[19] Heart Attack

40.1K 4.6K 195
                                    

Gusti mengernyitkan dahi saat melihat Chiko asyik bersenda gurau dengan segerombolan siswi, sepertinya adik kelas, di meja pojok kantin, sementara Velya duduk sendirian di bagian tengah, tampak mengaduk makanannya tanpa minat. Dia berpaling pada Sheryl yang asyik melihat-lihat sekitar, menimbang apa yang ingin dimakannya.

“Kamu cari makannya sendiri nggak apa-apa, ya? Aku mau ke sana bentar.” Gusti menunjuk meja Velya.

“Oh, oke,” ucap Sheryl. “Kamu mau aku beliin sesuatu?”

“Samain aja kayak kamu.” Gusti tersenyum kecil, lalu menghampiri Velya, sementara Sheryl memesan makanan. “Makanannya puyeng, Vel, lo aduk gitu terus.”

Velya mendongak, mendapati Gusti duduk di depannya. “Tumben ....”

“Sheryl lagi pesan makanan,” jelas Gusti, tanpa diminta. “Lo kenapa sama Chiko? Berantem?”

Velya hanya mengerdikan bahu sebagai tanggapan. Wajahnya terlihat benar-benar muram.

Gusti menghentikan introgasinya, ketika Sheryl bergabung dengan mereka. Gadis itu menyodorkan sepiring siomay pada Gusti, dan satu porsi untuk dirinya sendiri. Gusti mengucapkan terima kasih dan mulai menikmati makanannya.

“Tumben sendirian, Vel? Chiko mana?” tanya Sheryl.

“Dimakan hiu,” jawab Velya, ketus.

Gusti mengusap pelan lengan Sheryl saat melihat pacarnya itu tersentak mendengar nada bicara Velya. “Lagi berantem.”

Sheryl mengangguk paham, memaklumi, sementara Velya melempar tatapan garang pada Gusti.

“Lo berdua ngapain deh pacaran di sini? Bikin sakit mata aja!” semprot Velya.

“Kasihan lihat lo nelangsa banget sendirian. Makanya gue sama Sheryl nemenin.” Gusti menarik hidung Velya gemas.

Sheryl, yang perlahan mulai memaklumi kelakuan sahabat Gusti, memilih tidak mengambil hati atas ucapan Velya. Berbeda dengan Gusti yang berhati-hati tiap bicara, Chiko dan Velya cenderung blak-blakan. Terutama Velya. Awalnya dia masih sering terkejut. Tetapi, sejak dia dan Gusti resmi pacaran, sering ikut kumpul dengan mereka, mau tidak mau harus mulai terbiasa.

Siomay di piring Gusti sudah lenyap, sementara Sheryl baru menghabiskan setengah, saat Velya kembali hanya mengaduk makanan di piringnya yang terlihat belum berkurang sama sekali. Berkali-kali Gusti juga mendapati gadis itu menghela napas berat, seolah beban hidup yang dilimpahkan Tuhan padanya benar-benar luar biasa. Dia ingin bertanya, tetapi tahu itu percuma. Velya tidak akan mau bercerita apa-apa kalau ada ‘pihak ketiga’ di antara mereka. Dalam hati Gusti memutuskan akan mampir ke rumah Velya setelah mengantar Sheryl pulang nanti.

Chiko bergabung di meja mereka saat Gusti dan Sheryl menandaskan makanan masing-masing. Begitu Chiko duduk di sebelahnya, Velya langsung berdiri, dan pergi dari sana tanpa berkata apa-apa. Gusti bisa melihat kalau Chiko mengamati sosok Velya hingga hilang dari pandangan, tetapi tidak terlihat ingin menahan kepergian gadis itu.

“Kalian kenapa lagi sih, Chik? Katanya nggak pacaran, tapi intensitas berantemnya lebih dari yang pacaran.”

Chiko menatap Gusti, mengembuskan napas kasar. “Dia tuh aneh banget belakangan ini,” ujarnya, memulai curhat. “Gue dijudesin terus. Pegang dikit, dibentak. Biasanya gue godain dia cuma ngambek lucu gitu, sekarang jadi marah-marah serius. Nggak bisa diajak bercanda sama sekali. Terus, tiba-tiba juga dia ngejauhin gue. Awalnya cuma di sekolah, pulang-pergi masih sama gue. Tapi udah berapa hari ini dia pulang-pergi duluan. Gue tanya baik-baik, malah nyolot banget jawabnya. Kan, gue kesel juga lama-lama.”

Gusti tidak heran jika memang benar itu yang terjadi. Chiko bukan tipikal penyabar sama sekali. Dia cenderung tempramen, malah. Gampang meledak jika dipancing sedikit saja. Justru dia takjub atas perubahan sikap Chiko pada Velya sejak percakapan terakhir mereka mengenai Sheryl tempo hari. Dia jadi lebih memaklumi Velya. Padahal, biasanya harus Gusti yang turun tangan menjadi penengah.

Honestly Hurt [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang