow Claw terdengar. Kuangkat ponselku dan melihat siapa kiranya yang menelponku pada pukul 10 malam. Seketika mataku melotot karena melihat ID caller yang tertulis nama Jane. Ada apa dengannya?

"Luna! Kau harus jelaskan, mengapa bisa ada yang mengirim surat kerja sama di kantor ayahku atas nama Abraham Jovley? Oh, yang benar saja! Dia pengusaha besar, sangat besar! Why?! Katanya, ini atas perintahmu. Memangnya kau siapanya? Kau harus menjelaskan semuanya, Luna!"

Eh, ayah membocorkannya?

"Engh, bisakah kita membicarakan ini esok hari? Aku terlalu pusing saat ini"

"Duh, kau ini bagaimana? Pokoknya aku tak mau tau, kau harus jelaskan semuanya besok!"

"Ya, ya," ujarku dengan nada malas. Mengapa Jane jadi cerewet seperti ini?

**

Saat ini, aku sedang berjalan ditengah koridor yang ramai. Mereka semua, memperhatikanku, berbisik sambil memandangku, dan mengeluarkan ekspresi yang bermacam-macam. Namun saat ini aku tidaklah dianggap telur busuk, tak juga menerima ekspresi jijik. Well, yang kumaksud dengan 'ekspresi bermacam-macam' adalah ekspresi kaget, kagum, berbinar-binar, iri, dan menilai.

"Well, kau membohongi kita semua, Luna!" Aku tau betul suara ini. Mengapa setiap kali aku datang ke sekolah, ia selalu muncul dengan membuat keributan baru?

Aku berbalik dan menatapnya tajam, "well, memangnya kenapa? Salahkah?" Tanyaku dengan ekspresi santaiku.

"Sungguh salah besar, Luna!" Ia hampir saja menjambak rambutku jika tangannya tak ditahan olehku.

"Oow, jangan main kasar padaku, Jelena. Aku bisa saja melaporkanmu kepada ayahku dan kau akan dikeluarkan! Ayahku adalah donatur terbesar di sekolahku saat ini, bukan ayahmu lagi!" Terlalu pengecut? Sebutlah aku seperti itu.

Bukan bermaksud untuk sombong, tapi untuk sehari ini aku ingin membuat Jelena malu. Tak apa kan, jika aku berniat untuk menikmati hari-hariku menjadi anak pengusaha besar?

"Kau terlalu pengecut, Luna. Kau membohongiku dan membohongi satu sekolah," ujar seseorang dari belakang punggung Luna. Saat mataku menemukan siapa dia, seketika mulutku menganga.

Apa katanya tadi? Membohonginya? Bukannya dia sudah tau bahwa aku adalah anak dari Abraham Jovley? Mengapa dia menyudutkanku?

"Diam adalah hal yang paling baik ketika kau tak tau apa-apa. Jadi, jangan ikut campur urusanku!"

Ia menyeringai, "kau adalah wanita yang paling rendah yang pernah kukenal, Lu. Kau bagaikan benalu yang bersembunyi pada inangnya. Kau hanya menutupi dirimu dengan segala sandiwara murahan yang kau miliki," ujar Harry tenang tetapi matanya tetaplah mengarah padaku. Tatapannya tajam dan aku mulai merasa terintimidasi. Walau ia bicara dengan nada setenang mungkin, tetap saja omongannya mampu membuat hatiku nyeri, merasakan sobekan yang lebar dan dalam.

Memilih untuk tetap stay cool, aku membalas ucapannya dengan tak kalah tenangnya, "lalu apa urusanmu, Mr. Harry-yang-aku-tidak-tahu-apa-nama-belakangnya? Oops. Urusi dulu namamu Harry. Cari tau apakah nama belakangmu itu. Jika sudah tau, hubungi aku." Aku berbicara sambil meledeknya. Kulihat ia mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Aku tau, tak seharusnya aku menyangkut-pautkan urusan ini dengan kekuarganya yang entah berada dimana saat ini. Namun aku sudah kepalang kesal. Tingkah lakunya benar-benar menyebalkan.

"Apakah orang sepertimu merasa perlu untuk ikut campur urusanku? Untuk apa? Untuk kembali menjadi fake boyfriendku? Berharap aku akan membuang-buang uangku untukmu? Maaf, tapi aku tak tertarik," lanjutku.

Hal yang selanjutnya tak terduga adalah, ia menarik tanganku dengan kasarnya hingga tak menyadari bahwa aku hampir saja terjungkal.

"Aku tak suka jika kau menyangkut-pautkan keluargaku!" Ia meneriakiku. Kami sampai didepan toilet pria di taman dibelakang. Ia membelakangiku, jadi aku tak tau apa ekspresinya saat ini.

"Kau juga secara tak langsung sudah menghina keluargaku. Kau pikir aku mau seperti ini? Dicintai dan ditemani karena harta? Tentu tidak, Harry! Kau bahkan tidak tau apa masalahku yang sebenarnya. Jangan hanya karena ayahku yang tak suka padamu, kau bisa seenaknya membullyku disaat semua orang mulai menerimaku!"

Ia berbalik. Hal yang tak kusangka terjadi lagi. Lelaki ini benar-benar labil.

"Lalu kau akan pergi? Meneruskan perusahaan ayahmu layaknya difilm-film? Begitu?" Aku hanya mengangguk, berusaha mengacuhkan dia.

Dengan air mata yang berjatuhan, ia memelukku. "I-ini berat, Luna! Salahkah jika aku tidak mau kehilanganmu? Say you wont let go!"

Yah, yang terjadi selanjutnya adalah aku yang masih mematung sedangkan ia masih menangis seperti perawan yang sedang dipaksa menikah.

----

Uda janji kan? Hehe, ini lumayan panjang loh. 850 kata ;)

P.s : gue lagi nulis chapter selanjutnya loh. Kalo ada waktu bakal di update secepetnya biar gak bikin kalian-kalian nunggu.

P.s.s : ini cerita tinggal 3-5 chapter lagi loh, hoho

P.s.s.s : Gak ada yang mau nyemangatin gue? Gue uda mau UN loh:"v

Rental Boyfriend 📌 H.S (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang