Velya menghampiri Mama yang tengah duduk di ruang tengah sambil memangku laptop. Dia menyodorkan secangkir teh hangat pada mamanya, sebelum duduk di sebelah beliau. Mama menerima cangkir itu, mengucapkan terima kasih, lalu meletakkannya di meja kopi. Velya mengembuskan napas sedikit keras, memeluk bantal sofa di dekatnya.
Mama menoleh. “Kenapa kamu?”
Velya menekuk lutut, menumpukan dagu di sana. “Ve kayaknya sakit deh, Ma ....”
“Sakit apa? Sakit gimana? Mana yang sakit?” Mama meraba dahi Velya. “Nggak panas kok.”
Velya menahan tangan Mama, lalu memindahkannya ke bagian dada, tepat di sebelah kiri. Mama mengernyit, menatap putri tunggalnya itu dengan penuh kebingungan.
“Kerasa nggak, Ma?”
“Apa sih, Vel?”
“Ini ....” Velya menekan tangan Mama hingga makin menempel. “Kerasa, kan?”
Mama memfokuskan pandangan ke arah tangan beliau, mencoba mengerti apa yang dimaksud anak itu. Sesaat, mereka diam. Kemudian, Mama merasakannya. Debaran jantung Velya yang terasa lebih cepat.
“Ya ampun! Kamu degdegan kenapa coba?”
“Nggak tahu, Ma. Aneh, ya?” tanya Velya.
Menahan diri agar tidak tertawa, Mama memasang tampang serius, sebagaimana ekspresi yang ditampilkan Velya. “Coba cerita gimana awalnya bisa gitu.”
Velya menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Dia mulai menceritakan kejadian aneh belakangan ini. Terutama tentang kelakuan Chiko padanya, yang akhir-akhir ini malah menimbulkan reaksi semacam ini bagi hatinya. Mama mendengarkan dengan saksama selama Velya bercerita.
“Biasanya tuh dia mau gandeng, kek. Mau ngapain, kek. Ve ya biasa aja, Ma. Tapi belakangan kok aneh. Masa pas dia ngacak rambut doang Ve langsung salting. Ke Chiko lho, Ma. Aneh banget, kan?”
Mama meraih cangkir teh, menyesap isinya perlahan. Kemudian, beliau berdeham. “Mama boleh bilang kalau kamu suka sama Chiko?”
Dahi Velya berkerut dalam. Begitu memahami maksud ucapan Mama, wajahnya sontak memerah. “Ih! Nggaklah!”
Mama melipat kakinya di sofa, lalu memutar tubuh menghadap Velya. “Pas sama Gusti, kamu ngerasa gitu juga nggak?”
Perlahan, Velya menggeleng.
“Sama Evan?”
Gelengan lagi.
Mama tersenyum. “Tuh, artinya Chiko spesial buat kamu, sampai bisa bikin degdegan gitu.”
Velya menyembunyikan wajahnya di bantal sofa. “Nggak ah, Ma. Nggak mungkin,” tolaknya. Matanya menyembul dari balik bantal, sementara sisa bagian wajah yang lain masih tersembunyi. “Masa aku naksir sama Chiko?”
Mama mengerdikan bahu. “Mama sama Papa dulu juga awalnya sahabatan kok. Sempat pisah gara-gara Papa sekolah pilot, eh ternyata ketemu lagi, satu maskapai.”
“Tapi ....”
“Kamu pernah dengar, kan, kalau cowok sama cewek itu nggak bisa cuma sahabatan?”
“Sama Gusti bisa!”
Mama mengetukkan ujung jari telunjuknya ke dagu dengan pandangan menerawang. “Mungkin karena belakangan kamu lebih sering berdua Chiko, ke mana-mana berdua. Biasanya bertiga, kan, bikin perhatian kamu terbagi. Sekalinya fokus ke satu orang, jadi gitu deh.”
“Berarti nggak istimewa dong! Bisa aja kalau misal Ve sering berduanya sama Gusti, jadi gini ke Gusti, bukan Chiko.”
Mama kembali menatap Velya. “Pas sering jalan berdua Evan, kamu ngerasa gitu juga nggak?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Honestly Hurt [COMPLETED]
Teen FictionHonestly Hurt "Luka hatiku karena kamu..." a story by ELSA PUSPITA Bagi Velya, Chiko dan Gusti mewakili sosok kakak yang tidak pernah dimilikinya. Dia menyukai seluruh waktu yang dihabiskan bersama mereka. Mulai dari perhatian yang didapat sampai ke...