Jika Gusti mengira dengan mundurnya Chiko maka akan memudahkan proses PDKT-nya dengan Sheryl, dia salah besar. Sejak acara jalan terakhir mereka dikacaukan oleh Velya, Sheryl jadi jaga jarak dengannya. Awalnya dengan cara halus, seperti hanya melempar senyum jauh saat mereka berpapasan di sekolah, tetapi gadis itu menolak diajak ke kantin atau pulang bersama. Berikutnya, semua chat yang dikirim Gusti hanya ditanggapi seadanya, kadang hanya dibaca, tanpa dibalas. Telepon-teleponnya juga tidak pernah dijawab. Gust jadi yakin kalau Sheryl memang menjauh.
Sementara di sisi lain, Chiko memegang ucapannya. Dia jadi berhenti sebentar mendekati para gadis, ganti hanya fokus pada Velya. Bukannya membuat Velya senang, gadis itu malah sebal setengah mati karena Chiko terus mengikutinya.
“Ngapain sih lo?” omel Velya, kesal. “Ganjen banget nempel-nempel gue mulu! Kehabisan stok apa?”
Chiko menyeringai, menunjukan deretan gigi putih berbonus gingsul kecil di salah satu sudutnya. “Kan, biar lo nggak kesepian. Makanya gue temenin terus.”
Velya memasang tampang pura-pura muntah. “Lo nongol cukup buat nebengin gue pulang-pergi sekolah aja deh. Nggak usah lebay. Geli beneran gue.”
Chiko mengembuskan napas berlebihan. “Gini, cewek. Salah aja terus gue. Cuekin salah, deketin cewek lain diganggu, giliran gue kasih perhatian malah dikatain lebay.”
Velya paling sebal kalau Chiko sudah menggerutu. Kehebohan mamanya saat menonton salah satu sinetron India itu pasti kalah jika dibandingkan dengan panjangnya gerutuan Chiko. Dia akhirnya membiarkan cowok itu mengikutinya ke kantin.
“Gusti mana?” tanya Velya, sambil mengaduk bubur ayamnya.
Chiko mengerdikan bahu. “Sama Sheryl paling.”
“Lo nggak?”
“Sheryl?” Chiko memastikan. “Nggak ah. Males rebutan cewek. Kayak nggak ada yang lain aja. Lagian ya, jumlah cewek tuh masih lebih banyak dibanding cowok. Gue mau langsung empat juga bisa.”
Velya melempar gumpalan tisu ke cowok itu, sementara yang dilempar hanya tertawa tanpa dosa. Begitu nasi goreng pesanannya tiba, Chiko menghentikan ocehannya, ganti fokus menikmati makanan dengan khidmat.
“Gue udah minta maaf sama Sheryl,” aku Velya.
Chiko melirik sedikit. “Kapan?”
Velya lalu menceritakan pertemuannya dengan Sheryl di toilet beberapa hari lalu, saat dia sedang melarikan diri dari Gusti. Chiko tersenyum lebar mendengar penjelasannya. Dia tahu persis Velya itu anak baik. Hanya suka over-drama dan tidak berpikir sebelum bertindak. Itu yang kadang membuat dirinya, juga Gusti, tidak bisa marah lama-lama dengan gadis itu.
“Lo sama Gusti udah baikan?”
Velya tersenyum manis. “Udah. Dia beliin gue cokelat yang mahal itu lho. Yang kandungan cokelat murninya 58 persen. Ukuran gede. Jadi gue maafin.”
Gumpalan tisu yang tadi sempat mendarat di dahi Chiko, berganti arah ke wajah Velya dan mendarat di mangkuk buburnya. Chiko tertawa keras, sementara Velya berteriak marah.
“BELIIN LAGI! GUE MASIH LAPER!”
Masih dengan tawa puasnya, Chiko berdiri. Beranjak menuju penjual bubur ayam. “Buburnya satu nggak pake seledri, kuah sama kecapnya dikit, bawang goreng sama kacangnya dibanyakin, nggak pedes.”
Begitu mendapat pesanannya, Chiko kembali ke meja, meletakkan mangkuk bubur itu di depan Velya. Masih dengan wajah cemberut, Velya menarik pengganti buburnya ke depan dan lanjut makan.
“Vel ...”
“Apa?” delik Velya, kesal.
Chiko mengedikkan dagunya ke balik punggung Velya. “Evan dari tadi ngelihatin elo. Lo punya hutang ya sama dia?”
Velya menoleh ke belakang, melihat Evan mengerjap seketika dan tampak salah tingkah, kemudian melambai kikuk, yang dibalas Velya seadanya. Dengan tak acuh, gadis itu kembali melahap buburnya.
“Nggak pengin beneran coba deket sama dia, Vel?”
Velya menggeleng. “Gue masih nyiapin mental buat ngelepas lo sama Gusti. Males berurusan sama orang lain yang bisa keluar-masuk seenaknya.”
Ucapan itu, sesaat membuat Chiko terdiam. Lalu, dia mengulurkan tangan untuk mengacak rambut Velya. “Gue sama Gusti nggak akan ke mana-mana kok.”
“Kalian nggak akan selamanya ada buat gue, kan?” gumam Velya. “Gue awalnya nggak bisa nerima sih. Kalau bisa, selamanya kita bertiga aja.” Dia menyeringai. “Tapi nggak bisa. Mama juga udah nasehatin gue pas kemarin gue ngambek sama Gusti. Makanya gue sekarang nyiapin mental.”
Sebelum Chiko sempat berkata apa pun, Velya kembali bersuara.
“Emang udah kodratnya gitu, kan? Semua yang dateng, ngasih kemungkinan besar buat pergi. Nggak ada yang abadi.”
Senyum Chiko berubah kecut. “Udah ah. Lo serem kalau mulai sok serius gitu.”
Velya hanya mencibir, tetapi tidak bersuara lagi, memilih menghabiskan makanannya. Begitu buburnya dan nasi goreng Chiko tandas, sosok Gusti berjalan lesu memasuki kantin. Chiko memanggilnya, membuat cowok itu menoleh, lalu menghampiri mereka.
“Kenapa lo?” tanya Chiko.
Gusti meraih gelas jus melon milik Velya, lalu menyesapnya. Velya mendelik sebal, mengambil kembali minumannya, sementara Gusti merebahkan kepala di meja.
“Gini banget rasanya ditolak,” gumam Gusti, pelan.
Bukannya prihatin, Chiko malah terbahak puas. “Nggak butuh gue jadi saingan lo, dia emang udah nggak minat sama lo. Rasain!”
Gusti menjitak kepala Chiko dengan kesal. “Bantuin kek! Dia tiba-tiba jauhin gue.” Pandangannya beralih pada Velya.
“Apa? Mau nyalahin gue lagi?” semprot Velya, sebelum Gusti berkata apa pun padanya.
“Nggak ...” Gusti menelan lagi ucapannya, ganti menarik gelas berisi es teh milik Chiko. Kali itu dia menghabiskannya dalam sekali teguk.
“Kalau lo mundur, gue maju lagi nih,” ejek Chiko.
Gusti seketika menegakkan tubuhnya. “Resek lo!” umpatnya, seraya berdiri dan keluar dari sana.
“Bego,” dengus Velya, pada punggung Gusti yang menjauh.
***
____________________
Perjalanan Abang Gusti ternyata nggak segampang itu. Ehehehe
Kita kasih cobaan dululah ya, dikit, biar lebih menghargai cewek :p
Masih pada ngikutin, kan? Bentar lagi mulai menuju konflik kok. Apa konfliknya ... ditunggu aja :D
Makasih buat yang udah baca, ngasih vote, dan nyempetin komen :)
Salam,
Elsa Puspita
KAMU SEDANG MEMBACA
Honestly Hurt [COMPLETED]
Teen FictionHonestly Hurt "Luka hatiku karena kamu..." a story by ELSA PUSPITA Bagi Velya, Chiko dan Gusti mewakili sosok kakak yang tidak pernah dimilikinya. Dia menyukai seluruh waktu yang dihabiskan bersama mereka. Mulai dari perhatian yang didapat sampai ke...