[34 ~ end] Last Dance

70.6K 5.3K 511
                                    

Hero always arrives late. Quote yang sudah sering terdengar, yang mungkin saja merupakan awal mula terciptanya istilah “pahlawan kesiangan”. Layaknya dalam drama, sosok hero terbiasa muncul saat heroine sudah menyerah pasrah. Klise.

Velya berharap kejadian seklise itu terjadi padanya. Setidaknya malam ini. Selama menghitung detik menuju malam prom, Velya tidak berhenti menginginkan Chiko tiba-tiba muncul, mengajaknya datang ke pesta itu bersama. Velya bahkan berjanji tidak akan merecoki cowok itu dengan pertanyaan ke mana dia menghilang, mengapa tidak memberi kabar. Dia juga bersumpah tidak akan merajuk.

Sayangnya, hidupnya bukan drama. Hingga jarum jam menunjukan pukul tujuh malam, saat acara yang diselenggarakan di gedung kesenian sekolah itu dimulai, sosok Chiko tidak terlihat.

Velya menghela napas pelan, menatap layar ponselnya yang gelap, lalu mendongak untuk memperhatikan Kepala Sekolah yang sedang memberi kata sambutan. Di sebelahnya, Gusti tampak asyik sendiri dengan ponsel, berbalas chat dengan Sheryl. Velya sempat mengintip sedikit tadi.

MC segera mengambil alih acara, begitu kata sambutan dari Kepala Sekolah selesai. “Terima kasih kepada Pak Hari, selaku Kepala Sekolah kita, atas kata sambutannya,” ucapnya. “Selanjutkan sambutan dari Ketua Pelaksana ....”

Velya paling malas mendengarkan hal yang seperti pidato panjang baginya. Tetapi, karena tidak mungkin langsung dilompat ke acara hiburan, mau tidak mau dia harus menahan diri untuk tidak keluar dari ruangan itu.

“Kangen, ya?”

Velya menoleh ke arah Gusti, memasang wajah cemberut. “Apaan sih?”

“Kusut banget muka lo.”

“Sok peduli. Chatting aja sana sama cewek lo.”

Gusti tertawa pelan, menyimpan ponselnya di saku jas yang dipakainya. “Dia masih belum ngasih kabar?”

Velya menggeleng.

“Ya udah. Ntar kalau muncul, gue tonjok duluan. Tenang aja.”

Velya tersenyum tipis, tidak akan menghalangi Gusti melaksanakan niatnya. Dia malah akan mendukung. Mungkin Chiko memang butuh sedikit tonjokan biar kali lain tidak mengulangi tindakan menyebalkannya.

Mengobrol dengan Gusti membuat segala acara kata sambutan tidak lagi terlalu menyebalkan. Begitu masuk acara hiburan, suasana yang tadinya sunyi dan membosankan, seketika berubah lebih hidup. Tari tradisional menjadi pembuka. Anak-anak dari ekstrakurikuler tari menampilkan Tari Topeng khas Betawi.

“Keren, ya, topengnya bisa nempel,” gumam Velya.

Gusti berdecak. “Itu digigit, biar nggak jatuh.”

Velya menatap Gusti tertarik. “Iya?”

Cowok itu mengangguk. “Sheryl yang ngasih tahu. Dia kelas X sempet ikut ekskul tari, tapi keluar.”

Sesaat, mereka diam, sama-sama menikmati tarian indah yang tersaji di depan mata. Hiburan selanjutnya tidak kalah menarik. Teater, paduan suara, sampai band sekolah silih berganti menghibur para kakak kelas yang sebentar lagi akan meninggalkan bangku SMA.

“Akhirnya, bisa makan. Laper gue ....” Gusti berdiri, begitu MC berkata kalau mereka sudah bisa menikmati makanan yang tersedia sembari mendengarkan lantunan lagu yang dimainkan band, menarik Velya bersamanya.

Velya menurut saja, meskipun tidak terlalu ingin makan. Dia hanya mengambil kue-kue kecil, sementara Gusti memilih makan besar, lalu kembali ke kursi mereka.

“Gus, lo beneran ke Jogja, kan. Jadi LDR-an sama Sheryl. Siap?” tanya Velya.

Gusti menelan gado-gado di mulutnya, sebelum menjawab. “Siap nggak siap,” gumamnya. “Dari awal gue sama dia udah tahu kalau deketannya selama sisa gue di SMA. Habis itu pisah. Tahun depan dia juga lanjut ke luar, kan. Jadi, ya, udah. Jalanin aja.”

Honestly Hurt [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang