[3] Velya's First Date

55.3K 5.6K 83
                                    

Seperti yang diperkirakan Gusti, Velya menolak ide Chiko mentah-mentah, tanpa mau mendengarkan argumen apa pun. Tapi, bukan Federico Sebastien kalau tidak memaksakan kehendaknya, dengan cara halus ataupun sedikit memaksa. Chiko memastikan Velya akan menuruti kemauannya. Keras Kepala vs Keras Kepala. Gusti mengenal kedua sahabatnya dengan baik. Tinggal menunggu waktu sampai pisau dapur melayang setiap kali kedua orang itu beradu argumen.

Seperti sore ini, satu hari sebelum kencan penuh makna antara Velya dan Evan seperti yang dijanjikan oleh Chiko, mereka berkumpul di kamar mungil Velya. Si pemilik kamar berdiri di tengah single bed-nya sambil berkacak pinggang, berhadapan dengan Chiko, sementara Gusti duduk bersila di meja belajar Velya sambil menikmati kacang atom.

“Kalau lo mau pacaran, ya sana pacaran! Ngapain nyuruh-nyuruh gue?” Velya ngotot.

“Gue nggak nyuruh lo pacaran, Velya. Cuma pendekatan!” Chiko tak kalah ngotot.

“Gue nggak mau!”

“Lo tuh gitu sih. Kebiasaan nggak mau, nggak mau. Dicoba juga belum!”

Dengan kesal, Velya mendorong Chiko hingga terhuyung jatuh dari kasurnya. “Gue. Nggak. Mau.”

“Harus. Mau.”

“Dih, siapa elo ngatur gue? Pacar bukan, saudara amit-amit.”

Gusti terbahak, sementara Chiko memasang wajah gondok setengah mati. Jika Velya masih bersikeras menolak, selesai sudah. Rencananya akan gagal total. Selamanya, gadis menyebalkan itu akan mengganggu hubungan percintaannya, membuatnya menjadi perjaka tua selamanya.

Menyadari Chiko sudah kehilangan akal, Gusti akhirnya beranjak, pindah duduk di tepi kasur Velya yang dilapisi seprai bergambar Betty Boob. “Gini lho, Vel. Gue sama Chiko nggak bermaksud maksa atau ngatur elo. Lo sendiri, kan, sering ngomel kenapa kami bisa lupa waktu kalau udah sama pacar  masing-masing. Kenapa gue sama Chiko mau repot-repot ribet ngurusin pacar kami. Biar lo ngerti, lo harus ngerasain sendiri.”

Velya ikut duduk bersila di depan Gusti. “Penting banget ya pacar-pacaran?”

“Penting banget tuh nggak. Kalau salah arah, malah nggak bagus sih. Cuma, buat gue sendiri itu semacam motivasi aja. Rasanya nyenengin juga ada orang di luar keluarga, selain lo sama Chiko, yang anggap kita istimewa.” Gusti mulai menjelaskan. “Lo juga lihat, kan, sisi positifnya ke Chiko? Dia jadi rajin berangkat pagi, demi ngecengin gebetannya. Pas lagi PDKT sama Alysha, temen satu kelas kami, dia malah sampe rajin bikin PR karena nggak mau kelihatan bego atau males. Hal yang menurut lo buang-buang waktu, ada sisi positifnya juga kok. Gue sama Chiko cuma pengin lo bisa ngelihat itu.”

Velya menarik napas pelan, lalu mengembuskannya. “Oke,” gumamnya. “Gue coba. Tapi kalau yang ini gagal, gue nggak mau lagi kalian suruh-suruh beginian.”

“Oke!” Chiko lebih dulu bersuara dengan penuh semangat.

Velya mencibir ke arahnya, tetapi tidak berkata apa-apa lagi.

**

Seluruh murid tahu siapa Evan Rahadian. Anak emas para guru dan favorit tiap murid setiap kali menjelang ujian. Dia tidak suka memberi contekan pada siapa pun, tetapi selalu dengan senang hati mengajari temannya yang meminta bantuan saat menghadapi pelajaran sulit. Pendiam, tetapi tidak pelit ilmu. Membuatnya tidak bisa dibenci siapa pun, walaupun sering membuat kesal dengan mengingatkan guru tentang PR, padahal guru tersebut lupa.

Di mata Velya, cowok ganteng itu hanya ada dua. Papa dan Andrew Garfield. Selain itu, biasa saja. Tetapi, dia juga mengakui kalau Evan tidak masuk kategori jelek. Dia bisa disandingkan dengan Chiko yang memiliki darah setengah Prancis, berkulit putih pucat, rambut sedikit kecokelatan, dan mata biru gelap, nyaris hitam. Atau Gusti yang merupakan blasteran Bangka dan Sunda, berkulit kuning langsat, dengan mata agak sipit dan lesung pipi dalam di sebelah kanan. Velya tidak akan pernah sudi mengakui langsung kalau kedua sahabatnya itu berpenampilan menarik.

Honestly Hurt [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang